Pengantar: Memaknai HUT Singgalang ke-44 dan Hari Ibu, Dompet Dhuafa Singgalang berusaha menghimpun modal usaha untuk ibu-ibu tangguh yang berjuang sendiri menjadi tulang punggung keluarga dan menanggung biaya hidup lebih dari 3 anak.
Mulai hari ini profil mereka diturunkan satu persatu. Jika Anda terketuk untuk turut membantu, dapat menyalurkannya ke Graha Kemandirian Dompet Dhuafa Singgalang, Jl.Juanda No.31 C Pasar Pagi, Padang atau melalui rekening a/n Dompet Dhuafa Singgalang : BNI Syariah : 234.66666.6. (Red)Palai dibuat Asnimar tiap hari. Ia tak kenal libur. Sebelum subuh ia sudah berjibaku memasak palai. Menggiling kelapa, membersihkan ikan bada, membumbuinya dan menunggunya matang. Pagi harinya palai-palai berwangi enak itu siap dijual. Asnimar menjualnya dengan berkeliling dari rumah ke rumah dan dititipkan di warung-warung.Enam tahun sudah Asnimar (49) menjanda. Sejak suaminya, Syafril yang nelayan itu meninggal dunia karena hipertensi, Asnimar menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Sendirian ia membesarkan ketiga anaknya yang ketika itu semuanya sedang bersekolah. Dengan berjualan palai, Asnimar berhasil menyekolahkan anak-anaknya. Dua anaknya sekarang sudah tamat SMA. Bahkan, Asnimar bertekad menguliahkan mereka.
“Sudah enam tahun menjual palai. Dari sana uang untuk makan dan sekolah anak,” kata Asnimar mulai cerita tentang hidupnya, Selasa (25/12).
Sebenarnya keuntungan yang ia dapatkan dari menjual palai itu tidaklah seberapa. Sebulan pendapatannya tak cukup Rp500 ribu. Jika ditanyakan apakah cukup untuk membiayai kehidupannya bersama ketiga anak, Asnimar tersenyum kecut. “Dicukup-cukupkan saja. Kalau tak cukup terpaksa hutang. Nanti baru usaha keras melunasinya,” katanya tegar.
Begitulah ia menjalani hidup, tegar dan pantang berputus asa. Walau tahu benar uang yang dihasilkan dari menjual palai tak seberapa banyak, Asnimar tak berhenti. Seandainya ada pekerjaan lain yang bisa menghasilkan uang lebih dari pendapatannya sekarang, Asnimar mau membanting tulang. Tapi kata Asnimar menjual palai menjadi satu-satunya pilihan. Jika pun ia ingin pekerjaan lain, pilihannya yang tak ada. Di zaman sekarang dengan hanya ijazah SD, dan umur yang tak lagi muda apalah pekerjaan yang bisa ia dapatkan. Pilihan satu-satunya memang palai. Sejak dulu, ia memang pandai membuat palai. Kata orang-orang palai buatannya enak, bumbu dan pedasnya pun pas.
Enam tahun ia berjuang melewati badai kesusahan hidup. Ia sudah bisa sedikit bernapas lega karena sekarang dua dari tiga anaknya sudah tamat SMA. Seorang lagi masih duduk di bangku SMP. Asnimar memang bertekad tak seorang pun anak-anaknya boleh putus sekolah.
“Dari dulu bertekad anak-anak tak boleh ada yang putus sekolah. Biar tak jadi orang susah seperti amak, abaknya,” kata Asnimar. Ketiga anaknya itulah yang menjadi pelecut semangat Asnimar. Sekarang ia berusaha lebih giat untuk mengumpulkan uang kuliah untuk kedua anaknya, Arif dan Putri.
Gayung bersambut, usaha palai Asnimar kini pun sudah menujukkan kemajuan. Terkenal enak, palai-palai buatan Asnimar sekarang sudah punya pelanggan tetap. Kadang ada yang memesan sekali banyak untuk acara pengajian atau arisan. Enam tahun penjuangan Asnimar menjajakan palai, mulai terlihat hasilnya.
“Dulu amak suka buat palai. Belajar buat palai dari amak,” kata warga Pasie Nan Tigo, Koto Tangah Padang ini menguak rahasia di balik palainya yang enak.
Melihat usaha palainya mulai terkenal, Asnimar pun mulai bermimpi anak-anaknya dalam waktu dekat bisa melanjutkan kuliah. Untuk itu sekarang Asnimar berusaha memperbanyak produksi. Ia mampu membuat palai sampai 350 bungkus sehari. Kedua anaknya yang tamat SMA itu ikut membantu membuat palai. Kadang jika pesanan sedang sangat banyak, ia meminta bantuan tetangga untuk ikut menjualkan berkeliling, sedang ia memasak untuk memenuhi pesanan.
Sayangnya sering kali pesanan palai dalam jumlah banyak tak jadi ia ambil karena pemesan tak membayar uang muka. Kadang juga ditolak karena takut pesanan tak terpenuhi. Tenaga bantuan untuk membuat palai pun terbatas, jika ingin meminta bantuan tetangga tentulah harus diberi upah. Urusan modal ini memang selalu menjadi penghalang untuk orang kecil seperti Asnimar.
Jika modal itu ada, Asnimar inginnya membuka usaha palai dengan mempekerjakan beberapa tetangga. Ia juga bisa menerima sebanyak apapun pesan palai tanpa kebingungan modal atau tenaga bantuan. Dengan modal itu pula Asnimar bermimpi akan semakin banyak warung dan toko yang ia titipi palainya yang enak itu. Asnimar pun bisa memetik penghasilan lebih banyak.
“Uangnya tentu saja untuk kuliah anak,” katanya penuh harap.
Begitulah ia menjalani hidup, tegar dan pantang berputus asa. Walau tahu benar uang yang dihasilkan dari menjual palai tak seberapa banyak, Asnimar tak berhenti. Seandainya ada pekerjaan lain yang bisa menghasilkan uang lebih dari pendapatannya sekarang, Asnimar mau membanting tulang. Tapi kata Asnimar menjual palai menjadi satu-satunya pilihan. Jika pun ia ingin pekerjaan lain, pilihannya yang tak ada. Di zaman sekarang dengan hanya ijazah SD, dan umur yang tak lagi muda apalah pekerjaan yang bisa ia dapatkan. Pilihan satu-satunya memang palai. Sejak dulu, ia memang pandai membuat palai. Kata orang-orang palai buatannya enak, bumbu dan pedasnya pun pas.
Enam tahun ia berjuang melewati badai kesusahan hidup. Ia sudah bisa sedikit bernapas lega karena sekarang dua dari tiga anaknya sudah tamat SMA. Seorang lagi masih duduk di bangku SMP. Asnimar memang bertekad tak seorang pun anak-anaknya boleh putus sekolah.
“Dari dulu bertekad anak-anak tak boleh ada yang putus sekolah. Biar tak jadi orang susah seperti amak, abaknya,” kata Asnimar. Ketiga anaknya itulah yang menjadi pelecut semangat Asnimar. Sekarang ia berusaha lebih giat untuk mengumpulkan uang kuliah untuk kedua anaknya, Arif dan Putri.
Gayung bersambut, usaha palai Asnimar kini pun sudah menujukkan kemajuan. Terkenal enak, palai-palai buatan Asnimar sekarang sudah punya pelanggan tetap. Kadang ada yang memesan sekali banyak untuk acara pengajian atau arisan. Enam tahun penjuangan Asnimar menjajakan palai, mulai terlihat hasilnya.
“Dulu amak suka buat palai. Belajar buat palai dari amak,” kata warga Pasie Nan Tigo, Koto Tangah Padang ini menguak rahasia di balik palainya yang enak.
Melihat usaha palainya mulai terkenal, Asnimar pun mulai bermimpi anak-anaknya dalam waktu dekat bisa melanjutkan kuliah. Untuk itu sekarang Asnimar berusaha memperbanyak produksi. Ia mampu membuat palai sampai 350 bungkus sehari. Kedua anaknya yang tamat SMA itu ikut membantu membuat palai. Kadang jika pesanan sedang sangat banyak, ia meminta bantuan tetangga untuk ikut menjualkan berkeliling, sedang ia memasak untuk memenuhi pesanan.
Sayangnya sering kali pesanan palai dalam jumlah banyak tak jadi ia ambil karena pemesan tak membayar uang muka. Kadang juga ditolak karena takut pesanan tak terpenuhi. Tenaga bantuan untuk membuat palai pun terbatas, jika ingin meminta bantuan tetangga tentulah harus diberi upah. Urusan modal ini memang selalu menjadi penghalang untuk orang kecil seperti Asnimar.
Jika modal itu ada, Asnimar inginnya membuka usaha palai dengan mempekerjakan beberapa tetangga. Ia juga bisa menerima sebanyak apapun pesan palai tanpa kebingungan modal atau tenaga bantuan. Dengan modal itu pula Asnimar bermimpi akan semakin banyak warung dan toko yang ia titipi palainya yang enak itu. Asnimar pun bisa memetik penghasilan lebih banyak.
“Uangnya tentu saja untuk kuliah anak,” katanya penuh harap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar