Featured Video

Senin, 10 Oktober 2011

Media Kurang Berpihak pada Kaum Marginal


BUKITTINGGI, HALUAN — Media kurang  berpihak pada kaum marginal dalam pemberitaan. Suara-suara kaum marginal nyaris tak mendapat tempat dalam hiruk pikuk informasi.

Kesimpulan tersebut berdasarkan penelitian terhadap media dan disam­paikan dalam pelatihan “Me­liput Mereka yang Terpinggirkan” di Bukittinggi, Senin-Sabtu (3-8/10), diselenggarakan oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) Jakarta.
Jurnalis Metro TV yang juga Koordinator Divisi Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Luviana mengemukakan pengertian marginal dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dari PBB, kaum marginal di antaranya, petani, buruh, perem­puan, anak, masyarakat adat, lingku­ngan, dan media, kaum diffable (penyan­dang cacat), dan kelompok minoritas.
“Media termasuk kaum mar­ginal. Kapitalisme mengendalikannya,” ujar Luviana. Secara khusus, Luviana menjelaskan bahwa kaum perem­puan dan anak-anak yang paling banyak tak mendapatkan perlakuan adil oleh media.
Ia mencontohkan media yang menyorot perempuan hanya dari bentuk tubuhnya, bukan pemi­kirannya. Hal ini dieksplor dalam sinetron dan iklan, yang menjadikan perempuan sebagai objek, bukan subjek.
Secara khusus, Luviana juga menulis dalam Jurnal Perempuan bahwa kenyataan tersebut tak hanya terjadi di Indonesia. Di Arab Saudi, perempuan malah tak bisa meng­ekspresikan dirinya dan tidak boleh tampil di televisi.
Soal anak-anak, media banyak melakukan kesalahan karena tak memberikan haknya. Misalnya dalam kasus anak jalanan. Media dengan mengabaikan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan hak-hak yang diberikan PBB, menyorot wajah anak-anak yang ditangkap Satpol PP. Itu tak boleh dilakukan untuk melindungi dan menyelamatkan masa depannya.
Luviana juga menggarisbawahi, dalam peliputan orang-orang miskin, media cendrung mengekspos kemis­ki­nan seseorang, bukan usahanya untuk bangkit. “Banyak orang yang mengaku miskin dan anehnya dengan perasaan bangga,” kata Luviana menyebutkan dampaknya.
Redaktur Feature The Jakarta Post Alex Junaidi mengusulkan “jurnalisme damai” dalam peliputan. Jurnalisme ini, katanya, tak lagi soal memenuhi cover both side (dua pihak), tapi melibatkan all both side (seluruh pihak). “Seimbang saja tidak cukup,” katanya.
Menurutnya, ada pihak yang tak terlihat dalam sebuah peristiwa. Ada dampak yang jauh lebih besar dari sebuah peristiwa. “Media mencari orang-orang yang tidak terlihat tersebut,” ujarnya. Cara itu, katanya, akan melengkapi peristiwa secara utuh.
Ada konflik dua kubu, dicon­tohkan Alex, tak cukup hanya mewawancarai dua pihak yang berkonflik, tapi juga mencari provo­katornya, orang yang terkena dampak, dan akibat dari konflik. “Intinya, media mengejar substansi, bukan sensasi,” katanya. Posisi media di Indonesia, sambungnya, lebih pada sensasi. Ia membenarkan, jurnalisme damai tak banyak dite­rapkan media karena resikonya pada oplah dan rating.
Pelatihan yang diselenggarakan PPNM sebenarnya lebih banyak merancang wartawan untuk mem­persiapkan sebuah berita, riset, dan eksekusi. Ia diikuti oleh wartawan dari banyak daerah di Indonesia seperti Jogyakarta, Medan, Solo, Pontianak, Pekanbaru, Jakarta, dan Sumbar.
Wartawan yang dipilih mengi­rimkan dua buah ide, yang dalam pelatihan dibahas lebih mendalam, untuk lolos seleksi. Dua orang wartawan dari Sumbar yang lolos adalah Elsa Thresia (wartawan Indowarta di Padang) dan Andika Destika Khagen dari Harian Haluan.
Kegiatan ini sudah tiga kali berturut-turut dilaksanakan PPNM. Menurut salah seorang panitia Susi dari BBC Indonesia, dua tahun belakangan, karya-karya yang dibahas di PPNM lolos ke Mochtar Lubis Award. Wartawan yang mengikuti pelatihan itu akan mewujudkan ide-ide yang telah dibahas ke dalam liputan utuh. (h/adk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar