Membuat sapu lidi
Jangan pandang usaha sapu lidi. Kelihatannya sederhana, tapi mampu memberikan hasil maksimal. Usaha kreatif itu membuka kesempatan pula bagi orang lain untuk menggapai kehidupan yang lebih baik.
Jari-jemari pasangan Erman dan Nurhayati, begitu lincah menggabungkan lidi demi lidi. Dalam waktu singkat, mereka mampu menyelesaikan sapu. Lewat sapu lidi itu pula, mereka menopang hidup ini.
Cukup lima menit bagi Erman dan Nurhayati dalam membuat sapu lidi. Mereka sudah tak terbilang tahun lamannya menggeluti kerajinan itu.
Kerja keras mereka membuahkan hasil. Tiga anak mereka bisa bersekolah berkat sapu lidi. Kini, pasangan suami istri itu, mempekerjakan empat orang di rumahnya untuk membuat sapu lidi karena permintaan yang meningkat saban hari.
Erman dan Nurhayati, Minggu (13/1) didatangi mahasiswa dari Fakultas Pertanian Universitas Tamansiswa Padang, guna praktikum bidang studi kewirausahaan.
Rumahnya yang sangat sederhana di Kasang, Kecamatan Batang Anai, Padang Pariaman itu penuh sesak. Mereka bagaikan selebritis saja, karena dikerumuni mahasiswa yang berlagak jadi wartawan.
Para mahasiswa menanyakan banyak hal, sampai kepada rahasia perusahaan yang dijalankan Erman. Kedatangan mahasiswa itu dipimpin dosennya, Irwandi Sulin.
Nurhayati dengan telaten memperlihatkan cara membuat sapu lidi, membuat simpai atau pengikat sapu tersebut dengan sangat cepatnya. Tak heran, saking cepatnya Nurhayati, membuat mahasiswa ini jadi heran.
Ketika ditanya kiatnya, Nurhayati menjelaskan, pekerjaan yang dilakukannya bersama suami itu hanya bermodalkan semangat dan motivasi. “Orang lain bisa, kenapa kita tak pandai. Pokoknya harus bisa,” kata dia.
Semangat itulah yang mem- buat Nurhayati tidak pernah berhenti membuat sapu lidi.
Soal bahan baku, Nurhayati tak khawatir. Padang Pariaman merupakan daerah penghasil kelapa terbesar di Sumatra Barat. Banyak lidi yang diantarkan pengumpul dari Sungai Geringging, Toboh Gadang dan nagari lainnya.
“Satu ikat lidi, kita membeli Rp850. Setelah dijadikan sapu, harga cukup meningkat. Satu kodi sapu lidi dengan ukuran kecil kita jual seharga Rp65 ribu, dan ukuran Rp75 ribu. Dalam sehari, bersama istri dan empat orang karyawan mampu menyudahkan 40 kodi sapu lidi,” cerita Erman.
Erman mengantarkan sapu lidi keluar daerah, bahkan sapu lidi dipasarkan hingga ke Riau, bahkan Lampung.
“Permintaan sapu lidi sangat banyak. Inilah pekerjaan yang paling menyenangkan, karena sapu lidi barang yang tak pernah punah atau rasan, seperti penjual makanan,” ujar Herman.
Selama praktikum, para mahasiswa mengaku mendapatkan ilmu. “Ada semacam motivasi yang kita dapatkan, dari keuletan dan kegigihan mereka dalam menghidupi rumahtangganya. Padahal mereka tidak pernah kuliah, tapi bisa berhasil,” sebut seorang mahasiswa, Riki Mardianto.
Irwandi Sulin, dosen yang mendampingi mahasiswa minta kepada anak didiknya membuatkan proposal, agar usaha kecil ini bisa dapat bantuan dari pihak lain.
Cukup lima menit bagi Erman dan Nurhayati dalam membuat sapu lidi. Mereka sudah tak terbilang tahun lamannya menggeluti kerajinan itu.
Kerja keras mereka membuahkan hasil. Tiga anak mereka bisa bersekolah berkat sapu lidi. Kini, pasangan suami istri itu, mempekerjakan empat orang di rumahnya untuk membuat sapu lidi karena permintaan yang meningkat saban hari.
Erman dan Nurhayati, Minggu (13/1) didatangi mahasiswa dari Fakultas Pertanian Universitas Tamansiswa Padang, guna praktikum bidang studi kewirausahaan.
Rumahnya yang sangat sederhana di Kasang, Kecamatan Batang Anai, Padang Pariaman itu penuh sesak. Mereka bagaikan selebritis saja, karena dikerumuni mahasiswa yang berlagak jadi wartawan.
Para mahasiswa menanyakan banyak hal, sampai kepada rahasia perusahaan yang dijalankan Erman. Kedatangan mahasiswa itu dipimpin dosennya, Irwandi Sulin.
Nurhayati dengan telaten memperlihatkan cara membuat sapu lidi, membuat simpai atau pengikat sapu tersebut dengan sangat cepatnya. Tak heran, saking cepatnya Nurhayati, membuat mahasiswa ini jadi heran.
Ketika ditanya kiatnya, Nurhayati menjelaskan, pekerjaan yang dilakukannya bersama suami itu hanya bermodalkan semangat dan motivasi. “Orang lain bisa, kenapa kita tak pandai. Pokoknya harus bisa,” kata dia.
Semangat itulah yang mem- buat Nurhayati tidak pernah berhenti membuat sapu lidi.
Soal bahan baku, Nurhayati tak khawatir. Padang Pariaman merupakan daerah penghasil kelapa terbesar di Sumatra Barat. Banyak lidi yang diantarkan pengumpul dari Sungai Geringging, Toboh Gadang dan nagari lainnya.
“Satu ikat lidi, kita membeli Rp850. Setelah dijadikan sapu, harga cukup meningkat. Satu kodi sapu lidi dengan ukuran kecil kita jual seharga Rp65 ribu, dan ukuran Rp75 ribu. Dalam sehari, bersama istri dan empat orang karyawan mampu menyudahkan 40 kodi sapu lidi,” cerita Erman.
Erman mengantarkan sapu lidi keluar daerah, bahkan sapu lidi dipasarkan hingga ke Riau, bahkan Lampung.
“Permintaan sapu lidi sangat banyak. Inilah pekerjaan yang paling menyenangkan, karena sapu lidi barang yang tak pernah punah atau rasan, seperti penjual makanan,” ujar Herman.
Selama praktikum, para mahasiswa mengaku mendapatkan ilmu. “Ada semacam motivasi yang kita dapatkan, dari keuletan dan kegigihan mereka dalam menghidupi rumahtangganya. Padahal mereka tidak pernah kuliah, tapi bisa berhasil,” sebut seorang mahasiswa, Riki Mardianto.
Irwandi Sulin, dosen yang mendampingi mahasiswa minta kepada anak didiknya membuatkan proposal, agar usaha kecil ini bisa dapat bantuan dari pihak lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar