Sejumlah ustaz memasang tarif jutaan rupiah untuk sekali ceramah.
Sebuah surat terbuka terpajang di dunia maya Oktober tahun lalu. Pesan itu ditujukan kepada Ustaz Solmed.
Isinya lebih tepat disebut sebagai curhat mengkritisi kedekatan sang ustaz dengan seorang penyanyi, beberapa bulan sebelum ia menikah.
“… melalui surat terbuka ini, saya bukannya ingin menasihati Bapak. Toh, saya juga jauh dari kepahaman terhadap ilmu agama. Saya hanya ingin menyampaikan kegundahan hati seorang umat bahwa sebagai dari apa yang Bapak lakukan menjadi contoh dan teladan bagi umat.”
“Jika memang sedang dekat dengan seorang wanita, janganlah mengklaim itu sebagai taaruf. Kasihan muda-mudi kita, Pak, bila kini mereka lebih merasa aman berdua-duaan dengan lawan jenis lantaran menganggap itulah proses taaruf seperti yang Pak Ustaz contohkan…”
Tak cuma itu contoh yang tersaji di dunia maya. Ustaz Ahmad Sarwat pada periode yang hampir bersamaan juga pernah menceritakan perihal bayaran yang diberikan kepada ustaz seleb, sebutan bagi penceramah yang berlagak seperti selebritas di televisi.
Ia tak menyebut nama. Namun, ia menulis pihak panitia Ramadhan terpaksa membatalkan rencana memanggil Ustaz X karena tarif yang dibanderol Rp 30 juta untuk ceramah 15 menit.
Banderol tinggi untuk memanggil ustaz, ustazah, serta artis religi juga dibenarkan oleh salah satu manajemen. Dalam perbincangan kepada Republika via Blackberry Messenger (BBM), ia mengungkapkan, tarif untuk ustaz, seperti Solmed atau Ustaz Ahmad al-Habsyi, itu berkisar Rp 17 juta.
Namun, untuk memesan jadwal tak bisa terlalu lama. “Kalau mau order nggak bisa lama-lama. Maksimal dua hari panitia datang ke kantor kami untuk urusan administrasi. Mengingat jadwal ustaz sangat ketat,” tulisnya.
Sebuah surat terbuka terpajang di dunia maya Oktober tahun lalu. Pesan itu ditujukan kepada Ustaz Solmed.
Isinya lebih tepat disebut sebagai curhat mengkritisi kedekatan sang ustaz dengan seorang penyanyi, beberapa bulan sebelum ia menikah.
“… melalui surat terbuka ini, saya bukannya ingin menasihati Bapak. Toh, saya juga jauh dari kepahaman terhadap ilmu agama. Saya hanya ingin menyampaikan kegundahan hati seorang umat bahwa sebagai dari apa yang Bapak lakukan menjadi contoh dan teladan bagi umat.”
“Jika memang sedang dekat dengan seorang wanita, janganlah mengklaim itu sebagai taaruf. Kasihan muda-mudi kita, Pak, bila kini mereka lebih merasa aman berdua-duaan dengan lawan jenis lantaran menganggap itulah proses taaruf seperti yang Pak Ustaz contohkan…”
Tak cuma itu contoh yang tersaji di dunia maya. Ustaz Ahmad Sarwat pada periode yang hampir bersamaan juga pernah menceritakan perihal bayaran yang diberikan kepada ustaz seleb, sebutan bagi penceramah yang berlagak seperti selebritas di televisi.
Ia tak menyebut nama. Namun, ia menulis pihak panitia Ramadhan terpaksa membatalkan rencana memanggil Ustaz X karena tarif yang dibanderol Rp 30 juta untuk ceramah 15 menit.
Banderol tinggi untuk memanggil ustaz, ustazah, serta artis religi juga dibenarkan oleh salah satu manajemen. Dalam perbincangan kepada Republika via Blackberry Messenger (BBM), ia mengungkapkan, tarif untuk ustaz, seperti Solmed atau Ustaz Ahmad al-Habsyi, itu berkisar Rp 17 juta.
Namun, untuk memesan jadwal tak bisa terlalu lama. “Kalau mau order nggak bisa lama-lama. Maksimal dua hari panitia datang ke kantor kami untuk urusan administrasi. Mengingat jadwal ustaz sangat ketat,” tulisnya.
Pengajian artis yang dipandu oleh Ustadz Ahmad Al-Habsyi (ilustrasi).
Fenomena ustaz seleb sudah cukup mengkhawatirkan.
Mely Rosmiati, seorang pembaca setia Republika Online (ROL), juga pernah punya pengalaman mengundang ustaz seleb.
Menurut pengajar Sekolah Islam Terpadu Cordova di Sumedang, Jawa Barat, ini, sang ustaz diundang untuk mengisi acara maulidan.
Ternyata, ustaz itu meminta bayaran Rp 20 juta, belum termasuk biaya akomodasi menginap di hotel serta uang transpor.
“Saya nawar Rp 5 juta nggak dikasih. Akhirnya nggak jadi, deh. Uangnya nggak cukup. Itu saya ngundang tahun 2007, mungkin sekarang sudah naik kali ya, harganya,” tulis Mely di laman Facebook RoL.
Pembaca RoL lainnya, Aulia Naufal, yang merupakan alumnus Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, menyatakan kekhawatirannya bila para ustaz-ustaz muda tersebut hanya menjadikan agama sebagai tameng untuk mengejar duniawi, namun tidak mengerjakan apa yang dikatakannya.
Aulia menyebutnya sebagai man’an wa haatin, menolak kewajiban dan menuntut yang bukan haknya. “Maka, dia menjual agama dengan sangat murah dan hina. Na’udzubillahi min dzalik.”
Patokan harga yang melangit serta perilaku yang kerap tidak mencerminkan teladan baik itu juga dikritisi oleh sejumlah mahasiswa.
Yeni Aryati Safitri, mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, menilai, fenomena ustaz seleb sudah cukup mengkhawatirkan. Ia pun menyorot gaya hidup ustaz yang sering membeli barang mewah.
“Anehnya, perilaku seperti itu dibiarkan untuk diliput media. Rasanya kurang pantas saja mengingat masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan,” katanya.
Menurut Yeni, berdakwah itu seharusnya dilakukan secara ikhlas. Namun, untuk ustaz yang menerima bayaran, kata dia, tak bisa diasumsikan telah menjual ayat-ayat Alquran.
“Apa yang para ustaz lakukan itu sudah merupakan kewajiban sebagai manusia beragama. Hanya, nilai dari dakwah atau syiar yang dilakukan para ustaz itu jangan dipatok dengan nominal uang yang berlebihan,” kata mahasiswi yang kini menjabat sebagai ketua Komisariat FISIP HMI Cabang Ciputat ini.
Mely Rosmiati, seorang pembaca setia Republika Online (ROL), juga pernah punya pengalaman mengundang ustaz seleb.
Menurut pengajar Sekolah Islam Terpadu Cordova di Sumedang, Jawa Barat, ini, sang ustaz diundang untuk mengisi acara maulidan.
Ternyata, ustaz itu meminta bayaran Rp 20 juta, belum termasuk biaya akomodasi menginap di hotel serta uang transpor.
“Saya nawar Rp 5 juta nggak dikasih. Akhirnya nggak jadi, deh. Uangnya nggak cukup. Itu saya ngundang tahun 2007, mungkin sekarang sudah naik kali ya, harganya,” tulis Mely di laman Facebook RoL.
Pembaca RoL lainnya, Aulia Naufal, yang merupakan alumnus Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, menyatakan kekhawatirannya bila para ustaz-ustaz muda tersebut hanya menjadikan agama sebagai tameng untuk mengejar duniawi, namun tidak mengerjakan apa yang dikatakannya.
Aulia menyebutnya sebagai man’an wa haatin, menolak kewajiban dan menuntut yang bukan haknya. “Maka, dia menjual agama dengan sangat murah dan hina. Na’udzubillahi min dzalik.”
Patokan harga yang melangit serta perilaku yang kerap tidak mencerminkan teladan baik itu juga dikritisi oleh sejumlah mahasiswa.
Yeni Aryati Safitri, mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, menilai, fenomena ustaz seleb sudah cukup mengkhawatirkan. Ia pun menyorot gaya hidup ustaz yang sering membeli barang mewah.
“Anehnya, perilaku seperti itu dibiarkan untuk diliput media. Rasanya kurang pantas saja mengingat masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan,” katanya.
Menurut Yeni, berdakwah itu seharusnya dilakukan secara ikhlas. Namun, untuk ustaz yang menerima bayaran, kata dia, tak bisa diasumsikan telah menjual ayat-ayat Alquran.
“Apa yang para ustaz lakukan itu sudah merupakan kewajiban sebagai manusia beragama. Hanya, nilai dari dakwah atau syiar yang dilakukan para ustaz itu jangan dipatok dengan nominal uang yang berlebihan,” kata mahasiswi yang kini menjabat sebagai ketua Komisariat FISIP HMI Cabang Ciputat ini.
Pengajian Ustaz Jefrry Al-Buchori (ilustrasi).
, Gelar ustaz kini begitu mudah diberikan kepada setiap orang.
Padahal, seseorang itu baru bisa disebut sebagai ustaz jika sudah memiliki keahlian terhadap ilmu tata bahasa Arab, seperti nahwu, sharaf, bayan, badi’, ma’ani, adab, matiq, kalam, serta ilmu agama yang mencukupi yang mencakup perilaku, ushul fikih, tafsir, dan hadis.
“Sekarang ini gelar ustaz sangat mudah diberikan. Seorang yang mengajarkan Alquran sudah dipanggil ustaz,” ujar Kepala Departemen Syiar Lembaga Dakwah Kampus Kahfi Universitas Yarsi, Muhammad Rachdian.
Lantas, ketika seorang ustaz sudah merambah ke ranah hiburan, tentunya tidak terlalu bermasalah. Namun, para ustaz tersebut harus membekali dirinya dengan keahlian ilmu yang cukup.
Sayangnya, yang terjadi sekarang, seorang ustaz yang mengutamakan hiburan itu terkadang hanya memberikan materi yang dangkal dan tidak mendidik.
“Bahkan, sampai ada yang menggunakan hadis daif. Hal ini tentunya sangat meresahkan karena bisa menimbulkan bid’ah,” kata mahasiswa kedokteran ini.
Mahasiswa lainnya, Afif, justru merasa sangat gundah dengan perilaku ustaz yang kerap muncul di televisi. Ia menyebut salah satu ustaz yang kerap masuk infotainment justru lebih banyak mengumbar hedonisme. Ia memberi contoh seorang ustaz memperlihatkan mobil baru yang diberikan buat calon istrinya.
Afif juga menilai, ustaz yang banyak muncul di televisi itu tak lagi mempertontonkan kesederhanaan seperti yang diajarkan oleh Rasulullah.
Menurut Afif, ustaz-ustaz semacam ini terasa sangat berbeda dengan ustaz masa lalu, seperti almarhum Buya Hamka atau al marhum AR Fakhruddin. “Ustaz-ustaz yang membawa citra Muslim di televisi itu justru sudah terlalu kebablasan. Mereka lebih mementingkan penampilan yang modis,” katanya.
Padahal, seseorang itu baru bisa disebut sebagai ustaz jika sudah memiliki keahlian terhadap ilmu tata bahasa Arab, seperti nahwu, sharaf, bayan, badi’, ma’ani, adab, matiq, kalam, serta ilmu agama yang mencukupi yang mencakup perilaku, ushul fikih, tafsir, dan hadis.
“Sekarang ini gelar ustaz sangat mudah diberikan. Seorang yang mengajarkan Alquran sudah dipanggil ustaz,” ujar Kepala Departemen Syiar Lembaga Dakwah Kampus Kahfi Universitas Yarsi, Muhammad Rachdian.
Lantas, ketika seorang ustaz sudah merambah ke ranah hiburan, tentunya tidak terlalu bermasalah. Namun, para ustaz tersebut harus membekali dirinya dengan keahlian ilmu yang cukup.
Sayangnya, yang terjadi sekarang, seorang ustaz yang mengutamakan hiburan itu terkadang hanya memberikan materi yang dangkal dan tidak mendidik.
“Bahkan, sampai ada yang menggunakan hadis daif. Hal ini tentunya sangat meresahkan karena bisa menimbulkan bid’ah,” kata mahasiswa kedokteran ini.
Mahasiswa lainnya, Afif, justru merasa sangat gundah dengan perilaku ustaz yang kerap muncul di televisi. Ia menyebut salah satu ustaz yang kerap masuk infotainment justru lebih banyak mengumbar hedonisme. Ia memberi contoh seorang ustaz memperlihatkan mobil baru yang diberikan buat calon istrinya.
Afif juga menilai, ustaz yang banyak muncul di televisi itu tak lagi mempertontonkan kesederhanaan seperti yang diajarkan oleh Rasulullah.
Menurut Afif, ustaz-ustaz semacam ini terasa sangat berbeda dengan ustaz masa lalu, seperti almarhum Buya Hamka atau al marhum AR Fakhruddin. “Ustaz-ustaz yang membawa citra Muslim di televisi itu justru sudah terlalu kebablasan. Mereka lebih mementingkan penampilan yang modis,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar