Featured Video

Jumat, 15 Juni 2012

HIKMAH ISRA MIKRAJ


Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepa­danya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Se­sung­guhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha menge­tahui (Qs. Al-isra’/17: 1).

Ayat di atas demikian populer dibaca umat Islam di setiap bulan Rajab, terutama dalam memperingati peristiwa isra Mikraj Nabi Muham­mad SAW. Banyak hikmah yang terkandung dalam ayat tersebut, di antaranya adalah:
Pertama, firman Allah yang mulia itu dimulai dengan kata-kata subhana. Para mufassir menafsirkan penggu­naan kata-kata subhana dalam al-Qur’an menunjukkan suatu peristiwa yang amat luar biasa dan yang bisa melakukannya hanya Allah semata. Karena itu, jika kita menyaksikan sesuatu yang sangat mengagumkan maka dianjurkan melafalkan kata subhanallah.
Selain itu, kata subhana yang berarti Mahasuci me­nunj­uk­kan bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi karena Allah suci dari perbuatan dusta dan sia-sia. Pasti ada pelajaran dan hikmah yang tinggi terkandung di dalam­nya. Karenanya, peristiwa ini menguji sekaligus mening­katkan keimanan setiap muk­min kepada Allah SWT.
Kata subhana juga mene­gaskan bahwa Allah itu Mahasuci maka dekatilah Dia dengan hati yang suci. Bahkan peristiwa isra Mikraj adalah peristiwa pertemuan yang suci dengan Yang Mahasuci. Sebelum Nabi SAW diberang­kat, beberapa riwayat menye­butkan terlebih dahulu dada­nya dibedah untuk disucikan.
Lebih jauh, ibadah shalat sebagai ‘kado istemewa’ dari peristiwa isra mikraj itu juga mengajarkan kita untuk bersu­ci terlebih dahulu sebelum melakukan shalat. Tegasnya, jika ingin senantiasa dekat dengan Allah yang Mahasuci, senantiasalah menyucikan diri dari sifat-sifat yang mengotori jiwa: munafiq, syirik, fasiq, kafir, riya, hasad, dendam, dan sejenisnya.
Kedua, perjalanan (isra) dan mikraj itu bukan keingi­nan dan kekuasaan Nabi Muhammad, tetapi atas ke­kua­saan Allah. Dalam ayat itu dijelaskan bahwa Allah yang memperjalankan hamba-Nya. Maka secara bahasa, status Muhammad pasif karena dia diperjalankan, bukan berjalan sendirinya. Yang berperan secara aktif (memperjalankan) adalah Allah. Itu artinya, peristiwa ini benar atas kuasa Allah semata.
Selain itu, yang diperja­lankan adalah seorang hamba (‘abd). Pengunaan kata ‘abd di sini berarti manusia yang terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Hal ini menunjukkan bahwa perjalanan itu bukan ruh Nabi SAW, tetapi jasmani dan rohaninya mengalami peristiwa itu dengan sesungguhnya. Karena itu, tidak ada keraguan dalam peristiwa tersebut.
Ketiga, perstiwa isra Mikraj itu dilakukan di waktu malam. Hal ini mengisya­ratkan kepada kita tentang pentingnya memanfaatkan waktu malam untuk beriba­dah kepada Allah.
Dalam al-Qur’an dijanji­kan, orang-orang yang mendiri­kan shalat malam akan diang­kat ke tempat yang terpuji (Qs. Al-isra’/17: 79), tergolong dalam kelompok ‘ibadurrah­man (Qs. Al-Furqan/25: 64) dan orang-orang yang shaleh (Ali Imran/3: 113).
Waktu malam merupakan waktu sunyi yang memung­kinkan seseorang beribadah lebih khusyu’, tenang dan larut dalam dunia spiritual. Ketika itu pula, tubuh bergerak dari berdiri, rukuk dan sujud. Darah yang mengikat oksigen di waktu malam itu mengalir sedemikian rupa ke sel-sel syaraf otak, khususnya dalam waktu sujud. Dengan begitu, shalat malam mencerdaskan otak, mengurangi stres, menye­hatkan badan, dan psikologis atau ruhaniyah seseorang semakin sehat.
Selain itu, dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menyebut nama waktu, bah­kan Allah bersumpah dengan waktu siang dan malam, seperti dalam surat asy-Syams. Para mufassir sering menafsirkan Allah bersumpah dengan waktu itu mengajarkan agar manusia menghargai waktu dengan memanfaat­kannya secara positif.
Orang-orang sukes adalah orang yang mampu mengop­timalkan pemanfaatan waktu. Maka sudah sepatutnya umat Islam menjadi orang yang disiplin dalam memanfaatkan waktu, tidak saja dalam urusan duniawi, tetapi juga ukhrawi. Dengan begitu keba­hagiaan dunia akirat tidak sekedar harapan dalam doa, tapi kenyataan yang diiringi usaha nyata.
Keempat, dalam ayat pertama surat al-isra’ itu juga disebutkan peristiwa isra’ di mulai dari masjid al-Haram di Mekah lalu berakhir di masjid al-Aqsha di Palestina. Perjalanan dari masjid ke masjid. Ini mengisyaratkan pentingnya memakmurkan masjid.
Memakmurkan masjid bukan memamerkan keinda­han masjid, sementara ja­maah­nya lengang; bukan mengutamakan penampilan, tetapi mengedepankan isi atau kegiatan-kegiatan positif. Kegiatan memakmurkan mas­jid tidak pula sekedar men­diri­kan shalat berjamaah, tetapi juga kegiatan yang dapat membangun masyara­kat yang adil, beradab, mak­mur, sejahtera sesuai dengan aturan syariat.
Masjid sejatinya menjadi sentral kegiatan umat. Da­lam masjid, umat menye­lesai­kan berbagai persoalan umat, seperti persoalan politik, ekonomi, pendidikan, keseha­tan dan sebagainya, di sam­ping kegiatan ibadah mahd­hah seperti shalat berjamaah.
Itu pula yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam membangun masyarakat ma­da­ni periode Madinah. Pasca­peristiwa isra Mikraj, tak berapa lama Nabi SAW hijrah ke Madinah. Kebijakan perta­ma yang diambil adalah membangun masjid lalu me­mak­murkannya dengan berba­gai kegiatan demi kemas­lahatan umat.
Kelima, Allah juga mene­gas­kan bahwa di sekeliling perjalanan itu diberkahi dimana Allah ingin mem­perlihatkan ayat-ayatNya kepada Muhammad SAW. Dalam beberapa tafsir dise­but­kan bahwa yang diberkahi itu adalah tempat-tempat yang dikunjungi oleh Nabi SAW dalam peristiwa isra dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha.
Di antara tempat yang disinggahi itu adalah Yatsrib, Baitullahm (tempat dilahir­kannya Nabi Isa, Thursina/Bukit Sinai tempat dimana Nabi Musa menerima wahyu dan Nabi Syu’aib melakukan dakwah. Tempat-tempat itu bernilai sejarah dimana Allah memberkahinya.
Begitu pula berbagai gam­baran yang ditunjukkan Allah selama dalam perjalanan tersebut. Bahkan Nabi SAW mikraj menaiki langit, lapisan demi lapisan hingga langit ke tujuh dan berakhir di Sidratul Muntaha. Tegasnya, Nabi SAW telah melintasi alam raya ini.
Semua itu diperlihatkan Allah agar Nabi SAW dan kita sebagai umatnya bisa membaca ayat-ayat Allah. Ayat-ayat itu bisa berupa qauliyah/naqliyah yaitu Kalam Allah dalam al-Qur’an. Bisa pula berupa ayat-ayat kauni­yah/aqliyah, yaitu kejadian dan hamparan alam semesta.
Membaca kedua bentuk ayat ini akan mendorong manusia untuk menguasai ilmu pengetahuan, sebab kedua bentuk ayat tersebut merupakan objek dari ilmu pengetahuan. Umat Islam harus menjadi umat teladan, tampil terbaik dengan pengua­saan ilmu dan teknologi, baik ilmu-ilmu yang bersifat syar’­iyyah maupun ghairu syar’i­yyah, ilmu-ilmu agama yang lebih berorientasi ke akhirat begitu pula ilmu-ilmu umum yang bersifat duniawi. Semua­nya dikemas dalam membang­un peradaban umat dan mem­pe­roleh kebahagiaan dunia akhirat.
Keenam, ayat itu ditutup dengan “Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Peristiwa isra Mikraj merupakan kebenaran hakiki, meskipun manusia sulit memahaminya secara dengan pendengaran dan penglihatan secara empiris. Akan tetapi Allah menegas­kan bahwa Dia Maha Mende­ngar lagi Maha Menge­tahui.
Peristiwa itu mutlak atas kekuasaan Allah. Pendengaran dan penglihatan manusia sangat terbatas. Namun keterbatasan manusia itu tidak membatasi dirinya mengenal dan meyakini kekua­saan Allah. Dalam konteks ini, keimanan menjadi kebutu­han manusia untuk kenal dan dekat pada Sang Penciptanya.
Ketujuh, hasil dari perjala­nan itu adalah perintah men­diri­kan shalat. Peristiwa isra Mikraj yang spektakuler itu akan turut dirasakan seluruh umat manusia dengan men­dirikan shalat secara benar. Nabi SAW menegaskan bah­wa Mikrajnya orang-orang beriman adalah shalat.
Shalat tidak sekedar gera­kan dan bacaan yang diatur secara syari’at, tetapi shalat memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Shalat me­ngajar­kan manusia hanya membesarkan Allah, penyera­han diri secara totali­tas kepada-Nya, melenyapkan sifat takabur, hati dan lisanya senanitiasa berzikir, hingga kepada perbuatan yang senang menebar salam.
Jika shalat dilakukan dan dipahami dengan benar, maka shalat menjadi kontrol bagi manusia untuk tetap istiqa­mah di jalan yang haq, terhin­dar dari perbuatan fahsya’ dan munkar. Karena itu pula shalat laksana tiang dalam keberagamaan seseo­rang. Bahkan shalat menjadi pembe­da antara umat Mu­ham­mad dengan orang-orang kafir.
Demikian dalam makna yang terkandung dalam peris­tiwa isra Mikraj. Semoga peringatan isra Mikraj di tahun 1433 H ini tidak seke­dar menggelar kegiatan-kegia­tan serimonial, tetapi menjadi momentum bagi kita untuk meningkatkan kualitas diri dan kehidupan umat dalam mewujudkan masyarakat yang berpera­daban dan bermarta­bat. Amin.

MUHAMMAD KOSIM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar