Featured Video

Rabu, 27 Juni 2012

MENELISIK JEMBATAN MAUT DI AMPING PARAK


Nagari Amping Parak, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan di belah oleh sebuah sungai bernama Batang Amping Parak. Kampung-kampung, atau pusat-pusat perekonomian yang berada di bagian selatan nagari ini masih belum menikmati sarana penyeberangan yang memadai. Padahal bagian selatan sedang tumbuh menjadi pusat perekonomian warga yang rata-rata berasal di bagian utaranya.

Di seberang (bagian selatan meliputi Padang Tae, Koto Tarok, Padang Laweh dan sebagian Tanjung Gadang), merupakan kawasan perke­bunan sawit rakyat yang sedang berkembang pesat.
Tidak kurang 120 hektare lahan yang telah berproduksi dengan rata-rata produksi 60 ton saban panen. Petani di sana kesulitan mengangkut produksi sawitnya ke pedagang pengumpul. Selain sawit disana juga dibudidayakan berbagai tanaman pangan. Misalnya jagung, ubi kayu, ketla rambat dan talas.
Dari penelusuran Haluan, ter­dapat empat titik sarana penye­berangan yang mencemaskan di Amping Parak tersebut. Men­cemaskan karena jembatan terbuat dari beberapa batang bambu yang disambung. Sementara jarak per­mukaan sungai dan tebing ada yang mencapai 3,5 meter. Berbahaya memang. Pada titik lain ditemukan pula jembatan meniru jembatan gantung konvensional, tapi dari bahan bahan amat sederhana. Misalnya dengan memakai selembar papan sebagai lantainya dan kawat sebagai “pengamannya”.
Empat jembatan yang membuat “tulang baraie” (membuat takut - red) itu, hanya orang orang terlatih­lah yang mampu menitinya. Tidak hanya siang, malampun tetap ada orang yang menitinya. Maka melalui jembatan yang memprihatinkan itulah sekitar 60 ton tandan buah segar sawit diangkut warga. Bera­yun, bergetar dan mengancam. Meski sudah terbiasa, tidak jarang sawit yang di pikul petani jatuh ke dalam sungai akibat tempat berpijak licin dan menyebabkan oleng penggunanya. Apalagi jika hari hujan. Bila beban jatuh, lepaslah rupiah pembeli beras dan lauk. Inilah pederitaan yang harus di tanggung petani saban hari, teru­tama mereka yang bermukim di bagian utaranya.
Penderitaan itu kian lengkap manakala petani mengangkut sawit di hari hujan dari kebun. Jalanan bergoyang (karena masih gambut) dan lunak pula. Alat pengangkutnya sepeda unto yang di beri keranjang di belakanya. Atau paling bagus alat angkutnya menggunakan gerobak dorong. Petani harus memapah sepe­da unto nya secara perlahan. Bias­a­nya, bannya akan terbenam hingga separuh jari-jarinya. Dan jembatan “maut” adalah ujian terakhir men­jelang buah sawit bias sampai ke tempat timbangan para toke.
Perjuangan hebat para petani itu telah berlangsung lama. Semen­jak bumi tertelentang kata orang disana. Hanya alam lah yang mengajarkan mereka membuat jembatan mirip jembatan gantung, tapi sesungguhnya sangat mengan­cam keselamatan. Secara teknis, tentu jembatan itu sangat tidak layak dan membahayakan. Tapi apa boleh buat, hanya itu yang bisa dibuat masyarakat. Tidak jelas entah sampai kapan penderitaan mengangkut sawit berbahaya itu akan berakhir. Wallahualam !
Zamzami (50), warga setempat menyebutkan, ia sudah 30 tahun menyeberangi Batang Amping Parak. Dulu sebelum ada jembatan gantung terbuat dari bambu, ia harus bere­nang ke seberang. Lalu pada tahun 80-an kami bersama masyarakat membuat jembatan gantung dengan baha-bahan seder­hana.”Hampir setiap delapan bulan ada saja bagian jembatan yang diganti. Misalnya lantai, atau kawat pengaman. Demikan terus berlang­sung agar jembatan tetap amam untuk dile­wati,” katanya menje­laskan.
Wali Nagari Amping Parak, Bustami, melalui Kaur Pem­bangu­nannya Yendri menyebutkan, keter­batasan sarana penyeberangan di Amping Parak tidak menyu­rutkan semangat para petani untuk mengo­lah lahan mereka. Lahan-lahan yang sebelumnya banyak terlantar, kini telah tumbuh menjadi sentra per­kebunan sawit milik rakyat. Hal itu perlu diapresiasi oleh peme­rintah.
“Kami ditingkat nagari telah melakukan upaya upaya agar akses ke lokasi perkebunan sawit rakyat itu membaik. Diantaranya peme­rintahan nagari telah mengajukan kepada pemerintah kabupaten agar dibangun jembatan yang repre­sentatif di Koto Tarok, atau di salah satu titik yang bisa dimanfaatkan petani yang melangsungkan kegiatan ekonomi di bagian selatan Amping Parak,” jelasnya.
Selain itu, di dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nagari (RPJMN) Amping Parak, pembangunan jembatan gantung ke sentra perkebunan rakyat itu menjadi prioritas utama. Karena ini menyangkut kepentingan orang banyak dan perekonomian. Tapi sejauh ini belum ada realisasinya.
“Hingga saat ini di Amping Parak memang belum ada jemba­tan yang representatif untuk menghubungkan kawasan bagian utara dengan kawasan bagian selatan itu. Kemampuan keuangan pemerintahan nagari sangat terba­tas. Dengan DAUN (Dana Alokasi Umum Nagari) tidak akan bisa membangun jembatan itu. Kami sangat berharap banyak kepada pemerintah kabupaten atau melalui program-program nasional lain untuk pembangunan jembatan,” katanya menutup pembicaraan. Haridman Kambang



http://www.harianhaluan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar