Juita Herlina sang Ibu tangguh
Kemalangan hidup tak pernah lepas dari Juita Herlina (49). Belasan tahun lalu, suaminya pergi begitu saja tanpa kabar berita, tak pula memberi nafkah. Sejak itu ia menjadi pemulung, mengais rezeki di antara sampah. Baru beberapa bulan yang lalu, anak gadisnya yang sudah duduk di bangku SMA meninggal tertabrak mobil. Hati Juita hancur lebur. Padahal pada anak tertuanya itu ia menggantungkan harapan untuk hidup yang lebih baik di masa datang.
Tapi Juita menguatkan diri. Anaknya yang seorang lagi masih duduk di kelas III SD, masih membutuhkan jerih payahnya. Abang kandungnya yang sakit-sakitan pun telah sejak lama menjadi tanggungan Juita.
“Kadang rasonyo ndak talok lai, latiah (Kadang rasanya tak sanggup lagi, letih),” kata Juita berbagi duka, Minggu (23/12).
Bagi perempuan paruh baya ini, ditinggalkan suami dan anak memang tak terkira letihnya, letih perasaan, letih raga.
Tapi bukan Juita namanya jika berputus asa. Walau susah benar ia rasakan hidup, Juita bersumpah tak akan menyerah. Ia ingin anaknya yang tinggal semata wayang itu menjadi orang sukses. Juita tak ingin hidupnya yang melarat dialami pula oleh sang anak. Untuk itu, ia bertekad sekeras apapun harus membanting tulang. Pendidikan anak tak boleh putus, tak boleh pula dihancurkan penyakit.
Dengan tekadnya itulah Juita menguatkan diri menjalani hidup. Saban hari, mulai pagi hingga senja hari ia berjalan kaki, menyusuri jalanan Kota Padang mengais sampah. Ia mengumpulkan sampah-sampah yang kiranya bisa dijual untuk uang makan, biaya pendidikan anak dan obat abang kandungnya.
Saat ditanyakan apakah lelah. Juita menguat-nguatkan diri. “Karajoan se. Kalau latiah dipaturuikan ndak makan awak dek nyo (tak ada cara lain, kerjakan saja. Kalau rasa lelah diikuti, bisa-bisa kita tak makan),” katanya tegar.
Sayangnya, walaupun bekerja keras ia mengumpulkan sampah, uang yang bisa didapatkan Juita tidaklah seberapa.
Kata Juita, bisanya ia mengumpulkan sampah dulu selama seminggu. Nanti baru dijual ke pengumpul sampah. Tiap minggu rata-rata ia cuma peroleh uang tak lebih dari Rp70 ribu. Empat minggu, jika sedang beruntung bisalah Rp350 ribu
Di zaman sekarang apalah yang bisa didapatkan dengan uang sedikit itu. Untuk makan saja masih untung cukup. Itu pun harus dihemat super hemat. Apalagi harus disisihkan pula untuk biaya sekolah anaknya, juga untuk biaya obat abangnya yang sakit. Juita sudah sejak lama kelabakan karena penghasilan yang sangat tak seberapa itu. Berhutang kiri kanan pun sudah sejak lama ia lakoni.
Juita bercerita sebenarnya ingin pekerjaan lain. Tapi di zaman sekarang dengan hanya berbekal ijazah SD apalah pekerjaan yang bisa ia lakukan. Alhasil bertahun-tahun ia tak pernah lepas dari pekerjaan sebagai pemulung.
Kesulitan hidup Juita juga amat terlihat dari tempat tinggalnya di Parak Gadang Timur, Padang. Rumah itu ukurannya paling hanya 3 x 3 meter. Dindingnya dari kayu beratapkan seng. Di ruang tamu tak ada perabotan, bahkan sekadar kursi untuk duduk pun tak ada. Jika ada tamu, Juita hanya mempersilahkan para tetamu itu duduk berlesehan di karpet plastik seadanya. Intip pulalah ke dapurnya. Hanya ada tungku berbahan bakar kayu untuk memasak. Kompor pun ia tak punya.
Kata Juita, ia tak memimpikan rumah yang layak. Mimpinya hanyalah menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi. Untuk mewujudkan mimpi itu, Juita tahu benar, tak mungkin bisa diwujudkan dengan hanya memulung.
Juita sebenarnya ingin membuka usaha. Cukup usaha kecil-kecilan saja. Ia ingin membuka warung dan menjual kebutuhan rumah tangga, makanan dan sayuran.
“Modalnya yang tak ada,” kata Juita.
Jika ada, Juita bisa membayangkan akan cukup uang untuk disisihkan demi sekolah anak satu-satunya. (*)
Bagi perempuan paruh baya ini, ditinggalkan suami dan anak memang tak terkira letihnya, letih perasaan, letih raga.
Tapi bukan Juita namanya jika berputus asa. Walau susah benar ia rasakan hidup, Juita bersumpah tak akan menyerah. Ia ingin anaknya yang tinggal semata wayang itu menjadi orang sukses. Juita tak ingin hidupnya yang melarat dialami pula oleh sang anak. Untuk itu, ia bertekad sekeras apapun harus membanting tulang. Pendidikan anak tak boleh putus, tak boleh pula dihancurkan penyakit.
Dengan tekadnya itulah Juita menguatkan diri menjalani hidup. Saban hari, mulai pagi hingga senja hari ia berjalan kaki, menyusuri jalanan Kota Padang mengais sampah. Ia mengumpulkan sampah-sampah yang kiranya bisa dijual untuk uang makan, biaya pendidikan anak dan obat abang kandungnya.
Saat ditanyakan apakah lelah. Juita menguat-nguatkan diri. “Karajoan se. Kalau latiah dipaturuikan ndak makan awak dek nyo (tak ada cara lain, kerjakan saja. Kalau rasa lelah diikuti, bisa-bisa kita tak makan),” katanya tegar.
Sayangnya, walaupun bekerja keras ia mengumpulkan sampah, uang yang bisa didapatkan Juita tidaklah seberapa.
Kata Juita, bisanya ia mengumpulkan sampah dulu selama seminggu. Nanti baru dijual ke pengumpul sampah. Tiap minggu rata-rata ia cuma peroleh uang tak lebih dari Rp70 ribu. Empat minggu, jika sedang beruntung bisalah Rp350 ribu
Di zaman sekarang apalah yang bisa didapatkan dengan uang sedikit itu. Untuk makan saja masih untung cukup. Itu pun harus dihemat super hemat. Apalagi harus disisihkan pula untuk biaya sekolah anaknya, juga untuk biaya obat abangnya yang sakit. Juita sudah sejak lama kelabakan karena penghasilan yang sangat tak seberapa itu. Berhutang kiri kanan pun sudah sejak lama ia lakoni.
Juita bercerita sebenarnya ingin pekerjaan lain. Tapi di zaman sekarang dengan hanya berbekal ijazah SD apalah pekerjaan yang bisa ia lakukan. Alhasil bertahun-tahun ia tak pernah lepas dari pekerjaan sebagai pemulung.
Kesulitan hidup Juita juga amat terlihat dari tempat tinggalnya di Parak Gadang Timur, Padang. Rumah itu ukurannya paling hanya 3 x 3 meter. Dindingnya dari kayu beratapkan seng. Di ruang tamu tak ada perabotan, bahkan sekadar kursi untuk duduk pun tak ada. Jika ada tamu, Juita hanya mempersilahkan para tetamu itu duduk berlesehan di karpet plastik seadanya. Intip pulalah ke dapurnya. Hanya ada tungku berbahan bakar kayu untuk memasak. Kompor pun ia tak punya.
Kata Juita, ia tak memimpikan rumah yang layak. Mimpinya hanyalah menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi. Untuk mewujudkan mimpi itu, Juita tahu benar, tak mungkin bisa diwujudkan dengan hanya memulung.
Juita sebenarnya ingin membuka usaha. Cukup usaha kecil-kecilan saja. Ia ingin membuka warung dan menjual kebutuhan rumah tangga, makanan dan sayuran.
“Modalnya yang tak ada,” kata Juita.
Jika ada, Juita bisa membayangkan akan cukup uang untuk disisihkan demi sekolah anak satu-satunya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar