Setelah 7 tahun melanjutkan perjuangan orang tuanya merevitalitasi motif songket kuno di Minangkabau, mengantarkan Nanda Wirawan raih penghargaan dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) dalam kategori Award Of Exellence for Handycraf.
Penghargaan itu diberikan pada satu karya yang bermotifkan Saluak Laka, sehelai seledang tersebut dibuat dengan motif kuno yang didapatkan di Halaban, Limapuluh Kota. Lalau pembuatan motifnya memakan waktu hingga 1,5 tahun serta proses menenun selama 4 bulan. Bahkan, pembuatan motif terhenti setelah ayah Nanda, Alda Wimar meninggal. Baru kemudian dilanjutkan oleh suaminya, Iswandi.
“Saluak Laka ini dibuat atas nama cinta,” sebut Nanda kemarin.
Nanda adalah pengelola Studio Songket ErikaRianti, Nagari Batu Taba, Kecamatan Ampek Angkek, Agam, studio peninggalan orang tuanya yang didirikan sejak tahun 2000 lalu. Nanda bukan memiliki latar belakang ilmu budaya, melain seorang jebolan teknik lingkungan Unand tahun 2006.
Motif songket kuno Minang kabau terancam punah. Tidak ada lagi perajin tenun songket yang membuat motif lama. Yang ada justru hanyut dengan songket hasil garmen luar negeri.
Untuk itu, Studi Songket ErikaRianti berupaya untuk merevitalisasi motif-motif songket kuno di Minangkabau. Proses revitalisasi itu tidak belangsung singkat, justru melalui perjuangan berburu motif dari pelosok negeri kuno Minangkabau, Pariangan sampai ke Museum Leiden, Belanda.
Adalah ayah Nanda, almarhum Alda Wimar yang mendirikan Studio Songket Erika Rianti. Dari berbagai koleksi foto, kemudian ditata kembali menjadi motif yang ditenun jadi satu kain songket yang halus nan menawan.
“Jika tidak ada lembaga yang memperhatikan songket ini, kita cemaskan songket akan punah. Apalagi pecinta koleksi songket makin hari makin banyak,” sebut Nanda.
Nanda berniat akan terus mempopulerkan songket Minangkabau di seluruh dunia, terutama untuk revitalisasi motif kuno. Saat ini rata-rata museum di Indonesia sudah mengoleksi motif songket kuno hasil revitalisasi Studio Songket ErikaRianti.
“Alhamdulilah semua museum di Indonesia sudah ada hasil tenun kami,” ujarnya.
Bahkan, hasil tenun Studio Songket ErikaRianti sudah banyak mendapatkan pesanan dari negeri jiran, Malaysia, Singapura dan Thailand.
Dari 2006 hingga sekarang baru sekitar 180 kain yang dapat diproduksi. Itupun lebih banyak untuk museum. Karena tinggi biaya produksi, songket hasil tenun studio ini terbilang eksklusif, harganya dari Rp2,5 juta hingga Rp25 juta.
“Saat ini kami sudah investasikan sekitar Rp1 miliar, itu baru sampai menutupi operasional. Belum ada kita dapat untung,” timpal Iswandi menambahkan.
“Saluak Laka ini dibuat atas nama cinta,” sebut Nanda kemarin.
Nanda adalah pengelola Studio Songket ErikaRianti, Nagari Batu Taba, Kecamatan Ampek Angkek, Agam, studio peninggalan orang tuanya yang didirikan sejak tahun 2000 lalu. Nanda bukan memiliki latar belakang ilmu budaya, melain seorang jebolan teknik lingkungan Unand tahun 2006.
Motif songket kuno Minang kabau terancam punah. Tidak ada lagi perajin tenun songket yang membuat motif lama. Yang ada justru hanyut dengan songket hasil garmen luar negeri.
Untuk itu, Studi Songket ErikaRianti berupaya untuk merevitalisasi motif-motif songket kuno di Minangkabau. Proses revitalisasi itu tidak belangsung singkat, justru melalui perjuangan berburu motif dari pelosok negeri kuno Minangkabau, Pariangan sampai ke Museum Leiden, Belanda.
Adalah ayah Nanda, almarhum Alda Wimar yang mendirikan Studio Songket Erika Rianti. Dari berbagai koleksi foto, kemudian ditata kembali menjadi motif yang ditenun jadi satu kain songket yang halus nan menawan.
“Jika tidak ada lembaga yang memperhatikan songket ini, kita cemaskan songket akan punah. Apalagi pecinta koleksi songket makin hari makin banyak,” sebut Nanda.
Nanda berniat akan terus mempopulerkan songket Minangkabau di seluruh dunia, terutama untuk revitalisasi motif kuno. Saat ini rata-rata museum di Indonesia sudah mengoleksi motif songket kuno hasil revitalisasi Studio Songket ErikaRianti.
“Alhamdulilah semua museum di Indonesia sudah ada hasil tenun kami,” ujarnya.
Bahkan, hasil tenun Studio Songket ErikaRianti sudah banyak mendapatkan pesanan dari negeri jiran, Malaysia, Singapura dan Thailand.
Dari 2006 hingga sekarang baru sekitar 180 kain yang dapat diproduksi. Itupun lebih banyak untuk museum. Karena tinggi biaya produksi, songket hasil tenun studio ini terbilang eksklusif, harganya dari Rp2,5 juta hingga Rp25 juta.
“Saat ini kami sudah investasikan sekitar Rp1 miliar, itu baru sampai menutupi operasional. Belum ada kita dapat untung,” timpal Iswandi menambahkan.
Mafia perdagangan
Mendapatkan penghargaan itu, Studio Songket Erika Rianti juga mendapat apresiasi dari Ketua Dekranasda Sumbar, Hj. Nevi Irwan Prayitno. Menurutnya, sebagai wadah dalam penyaluran hilir dan hulu hasil karya tenun Minangkabau, Dekranasda tetap berupaya menyalurkan keinginan pengrajin.
“Kita tidak saja mencoba mencari ruang pasarnya, akan tetapi juga menyiapkan bahan baku yang murah, bisa terjangkau oleh masyarakat, sehingga produktifitasnya akan dapat lestari berkembang dengan baik,” sebut Nevi.
Namun terkait dengan pengadaan bahan baku yang spesifik pengrajin lokal, seperti benang emas dari Prancis, Dekranasda mengalami kesulitan. Karena sejumlah mafia perdagangan tetap memainkan sejumlah bahan baku, terutama benang.
“Ada keinginan kita untuk membantu pengadaan bahan baku, karena ini benang kita selalu terbentur mafia perdagangan,” ujarnya.
Meski begitu dia tetap akan memfasilitasi agar pengemba ngan songket tradisional Minang kabau tetap bertahan.
Mendapatkan penghargaan itu, Studio Songket Erika Rianti juga mendapat apresiasi dari Ketua Dekranasda Sumbar, Hj. Nevi Irwan Prayitno. Menurutnya, sebagai wadah dalam penyaluran hilir dan hulu hasil karya tenun Minangkabau, Dekranasda tetap berupaya menyalurkan keinginan pengrajin.
“Kita tidak saja mencoba mencari ruang pasarnya, akan tetapi juga menyiapkan bahan baku yang murah, bisa terjangkau oleh masyarakat, sehingga produktifitasnya akan dapat lestari berkembang dengan baik,” sebut Nevi.
Namun terkait dengan pengadaan bahan baku yang spesifik pengrajin lokal, seperti benang emas dari Prancis, Dekranasda mengalami kesulitan. Karena sejumlah mafia perdagangan tetap memainkan sejumlah bahan baku, terutama benang.
“Ada keinginan kita untuk membantu pengadaan bahan baku, karena ini benang kita selalu terbentur mafia perdagangan,” ujarnya.
Meski begitu dia tetap akan memfasilitasi agar pengemba ngan songket tradisional Minang kabau tetap bertahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar