Featured Video

Senin, 18 Juni 2012

SEJARAH MINANGKABAU DITEMUKAN DI SULAWESI


Sejarah pergerakan tokoh-tokoh Minang­kabau di Nusantara kembali jadi perbincangan hangat. Beberapa daerah, bahkan disebut sebagai daerah yang “dipengaruhi” pemi­kiran dan pengembangan budaya oleh tokoh-tokoh tersebut.
Dalam sebuah seminar yang diadakan  Ikatan Keluarga Kabu­paten Pasaman (IKKP) Jabode­tabek dan Ikatan Pemuda Pemudi Minangkabau Indonesia (IPPM), Minggu (17/6) di Bekasi, menga­punglah nama salah satu tokoh itu, yakni
Nurudin Mahkota Alam Maharaja Pagaruyung. Nurudin diduga merupakan ayah kandung dari Tuanku Imam Bonjol yang menyiarkan Islam sampai ke Sulawesi. Sa­yang, namanya nyaris tak pernah diungkap dalam literatur sejarah Minangkabau.
Namun peneliti LIPI, mene­mukan data penting mengenai sepak terjang Nurudin. Setelah mem­pelajari tambo, arsip di Leiden dan sejumlah manuskrip il­miah, peneliti LIPI menemukan bahwa di Sulawesi, keturunan Tuanku Imam Bonjol memiliki jejak peninggalan penting. Setelah mem­pelajari tambo, arsip dari Leiden dan sejumlah manuskrip ilmiah, peneliti LIPI menemukan asumsi bahwa Datuk Nurdin Mah­kota Alam Maharajo Pa­garuyung yang berma­kam di Sandrobone, Sulawesi Sela­tan, adalah ayah Tuanku Imam Bonjol.
Peneliti LIPI, Erwiza Erman mengatakan, sejak Adityawarman turun tahta, sejarah Minang seolah tak tercatat. Penelitiannya menyim­pulkan, orang-orang Minang di abad 15-16 sangat kosmopolitan. Sesuatu yang tak pernah didengar sebelumnya.
“Orang Minang itu memang perantau sejak dahulu. Ternyata Sulawesi masuk daerah tujuan, terbukti dengan kemiripan prosesi adat,” katanya.
Pada Oktober 2011, Erwiza mulai meneliti di Makassar untuk melihat kuburan Datuk Mahkota yang tak memiliki nisan. Tak sekadar ingin berpatokan kepada kuburan, ia menelusuri Lontarak “Tambo” untuk mencari silsilah Datuk Mahkota. Ia juga memeriksa jejak-jejak korespondensi antara raja-raja Makassar dengan VOC.
Thomas Diaz, pejalan Portugis yang ditugaskan VOC pernah menyebut-nyebut nama Datuk Mahkota. Meski tambo dikatakan mitos, ia tetap tak surut. Ia kemudian mengaitkan dengan sejarah tertulis, bahwa raja Minang itu adalah seorang pejalan. Maka tak mengherankan jika jejak budaya Minang banyak di daerah lain.
“Ini membuktikan bahwa raja-raja Minang bukan boneka, yang seperti diceritakan Belanda. Pada­hal mobilitas orang Minang sudah tinggi sejak abad 15. Bukti lain ada di Papua, Raja Ampat. Kenapa bukan Empat,” ujarnya.
Bahkan, Raja Goa, Andi Koma­la Ijo, menyebutkan, masyarakat Goa, sebagai yang diislamkan, sangat menjunjung tinggi orang Minang. Bukti itu terbukti banyak masyarakat Goa yang berziarah ke pusara Nurudin Mahkota Alam.
“Sayangnya, orang Minang sendiri tak ada yang datang ke sini,” kata Raja Goa.
Sebuah situs yang mengambil referensi media lokal di Padang edisi 16 Maret 2008 lalu sudah pernah menyebut hal serupa. Hasil browsing Haluan, hal ini ditemukan pada laman http://musriadi. mul­tiply.com/ journal/item/155/Mahkota-Minangkabau-Berkubur-di-Goa­?&show_ interstitial=­1&u=­%2Fjour­nal%2Fitem
Pembina IKKP dan IPPM, Emi­lei Zola mengatakan, salah satunya peranannya dalam mengislamkan daerah-daerah di Nusantara. Sekali pun hal itu tak tercatat dalam arsip daerah Sumbar, namun ternyata laporan Inggris dan arsip Leiden yang pernah menjajah Indonesia, keberadaan tokoh Minang ini cukup jelas dinyatakan sebagai tokoh yang berperan besar dalam menyiarkan Islam di Sulawesi.
“Bahkan negara-negara tetangga mencoba mencari benang merah proses islamisasi di negara mereka ke Minangkabau, akan tetapi mengecewakan, karena data tak memadai,” kata Emilei Zola.
Kepala Badan Perpustakaan dan Kearsipan Sumbar, Mudrika mengatakan, belum ada satu pun kesadaran orang Minang bahwa syiar Islam ke Sulawesi yang dilakukan oleh Minang sebagai suatu kebanggaan.
“Kita tak menghormati tokoh-tokoh Minang, sementara Sulawesi memberi tempat tersendiri bagi orang Minang,” kata Mudrika.
Dilanjutkannya, penemuan ini dapat diartikan sebagai penemuan serpihan sejarah. Peneliti perlu telusuri alur benar sejarah itu.
“Bayangkan, kita hanya tahu Imam Bonjol. Tapi pertanyaan asal-usulnya tak pernah ada. Memang asal-usulnya tak jelas, sehingga banyak pihak yang mengaku keturu­nan,” ujar Mudrika. (h/mat/rel/adv)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar