Featured Video

Kamis, 15 September 2011

Staf Khusus Biang Kasus


TAUFIK EFFENDI

Kiranya indikasi adanya modus baru kolusi, lalu berujung pada sogok (bisa juga diperhalus sebagai pemberian/gratifikasi) dan bagi-bagi fee (semuanya diidentifikasi sebagai praktik korupsi), sebagaimana yang diungkapkan para penggiat antikorupsi yang tergabung dalam Indonesian Corruption Watch (ICW) pada konferensi pers, Kamis (8/9) lalu, mendapat pembenaran yang paling anyar.

Dimulai dengan terbongkarnya kasus percaloan anggaran pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) dengan alat bukti yang diperoleh Komisi Anti Korupsi (KPK) sebesar Rp1,5 miliar, diyakini sebagai uang suap buat petinggi di kementrian tersebut.
Dalam konferensi pers yang dihadiri Apung Widadi, Ade Irawan, dan Firdaus Ilyas di markas ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, diungkapkan, dalam pembahasan anggaran (ICW mencontohkan pembahasan APBN-P) terjadi praktik kongkalingkong antara politisi dan pengusaha.
Disebutkan juga ada ruang-ruang baru yang khusus diciptakan untuk membuat proses penyusunan anggaran berada di luar mekanisme formal.
Pembenaran paling anyar ini (dapat diduga) juga memperluas kesimpulan ICW, kongkalingkong itu malah melibatkan banyak sisi. Tidak hanya politisi dan pengusaha, tetapi juga birokrasi yang diindikasikan dengan kasus Kemenakertrans dengan melibatkan sejumlah “orang dekat” (lazim disebut staf khusus) para pejabat hingga menteri.
Cobalah bertandang ke sejumlah kementerian di Jakarta. Adalah pemandangan biasa, selain para pegawai negeri sipil (PNS), sejumlah orang dengan tanda pengenal khusus mondar-mandir dan malang melintang sebagai bagian yang melekat dengan birokrasi itu sendiri.
Entah mereka itu yang menjadi calo anggaran seperti yang dituduhkan, atau keberadaan mereka benar-benar merupakan kebutuhan yang niscaya dalam rangka memperkuat kinerja kementrian bersangkutan?
Kalau boleh berkata jujur, saat ini kualitas PNS kita, apalagi di kementrian/lembaga (K/L) di Jakarta, diyakini bisa melayani kepentingan kinerja K/L bersangkutan. Kenapakah masih diperlukan staf khusus, tim asistensi, atau apapun istilah lainnya?
Demikian pula dari sudut kuantitas. Jumlah PNS di negara ini sudah bejibun, lebih dari 4,7 juta orang! Oleh sebab itu, dilakukan moratorium (penghentian sementara) peneriman PNS, dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Menteri Dalam Negeri yang ditandatangani di Kantor Wakil Presiden, Rabu (24/8).
Apakah masih diperlukan lagi para staf khusus, atau apapun namanya itu?
Hingga di sini, patut diduga, ada sesuatu yang diembankan kepada para staf khusus, dimana tidak sembarang orang boleh tahu. Apakah benar mereka yang dijadikan sebagai penghubung, pengatur atau operator dari sang bos?
Tak hanya di Jakarta (K/L), cobalah simak dan saksikan secara seksama di propinsi, kabupaten/kota, apakah ditemukan pula hal yang sama?
Tak pelak, sungguh hal ini memerlukan penjelasan terbuka dari para pihak.
Di samping itu diperlukan aturan tentang keberadaan staf khusus di luar PNS ini. Kalau perlu dilarang saja sama sekali! (*)
sumber singgalang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar