Featured Video

Senin, 11 Juni 2012

SOAL AIR PLTA SINGKARAK KUNCINYA ADA DI PEMPROV


Dalam tiga thn terakhir ini masalah air danau  yang digunakan untuk keperluan pembangkit listrik di danau Maninjau dan danau Singkarak berkali-kali menjadi sorotan. Isunya selalu sama dengan berbagai isu di tempat mana ada PLTA yang sumbernya air danau. Bahwa akibat adanya pembangkit listrik dengan  menggunakan tenaga air danau sebagai pemutar turbin membuat lahan pertanian masyarakat sekitar danau merana.

Pekan ini, kelompok masyarakat Malalo Kabupaten Tanah Datar yang berdiam di muklut intake PLTA Singkarak didatangi oleh para petinggi PLN yang dimediasi oleh anggota DPR RI Azwir Dainy Tara. Kedatangan tim dari Jakarta itu untuk melihat dari dekat seberapa nyata apa yang dilaporkan kepada mereka selama ini tentang kerugian masyarakat dan tudingan ketidakpedulian pihak PLTA Singkarak terhadap masyarakat sekitar danau.
Ada beberapa hal penting tentang air danau untuk PLTA ini. Yang pertama dari sisi masyarakat sekitar danau. Pada pokoknya yang dikeluhkan itu adalah soal ekonomi. Kehidupan masyarakat sekitar danau yang selama ini lebih banyak terkonsentrasi untuk mengeksploitasi danau, kini agak terganggu. Apalagi kalangan LSM pun sudah mengeluarkan pernyataan ada spesies ikan danau yang hilang. Hanya saja kehilangan spesies itu belum dinyatakan penyebabnya PLTA. Hanya dugaan-dugaan semata.
Hal lain yang menjadi kerisauan warga sekitar danau adalah terganggunya lahan pertanian mereka. Pada waktu musim hujan, PLTA melakukan perbaikan pada turbin. Maka pada waktu itu debit air ke intake dikurangi. Konsekwensinya air permukaan danau menjadi naik dan menggenangi sawah-sawah sekitar. Celakanya, pada waktu itu lahan-lahan itu sedang ditanami palawija. Ya, habislah semuanya.
Kemudian, dituding pula bahwa perhatian PLTA atau PLN kepada masyarakat di sekitar intake PLTA nyaris kecil. Maka dengan demikian lengkaplah rasa kecewa masyarakat. Mereka sudah menyampaikan itu kepada pihak Pemerintah Kabupaten Tanah Datar. Oleh Bupati Shaddiq Pashadigue kemudian disalurkan kepada Gubernur Sumbar. Awal tahun ini, sejumlah tokoh selingkar danau Singkarak itu menemui Gubernur Irwan Prayitno di Padang untuk menyampaikan keluhan mereka.
Yang kedua dari sisi PLN. Perusahaan listrik milik negara ini tentu saja memulai satu kegiatan apalagi yang menyangkut pengeksploitasian sumber daya alam seperti danau ini dengan payung hukum.
Ketika PLN akan memulai membangun pembangkit pada 1991 sebelumnya sudah disampaikan kepada pemerintah. Karena PLN juga badan usaha milik negara maka sesungguhnya urusan regulasinya bagai dari meja kiri pindah ke meja kanan. Pemerintah yang menjadi pelaksana, maka tentu pemerintah tidak pula mempersulit PLN. Izin diberikan.
Bahkan pada awal-awalnya, masyarakat Sumatera Barat sangat mendambakan adanya PLTA itu. Makanya ketika PLTA ini digagagas oleh Ir. Januar Muin, semua mendukung. Dampaknya, ada pertumbuhan karena ada investasi. Ada lapangan kerja karena ada proyek. Dan dalam jangka panjang kebutuhan listrik daerah ini jadi terpenuhi (walau kemudian listrik itu tak cukup-cukup juga). Intinya kehadiran PLN melalui PLTA di Singkarak itu pastilah tidak mengejar keuntungan, melainkan memenuhi kewajiban negara kepada rakyatnya. Memenuhi kebutuhan energi listrik.
Nah, sekarang yang ketiga dari sisi pemerintah. Ketika H. Saidani menjadi Kepala Dispenda Sumatera Barat, ia melihat bahwa air permukaan yang digunakan PLTA merupakan aset daerah. Karena tak mungkin meminta PLN membayar air yang dipakai, maka Saidani memilih jalan elegan: menerbitkan Perda tentang Pajak Air Permukaan. PLN diwajibkan membayar pajak daerah. PLN setuju. Maka dari PLTA Maninjau dan PLTA Singkarak serta sebagian PLTA Koto Panjang ditariklah pajak air permukaan.
Masalahnya sekarang keributan muncul ketika masyarakat merasa tak puas. Mereka merasa disepelekan saja.
Jadi, jalan keluarnya adalah bagaimana memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa kewajiban PLN kepada rakyat sudah dibayarkan melalui pajak air permukaan kepada Pemprov Sumbar. Mungkin perlu didudukkan pengembalian pajak yang disetor PLN kepada Pemprov itu secara lebih proporsional kepada masyarakat sekitar danau.
Dengan demikian kuncinya adalah pada Pemprov Sumbar. Sosialisasi, sekali lagi sosialisasi program pemprov ini kadang memang tidak jelas juntrungnya. Tidak sistematis dan komunikatif. Jika Pemprov menjawab dengan meminta dana CSR PLN diperbanyak ke wilayah sekitar danau itu hanya jawaban lepas. Sebaiknya, tinjau ulang saja Perda Pajak Air permukaan dengan demikian besaran pajaknya bisa ditingkatkan dan tinjau ulang cara pembagiannya.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar