Featured Video

Kamis, 27 Desember 2012

Nama Nagari


DARMAN MOENIR
SAYA benar-benar takzim membaca teks foto utama halaman satu “wawancara” Singgalang Sabtu, 22 Desember 2012. Ini bunyi teks itu: Pemimpin Redaksi tvOne, Karni Ilyas, mewawancarai pelajar SMPN 1 Lubuak Aluang, setelah peresmian sekolah yang dibangun kembali atas prakarsa televisi tersebut, Jumat (21/12). Judul dan isi berita di halaman A-2 pun membuat saya takzim: Di Lubuak Aluang SMPN 1 Bantuan TvOne Diresmikan. Pada teks foto ada penjelasan pemotret (darmansyah), di akhir berita ada kode (213).

Mengapa takzim? (Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia tertera, takzim bermakna amat hormat dan sopan, memuliakan.) Setidaknya kata Lubuak Aluang (dengan huruf tebal, DM) pada teks dan lima kata yang sama pada berita ditulis persis: Lubuak Aluang. Hanya pada alinea kedua akhir tertera kata Lubuk Alung (salah ketik?). Saya tidak hendak mengomentari Negari Lubuak Aluang secara komprehensif. Benarkah itu berasal dari permainan kata: lubuak alu ang? Di mana lubuak alu den? Dalam berita ada nama-nama Padang Sago, Ulakan, Tuo Barangan, VII (Tujuah) Koto Sungai Sariak, Sicincin, 2 x 11 (Duo Kali Sabaleh) Anam (bukan Enam) Lingkuang. Menurut pengamatan saya, penulis teks dan berita, Redaktur Pelaksana, Pemimpin Redaksi, sudah berupaya maksimal untuk kembali menamakan negari (atau, dalam bahasa Minangkabau, nagari) di Minangkabau sesuai asli.
Sesungguhnya ternyata bukan hanya Singgalang yang sudah berupaya menggunakan nama-nama negari sesuai nama-nama awal. Padang Ekspres, Haluan, dan Posmetro Padang pun berupaya. Sesekali Kompas dan Republika, saat menyajikan berita tentang Provinsi Sumatra Barat dan/atau Minangkabau, pun berbuat serupa. Keenam harian itu saya langgankan dan baca setiap hari. Pada waktu tertentu saya juga membaca mingguan dan tabloid yang terbit di daerah ini. Televisi-televisi dan radio-radio yang siar di Kota Padang, Bukittinggi, dan kota-kota lain pun berbuat sama. Biarpun televisi dan radio sering gaduh dengan kata dan kalimat berdialek Jakarta.
Saya dan banyak urang awak barangkali sependapat, bahwa penamaan negari (taratak, dusun, jorong, kampung) di Minangkabau dikembalikan ke nama asli. Dan ini bukan pendapat baru, dan bukan pula pendapat saya pribadi. Sejak beberapa dekade, paling tidak, sejak Gubernur Harun Zain mengembalikan dan berupaya menaikkan harga diri orang Minangkabau, upaya itu mulai dilakukan. Sawahlunta dikembalikan ke nama asli Sawahlunto. Kemudian, beberapa skolar sebutlah Prof. Dr. Chaidir Anwar, M.A., Prof. Dr. Azis Saleh, M.A., Prof. Dr. Mursal Esten, dan banyak yang lain juga berupaya mengembalikan pinang ka tampuak, siriah ka gagang (ke tempat/nama semula).
Selama dua puluh tahun terakhir, saya memang termasuk yang amat getol mengusulkan agar nama-nama negari ini dikembalikan ke yang asli. Saya sudah berkali-kali menulis kolom, berbicara di seminar dan diskusi, berwawancara di televisi dan radio, tentang pengembalian nama ini. Aneh atau lucu dan bahkan menyesatkan bila nama-nama itu diindonesiakan. Sebutlah Aie Cama di Kota Padang, diubah menjadi Air Camar. Apakah makna cama dalam bahasa Minangkabau. Cangok, rakus, bukan? Apakah makna camar dalam bahasa Indonesia? Bukankah camar nama burung? Tidakkah dengan demikian, dengan pengubahan itu, terjadi penyesatan dan penyalahan makna? Begitu juga nama Ikua atau Ikue Koto, mengapa disebut Ikur Koto? Apakah arti ikur?
Saya tak hendak menyinggung “sejarah” penggantian dan pengubahan nama-nama negari yang diindonesia-indonesiakan. Sudahlah! Saya hanya merindukan, kembali merindukan, agar nama-nama negari di seantero Minangkabau dikembalikan ke nama asli, ke nama semula. Biarpun tidak mungkin dipaksakan, tetapi pekerjaan ini juga tidak sulit-sulit amat. Bertanya saja ke tetua, tokoh-tokoh dan para intelektual di negari masing-masing. Tanyakan, sebagai contoh, apakah negari ini memang sejak seisuk, sejak dunia terkembang, benama Sulik Aie? Lalu, mengapa harus diubah menjadi Sulit Air? Mengapa seterusnya tidak digunakan Sulik Aie saja?
Dengan demikian, akan berkibar kembali nama-nama indah, hebat, penuh makna bahkan bermartabat di tiap kampung dan negari. Ada Nagari Baruah Gunuang, Joroang Banda Raik, Gunuang Omeh, Talago Guguak, Batu Basa, Supayang, Simabua, Situmbuak, Salimpauang, Aie Angek, Sawah Tangah, Katapiang, Sigaluik, Bayua, Ambun Pagi (nama yang juga digunakan secara mengena untuk ruang rawat inap berkelas oleh RSUP Dokter M. Djamil), Matua, Batipuah Baruah, Kubu Karambie, Batu Banyak, Andaleh. Ada nama-nama Parak Gadang, Pasa Mudiak, Parak Laweh Pulau Aie Nan Duo Puluah, Subarang Padang, Pasie Nan Tigo, Koto Marapak, Balai Salasa, Garabak Data, Karang Sadah, Lintau Buo, Lubuak Jantan, Lubuak Basuang, Lubuak Minturun, Lubuak Buayo, Lubuak Situka Banang, Malalo, untuk menyebut beberapa nama. Dan alangkah indah, merdu, musikal dan berwibawa nama-nama kawasan ini: Rimbo Kaluang, Palinggam, dan Balanti di Kota Padang. Itu bukan Rimba Kalong, Pelinggam atau Belanti.
Selain terhadap kru media-massa sebagai pemakai bahasa paling aktif, baik tulis maupun lisan, rasa hormat juga harus disampaikan kepada pejabat pemerintah yang telah mengambil kebijakan untuk mengembalikan penamaan sebagaimana mestinya. Setahu saya, (Pak) Bupati Baharauddin R., melalui legislatif, sudah menetapkan, membuat peraturan daerah (perda), bahwa Simpang Ampek di Pasaman itu ya Simpang Ampek. Semua penamaan negari dan tempat di kabupaten itu dikembalikan ke asli. Hebat dan salut!
Mengapa pejabat pemda kota, kabupaten lain, dan provinsi belum mengambil kebijakan yang sama? Mengapa legislatif tidak tanggap ketika usulan dari masyarakat nyaring terdengar? Betapa lagi, berminang-minang, Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar adalah dua orang datuk, dua orang ninik-mamak terpandang? Dan mengapa organisasi keminangan seperti LKAAM dan Bundo Kanduang berdiam diri, diam semilyar bahasa?
Ayolah, kita kembalikan nama-nama itu ke yang asli.
Kemudian, mengubah kop surat, stempel, pelang-pelang nama (kantor, jalan), kartu nama dan beberapa perubahan lain tidak makan biaya besar. Tak perlu pengembalian nama “didarahi” dengan upacara seremonial. Saya memang rindu, sangat rindu, nama-nama taratak, dusun, jorong, negari di Minangkabau kembali ke asli. Batavia memang berubah jadi Jayakarta dan kemudian Jakarta tetapi setahu saya nama-nama dukuh, desa, di Jawa, tak mengalami perubahan. Begitu juga di etnik-etnik lain. (*)

s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar