Featured Video

Sabtu, 24 Maret 2012

MENGEMBALIKAN KEISTIMEWAAN NAGARI


Pangkalbala penyimpangan konstitusi yang nyata adalah penyeragaman pe­merin­tahan terendah dalam sistem pemerintahan desa di masa orde baru sampai seka­rang. Undang-undang peme­rintahan daerah dan undang-undang pemerintahan desa yang sudah ada sama sekali tidak mengakomodir status dan eksistensi satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pemberlakuaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa lebih ditujukan untuk men­dukung desentralisasi secara administrasi belaka, seperti layaknya penyelenggaraan kota administratif, otorita dan kecamatan.
Sementara men­urut konstitusi seharusnya terhadap  satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa, dimungkin diadakan undang-undang tersendiri. Paling tidak, sekali­pun dimuat dalam satu keten­tuan undang-undang pokok, negara harus mengakomodir keistimewaan itu dalam kon­teks subtansi yang tidak menyeragamkan dengan peme­rintahan desa.
Mengingat ketentuan un­dang-undang desa yang berla­ku hari ini cenderung penyera­gaman. Praktek tersebut jelas sebuah penyimpangan dari konstitusi. Apa lagi alasan penyeragaman didasari pers­ep­si yang menyamakan ne­gara dengan pemerintah.
Negara dalam konteks desentralisasi sebenarnya tidak boleh diartikan sebagai pemerintah melulu. Sebab desentralisasi adalah pende­legasian kekuasaan antara pusat kepada daerah-derah otonom, serupa propinsi yang selanjutnya dibagi pula keda­lam daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom (streek dan locale rechts­gemeen­schappen). Termasuk mendelegasikan kekuasaan­nya kepada daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Konstitusi memang meng­a­komodir pemberlakuan pe­merintahan desa atau yang disebut dengan nama lain, sebatas menjalankan fungsi administrasi saja. Tidak salah, bila pemerintahan desa dalam konteks administratif yang demikian, diterapkan di daerah-daerah yang keistime­waannya sudah tidak ada. Seperti halnya pemerintahan desa yang diberlakukan di wilayah Pulau Jawa maupun di wilayah Indonesia lainnya.
Namun menjadi berbeda konteksnya, bila pemerintahan terendah itu merupakan dae­rah-daerah dengan satuan-satuan yang istimewa. Sebab secara prinsif bentuk pemer­intahan satuan-satuan yang istimewa, dimaknai sebagai pemerintahan yang terinteg­rasi dengan kesatuan masya­rakat hukum adat beserta hak-hak tradisional­nya, seperti nagari di Minang­kabau, dusun dan marga di Palembang dan huta di Ta­panuli.
Instrumen hukum terha­dap pemerintahan teren­dah yang memiliki keistimewaan, tegasnya dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945, baik sebelum diamandemen maupun setelah diaman­demen. Seperti yang dirumus­kan dalam Pasal 18B UUD 1945, yakni negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa dan selain itu negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masya­rakat hukum adat beserta hak-hak tradisiona­lnya sepan­jang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masya­rakat dan prinsip NKRI. Penjelasan UUD 1945, dise­butkan pula ada 250 Zelfbes­turende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya yang mana daerah-daerah itu dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Ironisnya, sampai detik ini artikulasi hak istemewa telah dikaburkan. Bahkan pemak­naannya bergeser menjadi sangat sempit dan terbatas. Desa yang sebenarnya dulu bersifat istimewa, sekarang pemak­naannya bergeser men­jadi pemerintahan adminis­trasi belaka. Hak-hak istime­wa yang dimiliki desa pun menj­adi lenyap. Kepala Desa hanya­lah pelayan administrasi belaka. Barang kali alasan ini pulalah, kenapa kepala desa di Jawa lebih mengi­ngin­kan status pegawai ne­geri sipil (PNS) ketimbang kepala dae­rah otonom.
Bertitik-tolak dari berba­gai sumber hukum di atas. Seharusnya pengakuan ter­hadap hak-hak tradisional komunitas masyarakat hu­kum adat, dijalankan secara berke­adilan (social justice) oleh negara. Tidak ada alasan bagi pembuat undang-undang mau­pun pemerintahan untuk men­­ce­derai hak-hak masya­rakat lokal. Bahkan kalau ada undang-undang yang meng­hilangkan eksisten­si hak-hak tradisional ko­muni­tas yang masih hidup, maka konsek­uensi logisnya adalah undang-undang terse­but harus direvisi dan dicabut, karena jelas bertentangan dengan kon­stitusi negara yang lebih tinggi
Keistimewaaan dan Kebinnekaan
Beranjak dari pengakuan istimewa terhadap nagari di Minangkabau, seharusnya negara mengakomodir pe­merin­tahan nagari secara berkeadilan dan proporsional, diluar keten­tuan undang-undang desa sekarang yang cenderung menga­tur pemerin­tahan secara ad­minis­tratif belaka. Khusus di Sumatera Barat, undang-undang desa patut dikesam­pingkan secara subtansi mau­pun for­malitas, karena  undang-undang desa yang berlaku dibuat dengan semangat penyeragaman yang salah kaprah.
Sementara dalam status yang berbeda, pemerintah nagari tergolong istimewa dalam kultur dan kebin­nekaan Indonesia. Pemerin­tahan nagari sendiri bukanlah tergolong kedalam bentuk pemerintahan yang adminis­tratif belaka, melainkan adalah suatu pemerintahan yang terintegrasi dengan hukum adat, budaya dan ulayat (SDA).
Begitu pula secara prinsif, hukum adat Minangkabau adalah bagian yang terinteg­rasi dengan konstitusi Indo­nesia. Sehingga kententuan hukum adat yang menyatakan adat salingka nagari (adat selingkar nagari) misalnya adalah ba­gian yang tidak terpisahkan dari konstitusi negara yang tidak tertulis. Termasuk keten­tuan adat lainnya yang men­des­kripsikan ulayat adalah berpemilik melalui istilah “tak sejengkal tanah yang tidak berpunya”. Begitu pula secara kewila­yahan, ketentuan adat yang menga­takan bahwa na­gari berbatasan dengan nagari lainnya.
Jadi secara konstitusional tidak ada ruang kosong bagi penyeragaman pemerintah desa di Sumatera Barat. Sebab begitulah hukum adat Minangkabau hidup dan berla­ku secara turun-temurun, dari dahulu sampai sekarang.
Namun demikian, gayung bersambut legitimasi pember­lakuan pemerintahan nagari dengan peraturan daerah (perda) tentang Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat, praktis menjadikan nagari-nagari berhak membuat regu­lasi-regulasi baru di tingkat nagari. Sementara disadari bahwa kemampuan eksekutif dan legislatif daerah maupun nagari untuk memahami hukum adat dan peraturan perundang-undangan masih sangat minim. Hal ini cukup berbahaya dan patut diwas­padai. Mengingat bisa menja­dikan Wali Nagari raja-raja kecil yang polanya bisa tidak terkendali, akhirnya akan menjadi bumerang dan mem­buat kekacauan pengelolaan SDA dan otonomi daerah.
Apa lagi, kembali ke naga­ri selama ini masih terkesan pepesan  kosong, sebatas persoalan bertukar baju. Pelaksanaan pemerin­tahan nagari nyatanya tidak jauh beda dengan sitem peme­rin­tahan desa. Ibarat “batuka baruak jo cigak,”.
Bahkan pola menye­ragam­kam pemerintahan nagari dengan desa, justru sangat merugikan nagari. Sebab jumlah dana alaokasi umum (DAU) nagari sama dengan DAU desa di Jawa yang te­ritorial­nya lebih kecil. Se­men­tara luas wilayah nagari sendiri bisa 4 atau 5 desa. Tepatnya pemerintahan desa sama dengan keberadaan jorong dalam pemerintahan nagari. Akan tetapi apapun harapannya, jangan karena semangat mendapatkan DAU, nagari di dorong pula dime­karkan. Sekedar menjalankan prakmatisme perebutan kue DAU semata.
Akhirnya, apa boleh buat, kereta negara selalu keluar dari relnya. Negara selalu memonopoli dan menegasikan hak-hak rakyat. Sekalipun konstitusi mengakui hak komunitas masyarakat adat, pada saat yang bersamaan, justru dipertentangkan dengan kepentingan nasional yang tidak jelas batas-batasannya. Hingga yang terjadi adalah konsep kepentingan nasional itu direduksi menjadi kepen­tingan umum - yang juga tidak jelas batas-batasnya. Kemu­dian direduksi lagi menjadi kepentingan sekelompok kecil orang atau kepentingan kekua­saan dan kelompok bisnis tertentu. Sebab pemerintahlah yang boleh sewenang-wenang menetapkan batasan dari kepentingan umum tersebut.
Lagi pula, Selama ini kekuasaan telah merusak prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dasar dan asli yang masih berlaku di masyarakat. Begitu pula pemerintah dae­rah, kepentingannya hanyalah mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD), mendapatkan DAU dari pusat, akan tetapi lupa bahwa tugas mereka yang hakiki adalah membangun jiwa dan raga bangsa. Jiwa kebangsaan itu sendiri adalah kebinnekaan yang didalamnya termasuk keberagaman buda­ya dan keberagaman tatanan masyarakat hukum adat.
Inilah potret buram peme­rintahan kita, tidak lebih baik dari pemerintahan kolo­nial. Tidak mampu mengelola kebi­nnekaan dengan baik. Justru Belanda lebih terkesan mam­pu menjaga kearifan lokal dan menghormati hukum lokal yang berlaku di nusantara. Mereka tidak mau terlalu mencampuri tatanan hukum adat yang masih hidup.

FAUZAN ZAKIR
(Advokat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar