Featured Video

Senin, 16 Januari 2012

Ketika Malaysia Mencoba Mengganggu di Udara

Jakarta - Untuk kesekian kalinya, TNI AU berhasil memergoki dan mencegat pesawat-pesawat asing di wilayah udara Indonesia yang tak mempunyai izin melintas. Dalam peristiwa terakhir disebutkan dua pesawat Sukhoi TNI AU membayang-bayangi pesawat jet P2-ANW Dassault Falcon 900EX di langit Banjarmasin, Kalimantan Selatan, selama 37 menit, waktu yang cukup lama, pada 29 November 2011.


Pesawat yang ternyata ditumpangi oleh Deputi Perdana Menteri Papua Nugini H. O. N. Belden Namah, yang sedang melakukan penerbangan dari Subang, Selangor, Malaysia, ke Papua Nugini, dicegat oleh 'sayap tanah air' Indonesia karena tidak memberi respons positif ketika diajak berkomunikasi oleh Kontrol Udara Makassar. Untung kejadian tersebut berakhir dengan tidak dipaksakan pesawat Falcon itu untuk mendarat setelah baru diketahui izin melintasnya.

Merasa terintimidasi dengan kejadian itu, maka hubungan kedua negara, Indonesia-Papua Nugini, sempat memanas. Kejadian itu membuat Perdana Menteri Papua Nugini Peter O'Neil mengancam mengusir Duta Besar Indonesia untuk Papua Nugini.

Terlepas masalah hubungan diplomatik kedua negara, kita harus mengapresiasi kerja TNI AU. Meski dengan keterbatasan yang ada dan kepemilikan pesawat yang masih minim, TNI AU selama ini berhasil menjaga wilayah udara kita dengan gagah perkasa. Pembelian pesawat Sukhoi dan F-16, yang mahal, telah menunjukan kesebandingan dengan fungsi yang telah dilakukan yakni menjaga dan mempertahankan wilayah nasional.

Kesuksesan mencegat pesawat Falcon itu mirip dengan ketika Sukhoi TNI AU, Maret 2011, menghentikan penerbangan Pakistan Internasional Airlines (PIA), jenis Boeing 737 seri 300, yang melintas wilayah udara Indonesia tanpa izin. Gerakan pesawat yang terdeteksi oleh radar Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional II di Bandara Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, membuat dua Sukhoi TNI AU yang ada di Skuadron Udara 5 Lanud Sultan Hasanuddin langsung terbang dan memberikan peringatan pesawat asing itu mendarat darurat. Pencegatan terhadap pesawat yang ditumpangi oleh pasukan PBB yang hendak melintas dari Dili, Timor Leste, ke Malaysia itu berhasil memaksa mereka untuk mendarat di Lanud Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.

Sebelumnya, Desember 2010, pesawat Malaysia jenis BAE 146-200 yang membawa 81 penumpang yang sebagian besar penumpang pesawat adalah keluarga Kerajaan Melaka, Menteri Pertanian Malaysia, putra PM Malaysia Najib Razak, berhasil ditahan oleh TNI selama 5 jam di Bandara Udara Djuanda, Surabaya, Jawa Timur, karena tidak mengantongi izin resmi melintas di Indonesia. Pesawat itu hendak melakukan penerbangan Dili, Timor Leste ke Kuala Lumpur, Malaysia.

Dari sekian kali pencegatan yang dilakukan oleh TNI AU terhadap pesawat tanpa izin yang melintas di wilayah udara Indonesia, peristiwa Insiden Bawean-lah yang paling menegangkan. Insiden Bawean adalah ketika 3 pesawat F-16 TNI AU berhasil mendeteksi penerbangan ilegal 5 pesawat F-18 Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) yang sedang terbang dan bermanuver di perairan Bawean, Jawa Timur, Juli 2003.

Dari pantauan radar, kelima F-18 Hornet itu terbang lebih dari satu jam dan mengadakan latihan tempur. Apa yang dilakukan itu tentu saja selain bisa dikatakan mengganggu kedaulatan wilayah udara Indonesia, juga menyebabkan terganggunya penerbangan komersial yang menuju ke Surabaya dan Bali. Bagi pihak Indonesia, pesawat-pesawat US Navy itu tak meminta izin dengan ATC terdekat. Sedang pihak US Navy melakukan demikian karena mereka merasa berada di perairan internasional sehingga tak perlu meminta ijin kepada Indonesia.

Kejadian itu sangat menegangkan sebab yang dihadapi oleh pesawat tempur TNI AU adalah juga pesawat tempur, bukan pesawat sipil. Sehingga tak heran bila saat di udara posisi yang terjadi adalah masing-masing pihak siap dogfight.

Merasa TNI AU inferior dengan pilot-pilot tempur pesawat US Navy, jumlah pesawat F-18 Hornet lebih canggih serta lebih banyak, serta adanya dukungan pesawat tempur lain dari kapal induk US Navy yang berada di perairan, maka pilot-pilot F-16 mulai memperkenalkan diri. Dengan memperkenalkan diri kepada pilot-pilot F-18 Hornet itulah akhirnya ketegangan menjadi reda. Dan akhirnya pesawat-pesawat pesawat tempur kedua negara balik ke posisi masing-masing.

Dari kejadian-kejadian di atas bisa disimpulkan bahwa, pertama, sepertinya ada unsur-unsur kesengajaan dari pihak Malaysia untuk mengganggu wilayah udara kita, terbukti dari pesawat-pesawat yang melintas tanpa izin semua melalui rute dari dan ke Malaysia. Pihak-pihak di Malaysia mengabaikan izin melintas bisa jadi karena mereka menganggap bahwa penjagaan wilayah udara Indonesia, seperti wilayah perbatasan darat atau wilayah laut, adalah lemah sehingga mereka tak merasa khawatir bila melintas tanpa permisi.

Kedua, dengan berhasilnya TNI AU menjaga wilayah udara, sudah sepatutnya alutsista kepada TNI AU lebih ditingkatkan. Rencana pembelian pesawat F-16 dan Sukhoi agar lebih dipercepat. Disebut, jumlah pesawat F-16 yang dimiliki Indonesia saat ini 10 unit yang merupakan F-16 A/B Blok 15 yang dibeli pada tahun 1986. Dengan membeli cara hibah sebanyak 24 pesawat maka kekuatan pesawat F-16 TNI AU menjadi 34 pesawat. Bila membeli baru, 6 pesawat, maka kekuatan pesawat F-16 TNI AU menjadi 16. Baik DPR maupun pemerintah mempunyai dasar masing-masing soal pembelian pesawat itu, secara hibah atau baru.

Demikian pula rencana pembelian 8 pesawat Sukhoi baru akan bisa membangun satu skuadron tempur Sukhoi. Diberitakan, Indonesia kini telah memiliki empat pesawat tempur Sukhoi masing-masing jenis SU-27SK (dua unit) dan SU-30MK (dua unit). Pastinya pembelian pesawat-pesawat itu didukung dengan alutsista penunjang, seperti radar, rudal, dan lain sebagainya.

Ketiga, modernitas alutsista sangat berpengaruh terhadap kesiapsiagaan TNI dalam mempertahankan wilayah udara Indonesia. Peristiwa Insinden Bawean yang menyebabkan kita lebih menerima kehadiran secara ilegal pesawat US Navy karena mereka memiliki alutsista yang lebih canggih dan modern.

Untuk menutupi kekurangan tersebut, bisa dilakukan dengan memperbanyak latihan. Berhasilnya TNI AU mencegat pesawat-pesawat ilegal melintasi di udara karena para pilot TNI AU telah sering melakukan latihan. Bila pencegatan terhadap pesawat ilegal kita sudah mahir maka yang perlu ditingkatkan adalah pelatihan tempur, siapa tahu Insinden Bawean terulang.

*) Ardi Winangun adalah peminat studi pertahanan dan pernah bekerja di Civil-Military Relations Studies (Vilters). Nomor kontak penulis: 08159052503. Email: ardi_winangun@yahoo.com


(vit/vit) http://www.detiknews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar