Featured Video

Jumat, 15 Maret 2013

Restu Keluarga Jawara-Jawara Bola Menyertai Kita


thumbnailAFP/Ahmad Zamroni
Jauh sebelum David Beckham, Robin van Persie, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi menjadi idola anak-anak muda dan para pecinta sepakbola di negeri ini, bangsa kita pernah memiliki putra-putra terbaik yang membawa tim nasional melalang buana, yang dengan gagah berani menggetarkan jala gawang kesebelasan-kesebelasan negara lain di dunia. 

Mungkin hanya di lagu Iwan Fals anak-anak muda sekarang mengenal nama-nama Ramang atau Abdul Kadir. Mungkin sudah saatnya nama-nama ini, walaupun sudah lama meninggalkan kita, menjadi idola-idola baru untuk menginspirasi para para pembina olahraga, khususnya sepakbola dan semua atlet muda.

Pertengahan bulan ini memang saya maksudkan untuk 'napak tilas' untuk mencari tahu lebih banyak dengan mata kepala saya sendiri kondisi keluarga para jawara ini.

Kalimat sakti milik proklamator bangsa, Ir. Soekarno, yang menyebutkan "Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah" akan langsung muncul di benak kita ketika kita hendak menengok ke belakang. Semboyan yang muncul dalam pidato Hari Ulang Tahun Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1966. Konteks dari kalimat sakti itu adalah Indonesia pada masa itu sedang menghadapi tahun yang gawat, perang saudara dan seterusnya.

Tanpa pretensi untuk memaksakan, maksud niatan kami berkunjung ke keluarga jawara-jawara sepakbola dan bapak bersahaja yang melahirkan PSSI dengan semboyan besar Bung Karno, saya mencoba menemukan pembenaran.

Almarhum Ramang adalah tokoh penting yang membawa sepakbola Indonesia mendunia. Seorang inspirator dengan kemampuan mengolah bola dengan sangat baik. Pria kelahiran 1928 itu menjadi bagian dari tim nasional yang berhasil menahan Uni Soviet pada Olimpiade di Melbourne dengan skor 0-0.

Kisah Ramang seharusnya menjadi bacaan wajib bagi para pemain sepakbola di sini -- termasuk tim nasional yang akan bertanding melawan Arab Saudi di babak kualifikasi Pra Piala Asia 2015. Dengan segala keterbatasan jaman pada masa itu, Indonesia bermain dengan gagah berani di gelanggang-gelanggang mancanegara.

Di kota Makassar, saya bertemu dengan kedua putra Ramang, Anwar dan Rauf, yang menerima kami dengan hangat di rumah keluarga di Jalan Landak Baru. Kediaman yang bersahaja ini merupakan peninggalan jawara bola bangsa ini.



Bersama dengan kedua putra dan anggota keluarga Ramang, saya diantar untuk berziarah ke makam pesepak bola hebat itu.

Saya bisa membayangkan masa-masa sulit yang harus dijalani Ramang dan keluarganya. Walaupun kita tahu, seberapapun perhatian dan penghargaan tidak akan pernah cukup membalasnya, namun ini adalah titik di mana sudah saatnya kita membiasakan diri untuk memberi perhatia lebih. Kesejahteraan dan penghargaan dari pemerintah/swasta/masyarakat harus mulai ditegaskan bagi atlet-atlet kita yang berprestasi.

Selain Ramang, kemarin (11/3) saya sowan ke Bandung untuk bertemu dengan cucu pendiri PSSI, Ir. Soeration Sosrosoegondo. Dari Ibu Retno Wulandari saya ingin sekali mendengarkan pesan-pesan untuk masa depan persepakbolaan Indonesia, paling tidak belajar semangat untuk maju yang sudah dicontohkan oleh almarhum Soeratin.

Sejarah telah mencatat bagaimana Soeratin merintis pendirian sebuah organisasi sepakbola yang akhirnya bisa diwujudkan pada tahun 1930. Organisasi ini bisa dikatakan adalah wujud nyata dari Sumpah Pemuda 1928. Dengan brilian Soeratin menerjemahkan konsep nasionalisme melalui olahraga, khususnya sepakbola. Bergerilya untuk menghindari Belanda, mengesampingkan kepentingan pribadi, Soeratin akhirnya berhasil mengumpulkan tokoh-tokoh sepakbola waktu itu di Yogyakarta pada tanggal 19 April 1930 untuk mendirikan PSSI.



Kegiatan mengurus PSSI menyebabkan Soeratin dan keluarganya harus dengan ikhlas hidup dalam kesederhanaan dan meninggalkan segala kenyamanan yang mereka seharusnya mereka bisa nikmati.

Dalam hati saya malu mendengar cerita-cerita hebat tentang mereka. Kita bukan apa-apa, kecil sekali kita. Dengan ambisi yang sangat besar dan ego yang jauh lebih besar dari prestasi yang sudah kita capai selama ini, kita telah membiarkan sepakbola -- dan cabang olahraga lainnya -- menjadi alat untuk memenangkan kepentingan kita dan kelompok-kelompok tertentu.

Dengan proses rekonsiliasi PSSI sudah dimulai dan berjalan, ini adalah saat yang tepat untuk membuka babak baru--- dan tentu saja, semoga, tidak harus dengan "ctrl-alt-del". 

Kongres Luar Biasa PSSI pada tanggal 17 Maret nanti semoga menjadi titik balik kemajuan persepakbolaan nasional. Membangun sepakbola Indonesia dengan keteguhan hati, belajar dari sejarah untuk melangkah ke depan. Bertatap muka saja dengan keluarga para jawara tidaklah cukup. Dengarkan cerita mereka tentang orangtua mereka, belajar apa yang bisa pelajari dari kenangan-kenangan mereka.


==

* Penulis adalah Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga Republik Indonesa.

s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar