Featured Video

Rabu, 07 November 2012

IMAM MASJIDIL HARAM DARI MINANGKABAU

Ditulis oleh Teguh   

Siapa tak kenal Dr Ahmad Kh­atib al- Minang­kabau! Beliau disebut muja­ddid wa al-muj­ta­hid yang namanya bersi­pongang di Indonesia/Minang­kabau. Murid beliau sanga­tlah banyak dari pelbagai sudut negeri. Sebut saja Abdul Karim Amrullah, alias Inyiak Rasul/Inyiak Deer/ayah Ham­ka; Muhammad Jamil Jambek; Abdullah Ahmad; Ibrahim Musa Parabek; H Agoessalim; KH. Ahmad Dah­lan; dan sederet tokoh Islam lainnya (rijalu adda’wah).

Kebesaran nama  para refosmis dan modernis Islam bersayap nasionalisme di Jawa dan tanah Minang ini, bagaimanapun tak dapat direnggangkan dari kiprah seorang tokoh—yang justru banyak menyuguhkan gagasan-gagasan jitu lagi bernas  dari tanah suci Makkah al-Mu­karramah.
Beliau adalah Dr. Ahmad Khatib al-Minang­kabau ulama kharismatik plus substansialistik berdarah Koto Gadang Luhak Agam. Beliau­lah yang menjadi guru hampir semua pembaru Islam Tanah Air pada awal abad ke-20 silam, Ahmad Khatib  bersa­ma adik sepupunya  Thaher Djalaluddin inilah yang dikirim oleh petinggi Minang­kabau guna menyauk al-Islam secara intens lagi menukik ke Mak­kah al-Mukarramah, sekitar tahun 1871 lampau.
Mukim dan Menyauk ilmu di Makkah
Menelusuri sejarah, Ah­mad Khatib lahir pada 26 Mei 1860 M dari pasangan Abdul Latief, warga Koto Gadang dan Limbak Urai, asal Koto Tuo Balai Gurah, Ampek Angkek, Canduang, Bukittinggi. Masih “bujang jolong gadang” (rema­ja/11 tahun), Ahmad Khatib dibawa ayahnya menunaikan rukun Islam ke-5 ke Makkah. Di tanah Makkah, Ahmad Khatib tidak  sekadar menu­naikan ibadah haji. Tapi, ia mukim dan gigih menggumuli al-Islam secara mendalam (liyatafaqqahu fi Addin)—baik pendekatanlafzhiyah maupun ma’nawiyah. Dalam bahasa enak di kuping kaum kon­temporer, itulah yang diisti­lahkan dengan metodologi kajian literal, tekstual dan kontekstual.
Tidak begitu rumit bagi Ahmad Khatib muda melusuhkan diri dengan kitab-kitab kuning. Sebab, sebelum­nya ia telah akrab dengan bahasa Arab. Agar mampu menyerap api dan semangat Islam secara substantif-apli­katif, Ahmad Khatib tidak ketinggalan menggelimangi apa yang disebut oleh “makh­luk” sekuler “ilmu-ilmu u­mum”.  Sebut saja ilmu falak, ilmu hitung/hisab, aljabar dan lain sebagainya. Lagi-lagi tidak begitu riskan bagi Ah­mad Khatib mempelajari ilmu penunjang ini. Sebab, selain berotak brilian serta berlatar-belakang keluarga terdidik—sebelum menginjak tanah Makkah, ia telah meram­pungkan studinya di kweek­school Bukitinggi.
Cuma dalam rentang wak­tu 9 tahun (1287 H/1871 M hingga 1296 H/1876 M), Ahmad Khatib mampu menye­lesaikan pembelajaranya di bawah asuhan ulama Makkah terkemuka. Misalnya: Sayyid Zayn al- Dahlan, Syekh Bahr al-Syatta, Syekh Yahya al-Qabli dan lainnya. Harap mafhum! Guru bertaraf tinggi (faqihun wa al-hakimun) ini tidak hanya sayang pada Ahmad  Khatib, lebih dari itu mereka berdecak-kagum atas kecerdasan plus keelokan budi sang murid dari jawi (pang­gilan Arab terhadap Indonesia/Melayu) ini. Bah­kan, sejak Ahmad Khatib menyauk ilmu di tanah haram itu pula, pameo segelintir Arab yang berkonotasi sinis, mencibir dan mengejek orang Indonesia/Melayu berangsur redup—yang pada akhirnya punah. “Jawi ya’kul hanas: orang Melayu makan ular”. Begitu cemooh Arab tradisionalis pada Indo­nesia.
Simpati yang diraup Ah­mad Khatib tidak hanya dari para ulama berpikiran maju, Bangsawan Arab: Syekh Sha­lih al-Qurdi malah meminang Ahmad Khatib sebagai me­nan­tu, dengan mempersunting si sulung-nya bernama Kha­dijah (1879). Berkat tangan dingin mertua, Ahmad Khatib disuguhi peluang mentran­sfor­ma­sikan segala kemam­puan­nya di Masjidil Haram. Malah satu anugerah tidak ternilai, menjelang abad ke-20—si kutu kitab ini diamanahi menggenggam jabatan khatib dan Imam Besar Masjidil Haram. Dan, bila sang Imam dari tanah Minang ini, meng­imami salat di masjid—yang dikunjungi jutaan umat Islam dari pelbagai penjuru dunia tersebut, meluncurlah suara penuh zauq (getaran) dari mulut beliau. Soalnya, selain amat sangat fashahah (fasih), malah melebihi kefasihan lidah orang Arab sendiri—beliau juga punya suara mer­du, dan mengusai irama cukup beragam dan bervariasi—dengan model tartil (membaca cepat, tapi khidmat). Sebut saja irama: bayati, hijaz, tsiqah, shabah, ras, nahwan dan lainnya. Sekali lagi, bila pengagum Ibnu Thaimiyah ini, tampil mengimami salat, maka ribuan, bahkan jutaan jemaah, benar-benar salat dengan khusyu’. Bahkan ba­nyak jemaah salat yang bulu kuduknya merinding dan menangis-terisak. Apalagi andai sang imam membaca ayat-ayat; kezaliman orang-orang kafir menindas umat Islam. Maklum, ketika itu sejumlah negara Islam—termasuk Indonesia—yang penduduknya mayoritas ber­agama Islam (fi’ah katsirah), masih bertekek-lutut di bawah imperialisme negara-negara barat.
Padahal, tidak sembarang orang hingga kini bisa jadi khatib, imam apalagi guru di Masjidil Haram—kendati  di kampungnya ia seorang qari bertaraf nasional/internasional. Lagi-lagi ini lantaran kecer­dasan, keperibadian dan keting­gian ilmu yang bergayut pada diri seorang Ahmad Khatib.
Seimbang Dakwah lisan dan Tulisan
Sebagai seo­rang alim, Ahmad Khatib sadar, kalau ilmu tidak hanya dijuluk dalam batas dimensi ruang dan waktu pendek, dan tidak cuma terkebat pada konteks wacana dan wicara (taqriru al-lisan) antara ‘alim wal mu’allim (guru dan mu­rid). Tapi, lebih jauh dari itu, Ahmad Khatib justru mene­ropong ke ranah al-mad’u (objek da’wah) dalam jangka yang lebih panjang. Makanya, jangan kaget, selain mengajar, Ahmad Khatib  juga dikenal cukup produktif mencacahkan qalam lewat karangan ilmiah, bernas lagi mencukam. Bukti konkret, Ahmad Khatib me­nuang­kan buah pikirannya dalam aspek ilmu seni, fiqih, ushul fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu berhitung, ilmu ukur, kewarisan dan ihwal adat Minangkabau—dengan jumlah tak kurang dari 49 judul.
Hanya saja dokumen ber­harga yang ditorehkan Ah­mad Khatib ini, sudah sulit dite­mukan. Ada memang tersim­pan sebagian kecil di Kutub Khannah/Per­pus­ta­kaan Buya Hamka, Ma­ninjau. Namun, yang mem­buat dahi berge­rinyit—wa­risan bertaraf hight cuality (bermutu tinggi) itu, selain kurang dijamah oleh pe­ngunjung—juga digerayangi oleh kapuyuak (lipas). Wal lahu a’lam bish shawab.

H. MARJOHAN
(Pemerhati Sosial-Keagamaan)

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar