Featured Video

Senin, 15 April 2013

PEMANEN KABUT HASILKAN AIR


Kekeringan dalam jangka panjang menjadikan krisis air semakin meningkat. Kondisi ini tidak hanya terjadi di wilayah Indonesia timur saja, tetapi juga di berbagai daerah Indonesia lainnya terutama saat musim kemarau tiba, termasuk di daerah dataran tinggi. Salah satunya seperti yang terjadi di Dusun Ngoho, Desa Kemitir, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Ketika musim kemarau tiba, sumur-sumur warga dusun terluar dari Kabupaten Semarang yang berbatasan langsung dengan Kabu­paten Te­manggung ini dapat dipas­tikan tidak mengeluarkan air, bah­kan mengering.
Sementara dari ha­sil penelitian yang pernah dilaku­kan Badan Geologi Jawa Tengah, untuk mengatasi kekeringan dengan mem­buat sumur artesis sedalam 200 meter. Sayangnya, hal tersebut ti­dak membuahkan hasil sehingga ma­syarakat masih harus ber­su­sah payah men­dapatkan mendapatkan air un­tuk memenuhi ke­bu­­tuhan ru­mah tang­ga mau­pun per­tanian.
Sementara di sisi lain, Dusun Ngoho yang berada di dataran tinggi Unga­ran ini memiliki potensi kabut yang cukup tinggi yang sebenarnya bisa digunakan untuk mengurangi krisis air di wilayah tersebut. Kabut hampir setiap harinya muncul meskipun di saat kemarau. Hanya saja potensi yang ada belum diman­faatkan karena kendala teknologi.
Melihat kenyataan tersebut, sejum­lah mahasiswa Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan UGM yang terdiri dari Aditya Riski Taufani, Puji Utomo, Taufiq Ilham Maulana, dan Musofa tergerak untuk mem­bantu mengatasi masa­lah krisis air yang melanda warga Dusun Ngoho dengan menerapkan teknologi pemanen kabut.
Teknologi yang diterapkan dapat digunakan untuk menangkap dan mengumpulkan air dalam kabut sehingga bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. “Melalui teknologi ini diharapkan dapat mengatasi kekeringan di musim kemarau yang terjadi di Dusun Ngoho,” kata Aditya, ketua tim pengembang pemanen kabut di Kampus UGM, Kamis (11/4).
Pengembangan teknologi pema­nen kabut lahir dari Progam Kreati­fitas Mahasiswa (PKM) bidang Penelitian 2013 yang didanai oleh Dikti. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Fatchan Nurrochmad, M.Agr., mereka pun memulai mengem­bangkan teknologi pemanen kabut sejak bulan Februari lalu.
Aditya menuturkan teknologi pemanen kabut yang dikembangkan sangat sederhana. Hanya berbentuk jaring dari poliprofilen berbahan palastik yang ditopang dengan dua tiang penyangga. Alat pemanen kabut ini bekerja secara manual sebagi penjerat atau penangkap kabut. Kabut di udara yang tertang­kap jaring kemudian dialirkan melalui paralon yang selanjutnya ditampung dalam jerigen. “ Alat yang kami kembangkan ini cukup sederhana dan sangat ekonomis sehingga sangat memungkinkan diproduksi masyarakat secara massal,” ujarnya.
Ditambahkan Puji Utomo, dari hasil penelitian yang dilakukan sejak Februari silam, dari 1 buah insta­lasi pemanen kabut bisa diperoleh seitar 1,5 hingga 3 liter air setiap harinya. Sementara sampai saat ini Puji dan kawan-kawan baru memasang dua instalasi pemanen kabut sebagai pilot project untuk menentukan seberapa besar debit air yang bisa dikumpulkan setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kendati begitu, ia tetap optimis kedepan jika sudah banyak terpa­sang instalasi pemanen kabut, air yang didapat bisa dipakai untuk mencukupi kebutuhan warga setem­pat.
Kedepan, empat sekawan ini berencana mengembangkan tekno­logi pemanen kabut dengan meng­gunakan mesin. Mesin diman­faatkan untuk menyedot kabut yang ada sehingga diharapkan bisa dapat mengumpulkan kabut dalam jum­lah yang lebih besar, tidak seperti saat menangkap kabut secara manual. “Kedepan kami berencana menggu­nakan mesin untuk menyedot kabut sehingga tidak lagi tergantung pada kabut yang lewat jaring saja,” jelas Puji.

s


Tidak ada komentar:

Posting Komentar