Featured Video

Selasa, 19 Juni 2012

BERAS DAN KEDAULATAN PANGAN-SWASEMBADA BERAS MIMPI SEMUA RAKYAT


Beras diketahui sebagai makanan pokok bangsa Indo­nesia sejak masa lalu. Dasar negara Pancasila  melam­bangkan keadilan sosial yang disimbolkan dengan padi dan kapas, sebuah bentuk simbolik bahwa persoalan keadilan sosial mengutamakan terse­dianya dan terbagi meratanya sandang pangan dan papan. Justru karena itu kemung­kinan besar bahwa program swasembada pangan pada masa lampau terfokus kepada program swasembada beras.

Kepulauan Nusantara pada masa sebelum zaman kolonial atau sebelum masuk­nya agama Islam ke Nusan­tara didiami oleh penduduk yang beragama Hindu. Ka­rena hubungan yang kuat dengan daratan Asia berkem­banglah tradisi menanam padi pada daerah daerah di Indonesia seperti Bali dan kepulauan nusatenggara, Jawa, Sumatra serta Sula­wesi. Sampai hari ini masih ditemui di Bali kuil Dwi Sri atau dewi padi, yaitu kuil lambang kesuburan.
Budaya bercocok tanam padi di sawah adalah budaya yang bagus, baik ditinjau dari segi konservasi tanah atau­pun dari segi pengaturan tata air. Karena itu setelah Islam masuk budaya bercocok ta­nam padi tetap diteruskan oleh nenek moyang bangsa Indo­nesia.  Bahkan di Mi­­nang­­­kabau, tradisi me­nanam padi menjadi sesuatu yang amat penting. Sawah dalam konsep orang Mi­nangkabau adalah sebuah properti, sawah, padi, dan rangkiang adalah perlam­bang kemakmuran. Penghulu atau yang menamakan diri­nya keturunan penghulu adat harus mampu menunjukkan dimana sawah pang­ga­da­ngan. Ini mungkin sebuah kiasan mam­pukah dia se­bagai pim­pinan memberi makan diri, ke­luarga dan anak keme­na­kannya. Artinya secara sim­bolik pimpinan itu mam­pu mengayomi warga dari per­soalan pokok kehi­dupan.
Penggunaan lahan di suatu wilayah administrasi seperti nagari, terdiri dari hutan, ladang, sawah, fasilitas u­mum,  padang pengembalaan, kebun. Fasilitas umum berupa pemukiman, pasar, lapangan olahraga, jalan dan lain-lain. Sedangkan kebun kemung­kinan terdiri dari kebun campuran ataupun perkebunan rakyat. Mungkin karena ba­han makanan pokok di wila­yah Sumatera bagian tengah adalah beras, maka kalau diperhatikan dengan saksama hampir setiap nagari memiliki luas lahan sawah 25 persen-35 pesern dari total luas kenagarian, kecuali untuk kenagarian yang berada di Solok Selatan, Sawahlunto, Sijunjung ataupun pasaman. Wilayah daerah tangkapan air (DTA) Danau Singkarak, kalau diperhatikan dari data penggunaan lahannya memi­liki luas sawah minimal 25 persen dari luas kenagarian.
Padi adalah jenis bahan pangan yang punya nilai gizi lengkap dan dapat disimpan lebih lama. Padi original atau padi asli daerah dapat ditem­patkan di rangkiang lebih dari 3 tahun. Ini memang sedikit berbeda dengan padi varietas unggul yang mengalami pero­bahan dalam umur penyim­panan. Umbi umbian, walau­pun tersebar banyak di Nu­san­tara, tapi bahan pangan ini tidak dapat disimpan lama secara tradisional, kecua­li dirobah dulu kedalam bentuk lain berupa tepung atau sesuatu cara penyimpanan yang lebih kompleks dan membutuhkan teknologi.
Budaya menanam padi memang adalah budaya Asia, Jepang menempatkan hampir seluruh kepulauannya memi­liki sawah, mulai dari Hok­kaido, kecuali Kepulauan Okinawa. Pada masa Peme­rintahan Sogun, hanya mereka yang berpunyalah atau kaum bangsawan yang dapat makan nasi tiga kali dalam satu hari. Di lain pihak bagi masyarakat kelas bawah hanya  menik­mati udon (mie khas Jepang) dan bahkan ada udon yanh dibuat dari tepung ubi jalar. Dengan demikian bagi orang Asia beras adalah hal yang utama, walaupun sekarang di Jepang berkembang keane­karagaman makanan dalam bentuk kue-kue dan makanan kecil, tapi nasi tetap meru­pakan sesuatu yang dianggap penting.
Sepertinya budaya itu mulai berubah, terutama di wilayah Kepulauan Nusan­tara, banyak lahan sawah yang beralih fungsi menjadi lahan pemukiman dan perkan­toran. Dan tidak sedikit pula lahan yang pernah disurvei di zaman pemerintahan Soeharto yang direncanakan sebagai pengembangan areal persa­wahan beririgasi berubah menjadi areal perkebunan sawit. Sementara di sisi lain Amerika mengembangkan industri beras di negara bagian California, dan ada kemungkinan pada suatu waktu nanti Indonesia tidak hanya menggantungkan diri kepada beras Vietnam, atau Thailand tapi juga meng­gantungkan perutnya ke indus­tri beras di California.
Media televisi yang dike­nal punya pengaruh luas di masyarakat pada akhir-akhir ini sering mengiklankan ma­kan ubi. Mungkin ideanya bagus dalam rangka penga­ne­karagaman makanan. Seper­tinya kita diingatkan kembali ke zaman kesogunan Jepang yaitu di era Tokugawa Ie Yesu yang mengembangkan pem­buatan udon yang biasanya dari terigu, diganti dengan bahan baku dari tepung ubi jalar, sedangkan kaum bang­sawan dapat menikmati beras. Mungkin saja yang dimak­sudkan dengan iklan tersebut adalah bagaimana mem­bangun budaya hidup sehat, tapi kevulgaran yang terlihat adalah promosi untuk mening­galkan beras dan meng­gan­tinya dengan umbi umbian.
Apa yang dapat dilihat pada media televisi pada hari ini  mungkin saja adalah promosi dari ketidak­mam­puan pemerintah dalam men­cukupi kebutuhan sandang dan pangan bagi para war­ganya, dan juga cerminan dari ketid­ak tegasan hukum da­lam menempatkan sawah sebagai areal produksi yang tidak boleh dialihfungsikan baik untuk areal pertam­bangan atau areal perkan­toran.  Hal ini juga  cerminan suatu bentuk ketidak tegasan dalam ketentuan tata ruang wilayah dan alih fungsi kawa­san.
Laju alih fungsi lahan sawah setiap tahun sangat pesat, sedangkan laju per­tambahan penduduk juga sejalan dengan sepesatnya laju alih fungsi lahan sawah. Di sisi lain usaha pem­bukaan lahan baru untuk persawahan selalu tersendat. Beda sekali dengan alih fungsi lahan untuk per­kebunan sawit. Hampir seluruh Kalimantan telah beralih fungsi menjadi kebun sawit, dan celakanya DPR meloloskan undang-undang kehutanan yang menem­pat­kan sawit sebagai tanaman hutan. Syukur undang-undang itu dibatalkan oleh MK (Mah­kamah Konstitusi).
Bila masyarakat berpikir realistis, sehubungan dengan rupiah yang dihasilkan per satuan lahan, maka ternyata bertanam padi pada harga beras Solok Super Rp12.000/kg  dengan hasil panen mini­mal 4,5  ton gabah musim tanam (MT) atau setara beras 2,9 ton musim tanam, petani akan menerima Rp35 juta musim taman atau hampir seratus juta/ha/tahun. Ban­dingkan dengan sawit yang produksi maksimum pada tanah subur adalah 25 ton/ha/tahun pada harga pasar berfluktuasi dari Rp800-Rp1.300, atau akan mem­berikan penerimaan  Rp20 juta-Rp32,5 juta /tahun. Nilai rupiah yang dicapai pada usaha pertanian beras itu tidak menggunakan nilai tertinggi produksi beras hasil dari balai penelitian tanaman pai yang dapat memberikan hasil 8-12 ton gabah/ha/musim tanam, yang harus dicermati adalah untuk men­dapatkan 1 kg beras ber­kualitas petani memerlukan 9 sampai 15 kg sawit.
Memperhatikan hasil per­ka­­lian dari penerimaan kotor persatuan lahan maka tidak terlihat bertanam padi lebih rendah pendapatannya dari perkebunan sawit. Usaha pertanaman padi akan mem­berikan keuntungan yang lebih besar apabila petani mengem­bangkan tanaman padi or­ganik. Produk pertanian orga­nik dinilai oleh banyak pakar memiliki keuntungan yang besar ditinjau dari sudut kesehatan. Nilai kesehatan ini akan jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan meng­komsumsi beras impor, yaitu beras yang telah lama disim­pan didalam gudang apakah itu di negara yang ber­sang­kutan sebagai produsen atau di gudang di negara yang menerima sebagai konsumen. Untuk menghindari rusaknya beras dari hama gudang biasanya dilakukan fumigasi atau pengembosan dengan pestisida setiap 2 atau 3 bulan sekali.
Usaha kedaulatan pangan khususnya pengadaan beras adalah amanat undang-undang dasar yang harus dilak­sana­kan oleh  pemerintah selaku pengendali administrasi nega­ra. Regulasi peruntukan lahan dan pengendalian kawasan berada di tangan pemerintah. Negara punya wewenang penuh dengan berbagai un­dang-undang yang ada, baik mengenai alih fungsi lahan atau mengenai lingkungan hidup. Salah satu faktor yang mesti dicegah adalah usaha alih fungsi lahan sawah baik yang dilakukan oleh pe­me­rintah, perorangan ataupun pihak swasta.
Dalam pemberian izin untuk pembukaan areal baru, ada baiknya pemerintah me­ngacu kepada kebijakan lokal yang ada di Sumatera Barat, yaitu dalam pembukaan satu kawasan 25 persen arealnya diuntukkan untuk per­sa­wahan.


PROF AZWAR RASYIDIN
(Guru Besar Fakultas Pertanian Unand,
Ketua Persatuan Alumni Dari Jepang (Persada) Wilayah Sumatera Barat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar