Featured Video

Kamis, 15 September 2011

Kita Jaga Rendang Minang


                                                                 Rendang

Masakan tradisional Minang, rendang diakui masyarakat internasional. Survei CNN menyebut masakan itu sebagai makanan terlezat di dunia.
Nyaris tak ada apresiasi terhadap hasil survei itu. Baik di tingkat nasional, maupun Sumatra Barat. Semua menganggap biasa-biasa saja. 
Entah tak peduli, atau memang sudah tak mau ambil pusing dengan hal itu. Istana Negara tidak memberikan komentar satu kata pun. Pemerintah Sumbar juga tidak.
Dalam kondisi itu, tiba-tiba muncul berita, perusahaan makanan asal Malaysia, Dewina Food Industries Sdn Bhd, malah menjual rendang ke Eropa.
Sebagaimana diwartakan Singgalang, kemarin Belanda memang pasar menjanjikan bagi produk halal. Bandara Internasional Schiphol di Amsterdam adalah pusat transit utama, terutama untuk penumpang yang bepergian antara Eropa dan Timur Tengah. Pelabuhan Rotterdam bahkan menjadi satu-satunya pelabuhan dengan sertifikasi halal di Eropa.
Selain itu, dari 30 juta populasi Muslim di Eropa, 1 juta di antaranya ada di Negeri Kincir Angin. Ternyata, banyak juga non-Muslim yang lebih suka makanan halal. Salah satunya rendang.
Kita sayangkan sikap tak mau peduli dengan besarnya apresiasi masyarakat dunia terhadap rendang.
Padahal, rendang kalau juga dikelola dengan lebih profesional lagi, akan menjadi kekuatan baru dalam merek dagang. Kita lihat ayam goreng yang memakai merek Amerika, seperti KFC, CFC maupun Texas yang menyebar hampir di seluruh dunia. Merek itu tak didapat dengan gratis, harus membayar ke pemegang lisensi.
Rendang boleh ada di mana-mana. Terserah siapa yang mau memasak. Namun, kita harus menjadikan rendang itu sebagai merek dagang Sumatra Barat.
Kuncinya, ada pihak yang mematenkan ke dunia internasional. Kalau lisensi itu diakui dunia, tak terbayang betapa banyak pengusaha di luar negeri yang membayar royalti ke Sumatra Barat.
Kita harus menjaga rendang kita. Jangan sampai suatu saat nanti ada orang lain yang menjadikannya merek dagang. Sementara di tanah asal, rendang malah dianggap biasa saja.
Kita memang harus mengubah mindset. Jangan anggap enteng persoalan kecil, jangan pula abai dengan segala kemungkinan. Dalam kondisi sekarang, nyaris tak ada upaya nyata dari pemerintah dalam menjadikan rendang sebagai merek dagang.
Bila pemerintah tak berbuat, saatnya pengusaha yang bergerak. Di Sumatra Barat, banyak pengusaha yang menjadikan rendang sebagai lahan bisnis. Mereka inilah yang kita dorong.
Rasanya kita ingin pula rendang menjadi merek dagang yang ada di berbagai negara. Indonesia saja, harus mengeluarkan triliuan rupiah dalam setahun untuk membayar lisensi makanan.
Sumbar rasanya juga bisa seperti itu. Di tengah perhatian besar dunia terhadap rendang, kita momentum paling tepat untuk mematenkan merek dagang asal Sumbar. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar