Featured Video

Kamis, 16 Agustus 2012

IDUL FITRI DAN KEBENINGAN JIWA


Ilmu pengetahuan adalah modal utama dalam membaca dan meng­ung­kapkan semua ciptaan Allah. Karena ilmu pengetahuanlah sebab utama para malaikat diinstruksikan Allah sujud hormat kepada moyang kita Adam as. Kele­bihan ini tidak dimiliki makh­luk lain ter­masuk para malai­kat sendiri. Atas kelebihan inilah Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Karena itu, pada dasar­nya, semua yang ada di bumi ini diperuntukkan Allah untuk manusia. Allah ciptakan bumi untuk manusia secara gratis, Allah ciptakan matahari  dan udara untuk manusia secara gratis.


Dika­takan gratis, karena manusia tidak pernah ikut membangun bumi Allah ini dan juga manusia tidak pernah mem­bayar matahari, udara, air dan tanah Allah. Karena itu, manusia  harus mengabdi atau tunduk dan patuh kepada Allah. Salah satu bentuk pengabdian itu ialah, manusia berusaha mendapatkan ilmu penge­tahuan, walau di ujung dunia dan di langit sekalipun, yang kemudian dikem­bang­kannya untuk memakmurkan bumi ini. Manusia dalam menda­patkan ilmu penge­tahuan, tidak perlu mem­bedakan agama dan suku bangsa. Silahkan bekerja sama dengan siapa pun. Ma­nusia yang diinginkan Alquran, bukanlah manusia yang bodoh, tetapi manusia pintar, ma­nusia yang sanggup menjaring langit, manusia yang bisa menak­lukkan alam semesta, manu­sia yang kepalanya penuh dengan ilmu penge­tahuan, akan tetapi hatinya selalu tunduk dan patuh atas aturan Allah.
Buah dari Ramadan, se­suai dengan salah satu artin­ya, mengasah, hati kita men­jadi terasah dan bersih. Hal ini disebabkan kita sungguh-sungguh melakukan ibadah-ibadah selama satu bulan. Dengan arti cahaya atau nur Ramadan telah memberikan cahaya pada hati kita. Di sinilah letak perbedaan nilai antara manusia dengan he­wan. Hamka dalam buku Lembaga Budi mengatakan: 5 ekor sapi sama tingginya, sama beratnya, pasti sama harganya. Karena harga he­wan terletak pada daging. Sedangkan 5 orang manusia sama tingginya, sama berat­nya, berbeda harganya, ka­rena harga manusia tidak terletak pada daging, melainkan pada pribadi, arti lain dari ke­bersihan hati.
Kebersihan hatilah yang menentukan buruk baiknya seseorang. Apabila dalam dirinya terdapat hati yang bersih, maka akan lahir di sana akhlak yang baik. Seba­liknya bila dalam diri sese­orang tersimpan hati yang kotor, maka akan lahir di sana akhlak yang kotor dan bejat. Nabi lewat hadisnya juga mengingatkan: Sesung­guh­nyaAllah tidak akan melihat kepada bentuk, rupa dan tubuhmu, tetapi Allah akan melihat kepada bersih tidak­nya hatimu.
Dengan hati yang bersih ini kita dapat mengoreksi diri. Dan dengan hati yang bening kita dapat mengendalikan diri. Orang yang berhati bersih tidak mungkin melakukan kejahatan, seperti pem­bu­nuhan, perjudian, penjarahan, pemerkosaan, KKN, mem­fitnah, narkoba, provokasi dan lainnya. Hati yang masih sakit atau hati yang telah mati saja, yang masih mampu mempermainkan hukum, men­curi uang rakyat dan mem­permainkannya dengan ber­macam alasan. Hati kera­sukan setan saja, yang mau melakukan pura-pura mene­gakkan hukum, padahal ialah yang perongrong hukum. Hati yang buta saja yang masih tega mengambil keuntungan disaat rakyat dalam keadaan ditimpa kesulitan. Allah mengingatkan dalam surat al-Hajj ayat 466:
(Maka sesungguhnya tidak­lah mata kepalanya yang buta, tetapi yang buta ialah mata hatinya terdapat dalam dada).
Terjadinya semua yang digambarkan tersebut, dise­babkan hatinya kosong dari ajaran agama. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan bangsa ini, ialah kembali kepada ajaran agama (fitrah), dan kembali membersihkan rohani atau hati. Allah Yang Maha Suci tidak mungkin dekat atau memberikan nur-Nya kepada hati orang yang tidak suci. Alquran kitab suci, diturunkan Allah Yang Maha Suci, pada bulan yang suci maka ia akan memberikan hidayah kepada orang yang hatinya suci. Alquran tidak pernah mampir kepada orang yang hatinya tidak suci, walaupun Alquran hafal oleh­nya.
Dalam Alquran telah di­con­tohkan Allah tentang hati-hati manusia yang telah mati, yang tidak mungkin lagi berubah menjadi sehat. Satu-satunya solusi ialah dimus­nahkan Allah. Fir’aun pejabat Negara, Raja diraja yang sudah mati hatinya diteng­gelamkan oleh Allah di Laut Merah, Qarun konglomerat yang terkaya di bumi Allah ini telah mati hatinya, ia, rumah dan kekayaannya dite­lan bumi, rakyat Nabi Nuh as. yang telah mati hatinya, dimusnahkan Allah dengan banjir besar dan lain-lainnya. Orang-orang sekarang apabila hatinya sudah mati, maka juga akan dimusnahkan Allah dengan berbagai macam ben­cana, namun yang paling kita takutkan bencana itu tidak hanya menimpa mereka saja, tetapi juga orang-orang yang baik-baik.
Karena itu, kita tidak bosan-bosannya menghimbau kepada orang-orang yang selama ini suka melakukan kesalahan dan dosa, apakah ia sebagai elit politik, elit ekonomi, provokator dan lain-lainnya, segeralah melakukan taubat nasuha dan berjanji tidak lagi bertualang dalam lumpur dosa dan maksiat.
Dengan kesadaran rohani juga kita menghimbau kepada semua pihak, mari kita jadi­kan energi Ramadan untuk bangkit ke depan baik sebagai bangsa, masyarakat dan pribadi. Kita tidak perlu hanyut dengan kondisi ini, kita tidak perlu memaki-maki siapa-siapa, mari kita tun­jukkan kepada Allah, kepada dunia, bahwa Islam dan umatnya masih umat yang terbaik, mari kita jalankan kehidupan yang sejujurnya dan semaksimalnya, insya­allah Yang Maha Kuasa me­nun­jukkan jalan yang terbaik.
Sejalan dengan pelak­sanaan Salat Idul Fitri, seba­gai tatanan hubungan manusia dengan Tuhannya, kita bina pula silaturrahmi antara sesama manusia dengan menunaikan zakat fitrah dan zakat-zakat lainnya. Zakat fitrah, sebagai zakat jiwa, ia berfungsi sebagai penyem­purna ibadah puasa. Dan juga berfungsi sebagai satu sarana untuk memberi kesempatan kepada golongan fuqara’, dhu’afa’ dan masakin, agar mereka ikut serta merayakan hari raya yang penuh bahagia ini. Dengan kata lain, hari ini tidak boleh ada satu orang pun yang lapar, bahkan lebih jauh dari itu, tidak boleh ada seorang pun yang teraniaya. Bila tidak demikian, berarti kita belumlah menunjukkan hati yang bersih.
Hari raya, bagi umat Is­lam, bukanlah hari pamer kemewahan, bukan pula hari pamer kemubaziran. Hari raya bukan pula berarti bahwa pada hari ini kita meng­halalkan apa yang telah diharamkan Allah. Hari leba­ran bukan berarti melebarkan mulut, agar kue-kue dan makanan leluasa masuk pe­rut. Hari raya bukanlah hari mencari peluang untuk meng­irimkan bingkisan, parcel atau kue-kue yang hanya lebih banyak ditujukan kepada atasan ketimbang kepada para bawahan, yang memang sangat membutuhkan. Bingkisan tersebut diiringi dengan pesan-pesan terselubung dalam bentuk unjuk diri untuk me­mu­dahkan bisnis, naik pang­kat, mutasi dan lain-lainnya. Jika ini dilakukan, hari raya bukan lagi hari kemenangan, tetapi merupakan hari keka­lahan. Hari raya hanya sema­ta-mata bertujuan menyam­paikan rasa syukur kepada Allah atas keberhasilan usa­hanya sendiri dalam pena­taran kerohanian selama satu bulan.
Karena itu, kita meng­himbau kepada semua umat Islam, dengan kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan ini, mari kita rayakan Idul Fitri tahun ini dengan seseder­hana mungkin, jangan berle­bih-lebihan, karena Allah tidak suka kepada orang yang melampaui batas. Mari kita amalkan makna (hakikat) hari raya Idul Fitri dengan ucapanminal ‘A-idin wal fa-izin, yakni kembali kepada fitrah, dalam arti kembali kepada kesucian (bersih dari dosa), kembali kepada “asal kejadian”, yakni beriman kepada Allah dan kembali kepada “agama yang benar”, yakni keserasian antara manusia, lingkungan dan alam. Sedangkan al-fa-izin mengandung makna do’a dan harapan, semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh ampunan dan ridha Allah SWT. Sehingga semua kita mendapatkan kenikmatan surga-Nya. Atas dasar itulah, Idul Fitri bagi umat Islam, adalah dengan menonjolkan kebesaran jiwa dan kebersihan hati serta ketaatan yang bertambah:  Tidaklah dinamakan hari raya bagi orang yang memakai serba baru, tetapi hari raya ialah ketaatan yang ber­tambah kepada Allah SWT.
Kita berterima kasih ke­pada pemerintah yang telah men­ciptakan kembali ke sur­au, kembali kepada ABS-SBK, pesantren Ramadan, wirid remaja, subuh mubarakah, SD Plus bebas buta huruf Alquran dan program-program lainnya. Mari kita dukung bersama program pemerintah ini seba­gai salah satu usaha dalam membentengi masyarakat dari pengaruh-pengaruh asing seperti yang telah dike­mu­kakan.
Takbir telah kita kuman­dangkan, salat telah kita kerjakan dan zakat fitrah telah kita tunaikan, maka selanjutnya marilah kita mengulurkan tangan saling memaafkan. Rasulullah SAW. pernah berdo’a yang dia­minkan oleh malaikat Jibril, bunyinya: “Ya Allah, janganlah diterima puasa seorang isteri, jika ia tidak saling mema­afkan dengan suaminya. Ya Allah, janganlah diterima puasa seorang anak, jika ia tidak meminta maaf kepada orang tuanya. Ya Allah, ja­nganlah diterima puasa sese­orang bila ia tidak saling memaafkan dengan tetang­ganya. Maafkanlah segala kesalahan saudara kita sebe­lum ia minta maaf. Orang yang meminta maaf adalah orang yang berjiwa besar dan orang yang pemaaf adalah orang yang berjiwa lebih besar. Bahkan pahala yang akan ia terima jauh lebih besar dari orang tidak mau memaafkan kesalahan orang lain. Tiada lagi dendam, sebab bibit permusuhan telah dikubur dalam-dalam. Semua hati telah cerah, sebab semua jiwa telah pasrah kepada Allah.
Mari kita kepakkan sayap Idul Fitri yang indah ini. Rasanya semangat Idul Fitri yang mampu menyatukan hati kita semuanya pada hari ini, tidak akan mungkin bisa diciptakan oleh peradaban manusia mana pun di dunia ini, jika tidak dikomandoi oleh kekuatan-kekuatan Allah. Karena kuatnya kebersatuan hati kita pada Idul Fitri, kita juga tidak tega membiarkan saudara kita seiman dan seagama masuk neraka kare­na tersangkut maaf dari kita yang kebetulan pernah men­jahati kita. Mari kita teladani sifat pemaaf Rasulullah SAW, ketika diminta mengecam dan mengutuk satu kaum yang telah menjahatinya, beliau justru menolaknya seraya berkata: “Aku diutus Allah bukanlah sebagai tukang kutuk, tetapi pembawa rahmat untuk seluruh alam semesta. Demikian pula semangat maaf yang diperlihatkan oleh Abu Bakar yang telah bersumpah untuk tidak berhubungan dan memberi bantuan kepada Mistah, seorang anak asuhnya yang turut menyebarkan fitnah menyangkut putrinya, Aisyah, sekaligus istri Rasu­lullah SAW. Akan tetapi setelah turun ayat 22 surat al-Nur langsung Abu Bakar memaafkan kesalahan anak asuhnya tadi dan memberikan bantuan seperti biasanya.
Akhirnya marilah kita sama-sama menundukkan muka dan hati, kita berdo’a kehadirat Allah, semoga Allah berkenan mengabulkan do’a kita semua.

PROF DR H SALMADANIS, MA
(Guru Besar IAIN Imam Bonjol Padang)



sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar