Featured Video

Jumat, 27 Juli 2012

SYEKH IBRAHIM MUFTI, KE MEKKAH SEKEJAB MATA



Ditulis oleh Teguh

Syekh Ibrahim Mufti seorang penyebar Islam yang datang dari Timur Tengah. Kisah tentang Syekh ini mengalir turun-te­murun. Dari cerita itu, dikisahkan Syekh Ibrahim Mufti datang dari Iran. Ada juga yang mengatakan, ia datang dari Palestina. Sembari berdakwah, ia juga ber­dagang dari satu negeri ke negeri lain, termasuk ia juga singgah ke Taram, Limapuluh Kota.

“Di Taram, ia mendirikan Surau Tuo. Surau ini telah ada di Nagari Taram semenjak tahun 1835.
Pada waktu itu, tengah bergolak Perang Paderi. Pada masa itu, bangunan surau masih kecil dan terbuat dari kayu. Adapun peran­cang dari surau ini adalah Syekh Ibrahim Mufti sendiri,” begitu jelas H.A.B.DT.Tumanggung yang meru­pakan wakil Ketua Dewan Pen­yan­tun LKAAM Kabupaten Limapuluh Kota.
Dalam perjalanannya di dunia dakwah, Syekh banyak bertemu dengan pemuka-pemuka agama di daerah Baso, Kamang, dan Lintau. Dia mengajarkan bahwa dalam mengembangkan agama Islam harus toleran, persuasif, dan edukatif. Hal ini sangat berlawanan dengan semangat para pemuka agama waktu itu, bahwa orang-orang yang tidak melakukan syariat Islam dan orang-orang berjudi, merokok makan sirih harus ditum­pas dengan kekerasan.
Di Taram, ia mempunyai dua istri. Istri pertamanya bernama Laut Aceh dan memiliki anak bernama M. Jamil dan Jamilan. Adapun peninggalan Syekh yang masih tersimpan dengan baik berupa tongkat, ember dan beberapa lembar surat. Dengan istri keduanya yang bernama Pisa. Ia memiliki banyak keturunan. Salah seorang anaknya bernama M. Nurdin. Ia pergi ke Mekkah dan seorang lagi bernama H. Kamarudin yang me­ngembangkan Islam ke Aceh.
Berdasarkan penelusuran Ha­luan di Nagari Taram tempat keturunan Syekh Ibrahim Muftiterdapat naskah yang telah dise­lamatkan Kementerian Agama di mana salah satu naskahnya berbi­cara mengenai Asbabun Nuzul (Sebab-sebab Turunnya Ayat-ayat Alquran). Belum ada bukti valid ditemukan, apakah naskah ini merupakan salinan dari karya As-Suyuthi yang berjudul Asbabun Nuzul (dicetak di pinggir Tafsir Jalilain) atau tidak.
Keberadaan naskah yang me­ngu­raikan Asbabun Nuzul ini mem­berikan kesan bahwa Syekh Ibrahim Mufti dahulunya memang mansyur dalam bidang keilmuan apalagi mengenai tafsir Asbabun Nuzul ini.
Sistem dakwah yang dianut Syekh Ibrahim Mufti atau yang dikenal juga sebagai Syekh Taram ini adalah dengan cara mengum­pulkan orang di satu tempat (tanah lapang), di bawah naungan kayu besar ataupun di surau. Dari dakwah ini, beliau telah memiliki banyak murid.
Dt Tumanggung mengatakan, cerita mengenai kematian dari Syekh Taram ini, dikarenakan sewaktu ia sedang bercukur rambut di Surau Tuo. Baru setengah dari rambutnya yang berhasil dicukur, tiba-tiba dia bangkit sambil berkata: “Kota Mekkah terbakar lalu  Syekh menghilang dalam sekejab. Setelah kejadian tersebut ia tidak pernah kembali lagi ke Nagari Taram.”
“Namun tiga tahun kemudian seseorang yang kembali dari Tanah Suci mengatakan bahwa Kota Mekkah terbakar dan orang yang bercukur sebelah yang memadamkan apinya,” kata Dt Tumanggung.
Anak dari istri pertamanya Jamil pergi mencari ayahnya ke Mekkah. Konon kisahnya ia tidak pernah bertemu dengan ayahnya dan akhirnya meninggal di Pales­tina. Sementara adiknya bernama Jamilan bermimpi tentang ayahnya dan mengatakan, ‘Saya jangan dicari lagi, engkau lihat saja pada malam 27 Rajab sumber cahaya. Dimana ada cahaya di sanalah ayahmu ini.’
Adapun kuburan keramat yang ada di samping Surau Tuo bukanlah jasad dari Syekh Ibrahim Mufti, tetapi itu adalah sumber cahaya yang dipesankannya pada Jamilan melalui mimpi. Menurut cerita dari DT Tumanggung, banyak kejadian aneh sepeninggalan Syekh Ibrahim Mufti.
Kejadian aneh tersebut di antaranya adalah ketika kebakaran terjadi di Bukit Godang salah satu daerah di Nagari Taram. Di mana kampung di bawah bukit tersebut juga ikut terbakar. Angin pun bertiup menuju Surau Tuangku Keramat. Namun secara tiba-tiba hujan deras turun membasahi surau sehingga api yang datang pun padam seketika, sehingga surau Tuo Tuangku selamat dari kobaran api.
“Kolam ikan yang berada hala­man masjid dibuat oleh beliau semasa hidupnya. Ikan di kolam tersebut didatangkan dari Kapalo Banda. Ketika Syekh Ibrahim Mufti memasukkan tongkatnya ke dalam air Kapalo Banda, dan menghelanya menurut aliran tali bandar, sehing­ga ikan-ikan yang ada mengikuti tongkatnya dan terus masuk ke kolam besar tersebut,” terang Dt Tumanggung.
Ikan-ikan itu, tetap ada, yang diperkirakan beratnya telah men­capai 15 kg. Ikannya jinak dan bisa diberi makan dengan telapak tangan. Namun, sewaktu tentara Jepang masuk ke Nagari Taram pada tahun 1944, kolam itu di bom dengan dinamit yang menyebabkan ratusan ikan mati. Setelah kejadian itu, dua nyawa tentara Jepang melayang karena dinamitnya sendiri.
Ada lagi cerita lain. Ada sorang petani yang menanam buah nangka di halaman rumahnya dan berjanji jika nangka ini telah berbuah, maka buah pertamanya akan ia serahkan ke Surau Tuo. Namun ia menging­karinya. Ia hanya mengantarkan sebelah dari buah yang matang itu. Anehnya, semua buah nangka yang tumbuh di batangnya menjadi hampa sebelah (hanya setengah yang berisi). Sehingga daerah itu diberi nama Cibodak Ampo

haluan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar