Featured Video

Kamis, 29 September 2011

Tari Telanjang-Padang


YUNIAR

Rabu (28/9) Sumatra Barat dikejutkan dengan adanya aksi penari telanjang di Fellas Cafe, Padang. Semua koran terbitan Padang memuatnya dalam pemberitaan yang sangat besar. Bahkan, Singgalang menjadikannya berita dan foto headline. 
Benar-benar mengagetkan di tengah negeri berfalsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABS SBK) ada aksi tari telanjang. Di Indonesia, hanya di sini. Jika hendak “menikmati” hal serupa berangkatlah ke Thailand atau ke Amerika dan Eropa. Di sana, tak sebugil Fellas Cafe. Di Padang, pantangan nenek moyang yang sudah dilanggar.
Kasihan saya dengan adik-adik perempuan yang dengan jilbab putihnya berangkat ke sekolah tiap hari. Namun di lingkungan mereka, orang-orang brengsek dengan riang gembira merobek tirai-tirai moral.
Kemarin, hampir semua orang di angkot, di kedai, dan tempat-tempat lain membicarakan masalah itu, termasuk di jejaring sosial seperti facebook. Sumbar benar-benar seolah terkecoh dengan aksi dua orang wanita yang konon mengaku juga anak kemenakan urang awak. Soal dimana dua perempuan pelaku aksi tari telanjang ini berasal memang perlu penelusuran lebih dalam, supaya tidak ada daerah yang merasa dicemarkan oleh aksi mereka yang memalukan.
Namun yang perlu disimak dari pengakuan mereka adalah soal aksi mereka yang katanya dilakukan akibat terdesak ekonomi. Masalah ekonomi ini memang agak sulit dan rumit, mengingat Sumbar memang masih memiliki masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Seperti diberitakan Singgalang, Rabu (21/9) lalu, BPS mencatat, kemiskinan di Sumbar pada Maret 2011 lalu masih tersisa 9,04 persen atau 442.082 jiwa dari jumlah penduduk daerah ini. Kemiskinan tersisa itu menurut Bank Indonesia tertinggi di perkotaan, karena di pedesaan ekonomi masyarakat mulai membaik seiring meningkatnya harga hasil pertanian.
Tapi sebagai sesama perempuan, saya sangat tidak setuju bila dua perempuan itu membuat alasan perbuatan mereka menjadi penari telanjang dampak tuntutan ekonomi.
Seperti disebut seorang kawan kepada saya kemarin, harus dipertanyakan ekonomi yang dimaksud, apakah untuk sesuap nasi atau segenggam berlian? Dua hal ini jelas sangat jauh berbeda. Namun bila alasannya benar-benar untuk sesuap nasi, perlu ditelusuri asal keluarga mereka lebih dalam. Menurut hemat saya, semiskin-miskin orang Minang di ranah bundo kanduang, mustahil tidak bisa mendapatkan sesuap nasi. Tapi mungkin juga saya salah, karena ini memang masih perlu penelusuran lebih jauh.
Saya melihat apa yang mereka (dua perempuan penari telanjang), lebih kepada rasa malas bekerja dan keinginan mencari uang dengan cepat dan mudah. Seperti pengakuan mereka, sekali manggung bisa mendapatkan Rp500 ribu. Hitung saja, kalau dalam semalam mereka manggung beberapa kali. Jika dikalkulasi satu bulannya tak terhitung rupiah demi rupiah yang masuk ke kocek mereka. Berbeda kalau mereka bekerja sebagai pekerja pabrik, pelayan toko atau pekerja lainnya. Saat ini saja Upah Minimum Regional (UMR), Rp1.055.000.
Terlepas dari semua itu, apa yang mereka lakukan perlu mendapatkan perhatian semua kalangan. Apa yang dilakukan Walikota Padang, Dr. H. Fauzi Bahar dengan menyegel Fellas Cafe dinilai tepat. Hanya saja, jangan sebatas disegel, melainkan bagaimana kafe itu benar-benar operasionalnya ditutup, karena telah mencemarkan ranah Minang yang kita cintai ini. Perlakuan yang sama juga diharapkan dilakukan kepada kafe lainnya yang terbukti melakukan praktik-praktik maksiat semacam Fellas Cafe.
Kepada pemerintah juga diharapkan perhatian masalah kemiskinan tersebut. Bagaimana ke depan, persoalan ini terus menjadi perhatian serius, sehingga tingkat kesenjangan antara kaya dan si miskin semakin tipis. Masalah perbaikan moral diharapkan dikeroyok semua unsur, ulama, tokoh masyarakat, dan lainnya, supaya ABS SBK tidak lagi tercemar hanya ulah segelintir orang. Salam. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar