Featured Video

Sabtu, 22 Desember 2012

Pengembang Lokal Jadi Rebutan



 Bagi penggila game, Assassin's Creed tentu tak terdengar asing. Game yang mengisahkan petualangan Desmond Miles ini digarap Gameloft, perusahaan game dari Prancis.


Dalam dua tahun belakangan, Gameloft giat mengoperasikan studio di dalam bangunan megah tiga lantai di Jalan H.O.S Cokroaminoto, Yogyakarta. 

Awalnya, studio ini beroperasi di gedung yang lebih kecil dengan jumlah karyawan sekitar 250 orang. Namun kini jumlah pekerja di sana membengkak hingga mendekati 1.000 orang, dengan usia rata-rata 25 tahun. 

“Studio pertama sudah tidak mencukupi," kata Andri Wardhana, Human Resources Development Manager Gameloft Indonesia, Kamis lalu. Yogyakarta dipilih lantaran memiliki banyak tenaga kerja yang memiliki kemampuan meracik game.

Dalam setahun, studio Gameloft memproduksi empat-lima judul game untuk peranti mobile, yakni telepon seluler dan tablet. Studio ini pernah menggarap game berbahasa Indonesia dan bercita rasa khatulistiwa, yaitu Ladang Ceria. Tema game ini mirip game populer, FarmVille.

Selama ini, Gameloft dikenal banyak mencetak game sukses, antara lain Ice Age Village—yang diunduh hingga 10 juta kali—dan Brothers in Arms 2, yang diunduh lebih dari 5 juta kali di Google Play. "Gameloft secara internasional tidak pernah lepas dari posisi 10 besar,” kata Andri.

Di Surabaya, ada perusahaan asal Jepang, Gotanda Denshi, yang merupakan perusahaan joint venture dengan pengembang game lain, yakni Square Enix. Lowongan kerja pun ditebar, mulai untuk jabatan penerjemah, system engineer, content planner, web developer, hingga desainer konten web dan grafis game. 

Untuk pengembang game, Gotanda Denshi menawarkan gaji Rp 3-5,6 juta. Syaratnya adalah pelamar harus menyandang gelar S1. Square Enix merupakan pengembang di balik game ikonik seperti serial Final Fantasy, Tomb Raider, dan Kingdom Hearts. Selain itu, pengembang ini memasarkan manga populer, antara lain Full Metal Alchemist. Gotanda Denshi memiliki tujuh studio di seluruh dunia.

Kedatangan pengembang asing ini lantas mengundang reaksi pengembang lokal. “Kedatangan pemain asing besar dapat meningkatkan gairah di industri game kita,” kata Fajar Persada Supandi, pendiri Lentera Nusantara, yang berbasis di Bandung.

Pendapat lebih kritis dilontarkan Direktur Anantarupa, Ivan Chen. Menurut dia, pengembang game di Indonesia jangan hanya bekerja sebagai kuli di perusahaan asing. “Harus ada transfer ilmu,” katanya.

Ivan mengaku bingung terhadap sikap pemerintah, yang mudah mengizinkan pihak asing masuk. “Berbeda dengan pemerintah Taiwan, yang menerapkan proteksi ketat untuk melindungi aset mereka,” katanya.

Aset bangsa Indonesia, Ivan memaparkan, bukan hanya tenaga kerja, tapi juga produk budaya. “Ada ribuan suku dengan kultur dan legenda masing-masing, berbeda dengan Jepang atau Korea yang cenderung monokultural,” kata dia. Hal ini merupakan surga ide game yang menggiurkan.

Ivan berharap pemerintah membentuk forum antarkementerian yang terkait dengan pelaku industri kreatif untuk membahas langkah strategis dalam memajukan pengembang lokal. “Kalau tidak, pengembang kita akan banyak tergerus atau cuma jadi outsource bagi pemain asing,” ujarnya.



s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar