Featured Video

Jumat, 16 September 2011

SEKALI LAGI TENTANG WISUDA ITU HARAM-BERTENTANGAN DENGAN NILAI DAN PRINSIP KEISLAMAN



                                                                                TOGA -WISUDA                  


Pada tulisan sebelumnya (Seremonial Wisuda, Haram?) yang dimuat pada Harian Haluan 26 Maret 2011 telah disinggung dengan ringkas mengenai wisuda melalui sudut pandang Islam.
Akan tetapi, tampaknya apa yang telah dipaparkan itu tak sedikit pun menjadi per­timbangan bagi kalangan—terutama pembuat kebijakan—civitas akdemika. Terlihat dari tetap saja dilangsungkannya wisuda dari waktu ke waktu sebagai bentuk upacara puncak atas keberhasilan akademik tertentu dalam lingkungan perguruan tinggi.

Di sisi lain, lembaga-lem­baga keagamaan tempat ber­kumpulnya para alim ula­ma dan cerdik pandai belum terlihat memberikan perhatian terhadap permasalahan ini. Padahal, wisuda ini tak kalah serius dan berbahaya terhadap akidah umat bila dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan lain yang serupa, seperti Natal bersama. Bahkan bila di­bandingkan dengan Natal bersama, wisuda ini lebih parah lagi. Semestinya, lembaga keagamaan yang banyak itu proaktif terhadap upaya-upaya pencerdasan umat yang dewasa ini semakin tercerabut dari akar agama Islam yang telah me­ngatur segala hal dengan kekhasan ajarannya.
Kenyataan ini telah mem­berikan kesulitan ter­sendiri bagi para mahasiswa muslim yang berkomitmen terhadap agamanya dalam menyikapi dan menghadapi wisuda sebagai bagian dari tradisi akademisi yang dianut lembaga tempat mereka menuntut ilmu. Pun isu-isu yang berkembang bahwa ijazah tidak akan dibagikan atau mahasiswa bersangkutan akan dipersulit dalam proses pengambilan ijazah. Belum lagi dilema dengan orang tua yang mesti dihadapi mahasiswa bila tetap mengotot untuk tidak mengikuti wisuda. Akhirnya, terpaksalah para mahasiswa muslim mengikuti wisuda, walaupun jelas-jelas wisuda dengan berbagai kegiatan di dalamnya bertentangan dengan nilai dan prinsip keislaman.
Mengingat kenyataan ini, tanpa menyalahkan pihak mana pun dan sembari menunggu langkah konkret dari pihak-pihak yang sebenarnya ber­tanggung jawab atas kekeliruan yang terlembaga dan men­tradisi di kalangan kampus dan lembaga pendidikan lainnya, mahasiswa muslim sebagai objek sekaligus subjek dalam kasus wisuda ini setidaknya dapat melakukan beberapa hal sebagai tindakan preventif untuk menyelamatkan akidah dan pengamalan keagamaanya dari perbuatan-perbuatan yang menyalahi nilai keislaman. Di antaranya;
Pertama, sesungguhnya wisuda sangat kental akan pengaruh-pengaruh dari luar Islam yang merupakan ciri khas dari kaum yang dimurkai Allah. Sedangkan umat Islam dilarang untuk menyerupai kaum bukan Islam dan diperin­tahkan untuk me­nye­lisihi adat kebiasaan mereka, terlebih lagi bila hal itu mengandung unsur-unsur keagamaan yang me­rupakan tata cara peri­badahan mereka. Seperti telah di­sing­gung pada tulisan terdahulu; toga yang dikenakan ketika wisuda, berdirinya para hadirin pada beberapa keadaan tertentu, nyanyian hyme selama wisuda, dan pemindahan jambul pada topi yang dikenakan wisu­dawan.
Hal tersebut di atas secara umum termasuk dalam ka­tegori tasyabuh (penye­rupaan) yang dilarang. Seperti hadis riwayat Ahmad dan yang lain­nya, serta disahihkan oleh Al-Albani dalam Irwaa’ Al-Ghaliil pada hadis nomor 1269 bahwa Nabi bersabda, “Sesiapa meniru suatu kaum (dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kaum tertentu) maka dia termasuk dari mereka (kaum yang di­tirunya itu).” Jadi, peniruan yang dilakukan seseorang atas suatu kaum secara otomatis telah menjadikan si peniru sebagai bagian dari apa yang ditirunya.
Ibnu Taimiyah dalam Iqti­dlaa’ Shiraath Al-Mustaqiim ketika menjelaskan beberapa hikmah perintah menyelisihi kaum bukan Islam diantaranya bahwa kesamaan lahiriah akan menimbulkan kesesuaian dan keserupaan antara dua orang yang saling menyerupai, yang nantinya akan mengantarkan kepada kesamaan dari sisi akhlak dan perbuatan. Yang demikian adalah perkara yang bisa dirasakan. Seseorang yang mengenakan pakaian yang dikenakan orang alim, maka ia akan mendapati dirinya memiliki kecondongan kepada orang alim tersebut.
Ketika menyinggung tentang tasyabuh, ia memaparkan bahwa sikap meniru-niru gaya hidup secara lahiriah pasti akan menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang. Di samping itu, sikap meniru-niru juga akan menumbuhkan sikap simpati dan loyalitas dalam hati. De­mikian pula sebaliknya, ke­cintaan dalam hati juga dapat menimbulkan sikap meniru-niru gaya hidup secara lahriah. Bila meniru-niru dalam hal keduniaan saja dapat menim­bulkan kecintaan dan simpati, terlebih lagi meniru-niru dalam hal yang me­ngandung pengaruh dan unsur keagamaan. Sungguh dorongan untuk menunjukkan loyalitas dan bersimpati lebih besar lagi.
Dapat dipahami jika yang ditiru itu suatu hal yang bersifat positif, bermanfaat, dan berdaya guna namun bagaimana bila ternyata yang ditiru itu ternyata sesuatu yang negatif? Per­tanyaannya, kebaikan apa yang dapat diambil dari pe­laksanaan wisuda itu? Dalam kasus ini, tanpa sadar para wisudawan yang beragama Islam dan pihak-pihak lain yang turut serta terlibat, mengikuti, dan me­nghadiri wisuda telah me­ngeluarkan diri dari jamaah kaum muslimin dengan me­ngikuti seremonial yang sangat kental pengaruh-pe­ngaruh keagamaan bukan Islam dan larangan-larangan Allah lainnya dalam rangkaian acaranya itu.
Kedua, sebenarnya me­ngikuti wisuda bukanlah suatu keharusan sebagai akhir sere­monial dari tanda ke­berhasilan seseorang yang telah me­nempuh jenjang pen­didikan tertentu. Wisuda ini hanyalah perbuatan yang diada-adakan oleh para aka­demisi Barat dalam tradisi ilmiah mereka. Kemudian hal ini ditiru-tiru oleh para aka­demisi yang latah dan mengekor terhadap segala sesuatu yang ada di Barat setelah era Renaissance. Karena itu tidak sepatutnya mahasiswa muslim mengkhawatirkan wisuda ini akan berdampak terhadap akademik mereka di kampus.
Cobalah periksa dengan saksama Peraturan Akademik universitas masing-masing. Pemahaman yang utuh ter­hadap Peraturan Akademik lebih tepat daripada sekadar memercayai keterangan dari penjabat kampus yang tak jarang asal bicara, apalagi termakan isu-isu yang tidak berdasar. Kalaupun wisuda menjadi harga mati dan syarat dari kampus, tak sepatutnya pula tunduk pada peraturan seperti ini. Bukankah Ra­sulullah bersabda, “Sesiapa mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam ki­ta­bullah, maka tidaklah (ber­laku syarat itu) baginya, walaupun ia mensyaratkan seratus syarat.” (H.R Bukhari dalam Shahiih-nya pada Kitaab Asy-Syuruuth). Jelas sudah, segala sesuatu yang tidak terdapat dalam kitab Allah dan sunah Nabi-Nya tidak boleh dipatuhi. Apalagi jika itu bertentangan dan berseberangan dengan syariat.
Ketiga, perlunya para maha­siswa muslim yang ter­sandung wisuda untuk berkomunikasi dengan orang tua menyangkut hal ini. Masalah apa pun selalu saja dapat dicarikan jalan keluar dan penyelesaian bila di­komunikasikan dengan baik, benar, dan berkelanjutan. Ingat, wisuda ini terlarang dari segi agama dan secara akademik tidak pula keharusan me­ngikutinya. Jadi tak ada lagi alasan dan ketakutan-ketakutan yang tidak pada tempatnya untuk memaksakan diri me­ngikuti wisuda.
Jika pun komunikasi ini menghadapi jalan buntu, maka tetap tidak dapat dibenarkan mengikuti wisuda dengan dalih sekadar mematuhi dan me­-nyenangkan hati orang tua. Karena dalam Islam kepatuhan tertinggi hanya ditujukan ke­pada Allah semata. Laa tha­a’ata limakhluq fii ma’ shi­yatillaah. Tidak ada ketaatan kepada makhluk jika itu me­ngandung maksiat kepada Allah. Penting pula diketahui bahwa maksiat itu tidak hanya dosa-dosa besar seperti meminum khamar, berjudi, berzina, dan sejenisnya. Maksiat lebih umum lagi dengan pengertian bahwa maksiat adalah segala per­buatan yang melanggar larangan Allah, seperti yang terdapat dalam wisuda.
Kalau bisa diibaratkan perjalanan waktu menempuh jenjang pendidikan di perguruan tinggi tak ubahnya seperti kisah hidup seorang anak manusia. Segala kegiatan dan proses pembelajaran selama di kam­pus bagaikan usaha setiap insan di dunia nyata dalam mencapai keberhasilannya.. Tak peduli seberapa saleh mahasiswa itu sepanjang kehidupan kampus selama pendidikannya, me­ngikuti wisuda adalah akhir yang buruk. Padahal dalam Islam yang menjadi penentu adalah amal seseorang di akhir kehidupannya. Seperti hadis riwayat Bukhari dari Sahl bin Sa’d bahwa Rasulullah ber­sabda, “Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) pada akhirnya.”
Dibutuhkan keimanan yang tetap kepada Allah dan ke­teguhan hati untuk ber­pegang erat pada nilai-nilai keimanan untuk mecapai akhir yang baik. Al-Qadhi Iyadh menjelaskan firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah’, kemudian mereka istikamah maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), ‘Janganlah kalian merasa takut dan jangan pula kalian bersedih hati, dan bergembiralah dengan (mem­peroleh) surga yang telah dijanjikan kepada kalian.” (Q.S Fushshilat[41]: 30), bahwa istikamah adalah konsisten dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah sampai akhirnya meninggal dalam keadaan seperti itu.
Muslim meriwayatkan dari Abu Amru—ada yang me­ngatakan Abu  Amrah Sufyan bin Abdullah— ia bercerita, “Aku telah berkata, ‘Wahai Rasulullah, katakanlah ke­padaku tentang Islam, suatu perkataan yang tak akan dapat aku tanyakan tentangnya kepada seorang pun kecuali ke­pa­damu.’ Rasul bersabda, ‘Ka­takanlah, ‘Aku telah beri­man kepada Allah, ke­mudian kamu istikamah.” Istikamah adalah teguh pen­dirian atau sikap setia meniti jalan ketaatan kepada Allah dengan melakukan ke­wajiban-kewajiban dan mening­galkan larangan-la­rangan.
Nawawi menjelaskan dalam syarahnya terhadap hadis di atas bahwa sampai-sampai Ibnu Abbas tatkala menjelaskan firman Allah, “Hendaklah kamu istikamah sebagaimana telah diperintahkan ke­pa­damu…” (Q.S Hud [11]: 112), ia berkata bahwasanya tidaklah turun kepada Ra­sulul­lah dalam ke­seluruhan Alquran suatu ayat yang lebih berat dan sulit daripada ayat ini. Tirmizi dan Hakim me­riwayatkan hadis dari Ibnu Abbas bahwa Ra­sulullah ber­sabda, “Aku dibuat ubanan oleh surat Hud dan pa­sangan­nya.” Hadis ini di­sahihkan oleh Al-Albani dalam Shahiih Al-Jamii’ hadis nomor 3723.
Akhirnya, beriman kepada Allah dan istikamah serta berani dan sabar  menanggung segala konsekuensinya adalah suatu perjuangan yang berat dan membutukan pengorbanan yang sangat besar. Inilah jihad (perjuangan) yang pasti akan ditemui setiap muslim sesuai dengan keadaan masing-masing. Dalam iman dan istikamah di jalan-Nya tidak pernah me­ngenal kata kompromi. Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, ke­luarga-keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usa­hakan, perniagaan yang kalian khawatirkan ke­rugiannya, dan tempat tinggal (rumah-rumah) yang kalian sukai, lebih kalian cintai da­ripada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tung­gulah sampai Allah men­da­tangkan ke­pu­tusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.’” (Q.S At-Taubah [9]: 24).

WAHID MUNFARID

Tidak ada komentar:

Posting Komentar