Featured Video

Senin, 10 Oktober 2011

Pembebasan Lahan Terkendala


SUMATRA BARAT punya banyak potensi ekonomi, seperti sektor pariwisata, kelautan, pertanian/perkebunan. Jika semua sektor itu dibangun dengan sungguh-sungguh, daerah ini bisa menjadi salah satu kawasan tujuan investasi yang menarik bagi investor, baik di tingkat regional, nasional maupun di mata investor dari antar bangsa.
Namun kenyataannya hingga kini, Sumbar masih jauh tertinggal dibandingkan kawasan pertumbuhan lainnya di kawasan regional, seperti Sumatra Utara, Jambi, Sumatra Selatan, Provinsi Riau, dan daerah lainnya.
Mengapa potensi ekonomi Sumbar belum tergali semua? Jawabannya, sangat klasik. Dari pengakuan sejumlah investor yang enggan menanam modalnya di Ranah Minang ini, karena masih terbentur persoalan tanah ulayat. Padahal, provinsi punya banyak potensi.
Ada yang menyebutkan, bahwa ada dugaan masyarakat enggan untuk menjual tanahnya kepada investor, ada pula yang kapok menjual tanahnya karena selama ini ganti rugi hanya sebatas untuk ganti rugi bangunan dan tanaman.
Benarkan demikian kondisinya? Jika demikian tentu perlu berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kondisi seperti itu dan perlu pula ada aturan yang tidak merugikan masyarakat saat lahan mereka dibebaskan untuk kegiatan pembangunan demiki kepentingan umum.
Namun demikian Pemprov sendiri punya catatan terkait pembebasan lahan untuk kepentingan umum di Sumbar. Kepala Dinas Prasarana Jalan, Tata Ruang dan Pemukiman (Prasjal Tarkim) Suprapto, seperti diwartakan Singgalang, edisi Sabtu (8/10) mengakui bahwa pembebasan lahan untuk kepentingan umum di Sumbar ruwetnya tak terperi. Saat ini Sumbar, katanya, adalah satu-satunya provinsi di Sumatra yang menerapkan sistem pembebasan lahan hanya dengan membayar ganti rugi bangunan dan tanaman saja tanpa membayar ganti rugi tanah. Sistem inilah yang mengakibatkan pembebasan lahan jadi susah.
Karena tanah tak diganti rugi, maka muncul negosiasi yang alot. Memakan waktu, tenaga dan pikiran. Bahkan sesuai catatan Singgalang, mengundang sengketa hukum. Maka tak heran, pada 2011, disediakan dana lewat APBN Rp10 miliar, namun yang terpakai hanya Rp2 miliar.
Menurutnya, sudahlah susah. Sistem harus diperbaharui. Harus ada pula komunikasi yang baik untuk tanah ulayat. Akibat rumitnya pembebasan tanah itu, pembangunan fisik terkendala. Jika nasib baik, bisa dilanjutkan tahun depan. Kalau tidak, terbengkalailah.
Menurut Suprapto, di zaman ekonomi sulit seperti saat ini masyarakat tak bisa begitu saja merelakan tanah tanpa uang ganti rugi. Ganti rugi bangunan dan tanaman saja dinilai tak cukup. Seharusnya pembebasan lahan itu termasuk dengan ganti rugi tanah, bukan hanya tanaman dan bangunan saja, kata Suprapto.
Sistem pembebasan lahan dengan menggantirugi tanah bukan hanya bangunan dan tanaman saja sudah diatur pemerintah pusat sejak 2010 dalam Perpres tentang pembebasan lahan. Namun sejauh ini masih ada daerah yang belum menerapkan.
Nah, ke depan kita tidak ingin masalah tanah ulayat akan jadi masalah yang rumit, terlebih untuk kepentingan umum maupun kegiatan investasi. Oleh karena itu masaalh ganti rugi mesti disesuaikan dengan aturan yang ada, sehingga masyarakat tidak merasa di rugikan. Jika perlu dilakukan pendekatan secara kebudayaan, agar masyarakat dapat menjual mapunun menyerahkan tanahnya, tanpa merugikan hak-hak mereka. Jika perlu mereka diajak bekerjasama ketika akan menjual atau menyewakan tanahnya kepada investor. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar