Featured Video

Rabu, 12 September 2012

Catatan dari Pekanbaru Geliat Minang di Bumi Lancang Kuning


















Pekanbaru - Pekanbaru menjadi salah satu kota besar perantauan masyarakat Minang. Selama Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII, terlihat dominannya warga Minang beraktivitas di ibukota Riau tersebut.

Berbagai profesi mulai dari sopir taksi hingga pedagang makanan begitu kental selama pergelaran PON. Tidak salah bila masyarakat Minang dikenal dengan etos kerja yang tinggi. Bergulirnya PON dimanfaatkan untuk mendulang rezeki demi kebutuhan ekonomi keluarga.

Sorang sopir taksi bernama Rahmad Aidil, 42, mengaku Pekanbaru adalah kampung halaman kedua setelah daerah kelahirannya di Payakumbuh, Sumatera Barat. Merantau di Pekanbaru sejak 1991, membuat Aidil merasa betah dan kerasan. Pilihan ini tidak salah karena sampai sekarang istri serta kedua putranya juga merasa sebagai orang asli Pekanbaru. Padahal, istrinya yang lima tahun lebih muda darinya berasal dari Sumatera Utara.

"Alhamdulillah, Dek. Sudah 31 tahun di sini. Inginnya sih sampai nanti di Riau terus. Kadang-kadang, kalau ada rezeki pulang ke Payakumbuh atau Medan," kata Aidil saat berbincang dengan Harian Detik, Senin, malam.

Adanya event besar macam PON dimanfaatkan Aidil mencari penumpang yang mayoritas adalah wartawan dan kontingen atlet. Sejak bergulir PON, dengan sabar, ia selalu menunggu penumpang sejak pagi di Sport Stadium Rumbai. Kadang juga, ia rela menjemput penumpang dari Jakarta yang tersesat mencari tempat penginapan.

Ia bercerita, pernah ditelepon oleh penumpang yang merupakan kontingen PON Jawa Tengah agar menjemput di Bandara. Memberikan nomor ponsel kepada pelanggan rupanya menjadi ciri khas Aidil untuk mendapatkan langganan selama di PON. Cara itu ternyata tidak salah. "Kalau Adik perlu saya. Silakan hubungi saja ini. Saya siap jemput. Kapan dan di mana," paparnya.

Dia juga menceritakan bahwa 70 persen dari sekitar 300 sopir taksi di Pekanbaru adalah masyarakat perantauan dari Minang. Jadi, tidak heran bila sesama sopir saling kompak untuk memberikan info kepada temannya yang masih sepi order penumpang. Contohnya memang sudah dirasakan Detik keesokan malamnya saat pulang pukul 22.45 WIB usai meliput pertandingan di Rumbai Sport Center. Tiba-tiba, seorang sopir taksi menghampiri dengan menawari pelayanan. "Saya tahu dari teman saya, Mas. Mau ke mana, Mas? Silakan masuk, saya tahu lokasinya," ujarnya bersemangat.

Begitupun dengan Rizal, 48. Sosok paruh baya ini bila anak buahnya tidak masuk, ia tidak segan untuk mendorong gerobaknya berjualan sate padang di area Jalan Pepaya, Pekanbaru. Tapi, jangan salah. Meski hanya berjualan dengan gerobak, Rizal juga memiliki usaha warung masakan padang di rumahnya yang berdekatan dengan Jalan KH. Wahid Hasyim. Namun, usaha bisnis warung makanan di rumahnya yang mengelola adalah istrinya.

"Jangan kaget kalau di sini banyak orang Minang seperti saya. Rata-rata yang jual makanan, nggak jauh dari orang Minang, Mas," katanya, akhir pekan lalu.

Itulah gambaran kehidupan di kota Pekanbaru yang tidak jauh dari masyarakat Minang. Saya pun yang baru lima hari di Pekanbaru merasa aroma Minang seperti halnya di Jakarta yang banyak warung masakan padang serta sate padang. Bila belum makan usai liputan malam, saya selalu menyempatkan diri untuk membeli satu porsi sate padang yang berada di depan hotel. 

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar