Featured Video

Senin, 26 September 2011

Merekat Kembali Hubungan yang Pernah Renggang


Bersatu kita teguh
bercerai kita runtuh
bersama kita ampuh
bergandengan kita kukuh
PERTEMUAN ISWAMI 2011

BUKITTINGGI - Kota wisata, ranah Rang Kurai, Bukittinggi ini, tak salah bila disebut sebagai kota yang fenomenal. Di tengah merenggangnya hubungan bilateral Indonesia-Malaysia akibat dari berbagai hal yang menjadi pemicu, kota sanjai ini malah menjadi tuan rumah dalam pertemuan silaturrahmi wartawan dan budayawan kedua negara.
Dipimpin Menteri Penerangan, Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia , Dato’ Sri Utama DR. Rais Yatim, 50 wartawan dan budayawan negara jiran itu bersilaturrahmi ke Indonesi, baca; Minangkabau yang dipusatkan di Bukittinggi.
Dari Indonesia hadir Menteri Komunikasi dan Informatika, Ir. Tifatul S. Dt. Tumangguang, Gubernur Sumbar Prof. Irwan Prayitno, Wagub Muslim Kasim, dan tentu saja tuan rumah, Walikota Bukittinggi, H. Ismet Amzis.
Dalam rangkaian kegiatan lawatan tamu dari negara jiran tersebut, dilangsungkan seminar dengan tema meningkatkan keakraban hubungan Indonesia dan Malaysia di Balai Sidang Hatta, The Hill Hotel, Bukittinggi.
Seminar tersebut menampilkan sejumlah pemakalah, baik dari Malaysia maupun dari Indonesia, khususnya Minangkabau.
Dari Indonesia tampil antara lain H. Basril Djabar, tokoh pers dan pengusaha Sumbar, Budayawan Taufik Ismail, Wartawan Senior H.Hasril Chaniago dan Ketua DPD KNPI Sumbar. Sementara dari Malaysia terdapat nama Senator Dato’ Dr. Firdaus Abdullah (mantan Ketua Pengawarha Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia), Encik Baharom Mahusin (Pemred Tabliod Kosmo), Ramli Abdul Karim (editor berita Utusan Malaysia), Zul Hamzah (majelis belia Malaysia), Datuk Ahmad Tarmimi Siregar dan Tan Sri Nordin Kardi, Prof. Datuk Mustafa Ahmad sejumlah nama lainnya.
Sebelum seminar dilangsungkan, Menkominfo, Ir. Tifatul S. Dt. Tumangguang, mengemukakan bahwa tak seorang pun di Indonesia maupun di Malaysia yang menginginkan terjadinya kerenggangan hubungan kedua negara serumpun ini.
Melayu Malaysia dan Melayu di Indonesia, pada prinsipnya bersatu, bersatu dalam budaya, bersatu dalam pandangan hidup dan bersatu dalam menatap masa depan guna kelangsungan kekerabatan kebudayaan.
Tifatul sedikit bernostalgia, dengan menceritakan pertemuan pertamanya dengan Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia, Dato Sri Utama DR. Rais Yatim. Ketika itu dalam suatu acara di Bali, Rifatul sangat terkesan kefasihan berbahasa Inggrisnya Rais Yatim. Tidak hanya hanya dalam mengucapkan, tetapi lengkap dengan logat dan aksennya.
Dia pun langsung berbicara dengan Rais Yatim, dalam bahasa Inggris. Namun ketika ditanya tentang asal muasalnya, ternyata menteri senior Malaysia itu, berasal dari Palupuah, Agam, Sumbar. Dan, sejak itu pembicaraan berlanjut dalam bahasa Minang, bahkan dalam bahasa induk totoknya, yakni bahasanya Rang Agam, karena keduanya memang berasal dari Agam.
Terjadinya kesalahpahaman yang belakangan ini membuat renggangnya hubungan antara Malaysia dan Indonesia, hanyalah karena kurangnya pemahaman secara mendalam, terutama dipicu oleh kalangan tertentu. Mulai dari munculnya kasus pembantu rumahtangga, tindak kekerasan dan lainnya.
Hakikinya, muncul persoalan yang boleh disebut sebagai kasuistik tersebut, karena memang banyaknya warga negara Indonesia yang mencari kehidupan di negara jiran itu. Artinya, jauh lebih banyak pekerja dari Indonesia yang mengalami nasib baik, baik sebagai pekerja maupun sebagai pedagang dan berbagai profesi lainnya di sana.
Sementara itu, Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno Dt. Rajo Bandaro Basa, mengemukakan bahwa hubungan antara Indonesia (khususnya Minangkabau) dengan Malaysia telah terentang sejak dahulu kala. Jauh sebelum kedua negara merdeka, hubungan tersebut sudah terjalin. Bahkan bagi masyarakat Minangkabau ke Kolang atau Malaka sekarang, hanya sebagai tempat menemui keluarga.
Meski ketegangan kedua negara muncul di berbagai daerah di Indonesia, namun Sumbar atau lebih tepatnya Minangkabau, hal itu tidak dirasakan. Bahkan sebaliknya, ketegangan yang terjadi, bagi Sumbar malah sebaliknya berupa kecemasan. Begitu banyaknya warga Malaysia asal Minangkabau, membuat rasa cemas tersebut muncul.
Ini perlu jadi perhatian kita bersama. Bahwa budaya Minangkabau itu juga terdapat pada warga Melayu Malaysia, karena memang mereka berasal dari Minangkabau ini.
Menteri Rais Yatim, menteri senior di Malaysia yang berasal dari Palupuah itu, mengingatkan bahwa kerukunan rumpun Melayu baik di Indonesia maupun di Malaysia, sepertinya mau dipecahkan oleh sementara kalangan.
Maknanya ada yang tidak ingin rumpun Melayu bersatu. Mereka khawatir, bahwa Melayu mempunyai kekuatan yang berprospek mampu mengatasi berbagai permasalahan dan menguasai kawasan semenanjung nusantara ini.
Ini tidak boleh terjadi, ujar Rais Yatim. Justru itulah, muncul gagasan, agar bahasa Indonesia dengan akarnya bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa ASEAN.
Ingat, bahasa Indonesia tersebut adalah bahasa dengan rangking antara kelima dan keenam di dunia. Jadi tidak salah, bila bahasa dari rumpun besar ini dijadikan sebagai bahasa dalam komunikasi sesama negara ASEAN yang notabene penghuni kawasan nusantara ini, mulai dari Thailand, Burma atau Miyanmar, Kamboja, Laos, Vietnam, Pilipina, Burnei Darussalam dan Singapura, tentu saja Malaysia dan Indonesia sendiri.
Rais Yatim kembali menegaskan, bahwa upaya untuk memecah belah rumpun Melayu ini, kian hari kian kental terasa. Ada kecemasan dari sementara kalangan, bila nantinya Melayu bakal menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, perekonomian dan tentu saja budaya.
Kewaspadaan terhadap ancaman perpecahan inilah yang harus ditingkatkan dan sekaligus mencari pemecahannnya. Kalaulah tidak secepatnya dicarikan solusi yang tepat dalam pemecahannya, bukan tidak mungkin Melayu bakal bercerai berai. Adagium mengemukakan, bahwa bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Ketua Iswami Indonesia (Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia Indonesia), Syaiful Hadi yang juga Pemred LKBN Antara, kunjungan muhibah wartawan dan budayawan Malaysia ini digagas oleh Iswami kedua negara. Diharapkan dari kunjungan ini, dapat jadi cikal bakal mencairnya kembali hubungan kedua negara yang berjiran ini.
Hal senada dikemukakan Ketua Iswami Malaysia Datuk Paduka Ahmad A. Thalib, yang sehari-hari Direktur Pemberitaan Media Prima Group.
Menurut Ahmad, tak ada yang perlu dijadikan alasan untuk memecah belah negara serumpun ini. Terutama Melayu, baik di Indonesia maupun di Malaysia yang sejarah persatuan dan budayanya sudah terbentang sejak dahulu kala.
Justru itulah Iswami bertekad untuk terus menggalang, memupuk serta memediatori upaya meningkatkan keakraban kedua negara. Dan, pertemuan wartawan dan budayawan Malaysia dan Indonesia di Bukittinggi ini, dapat dijadikan momentum dalam menatap masa depan yang lebih cerah lagi.
Melayu tidak mengenal perbedaan bangsa, ekonomi dan lainnya. Kita dalam budaya, satu dalam pandangan hidup dan tentu saja satu mencapai tujuan.
Hanya saja yang jadi pembatas adalah administrasi negara, dan itu harus pula patuhi sesuai dengan ketentuan dan perundangan yang berlaku. (adv)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar