Featured Video

Sabtu, 18 Juni 2011

BILA IBU TAK BAHAGIA

Ditulis oleh Teguh Judul di atas adalah peng­galan dari peribahasa yang tumbuh di negeri Inggris masa silam. Selengkapnya berbunyi seperti ini: bila ibu tak bahagia, tak seorang pun bahagia. Tam­paknya ibu di masa itu adalah jangkar utama kehidupan ru­mah tangga di Inggris.
Kenapa tak bahagia?

Bagaimana jika pepatah itu diterapkan pada kehidupan masa kini, saat jangkar kehi­dupan rumah tangga tak lagi dikendalikan oleh seorang ibu karena sang ibu ini adalah wanita karir, yang berangkat kerja di pagi hari dan pulang ke rumah di malam hari? Masihkan berlaku pepatah itu untuk keluarga dengan status seorang ibu sebagai single parent? Apakah anak-anak di rumah akan ikut tak bahagia jika ibu yang sering di luar rumah itu dalam suasana hati yang tak bahagia? Kalau anak-anak di rumah terbiasa diasuh oleh “babby sitter”, dampaknya mungkin berkurang tapi tetap saja suasana hati sang ibu akan tercium oleh anak-anak dan suami.
Kini saatnya menyorot faktor kenapa ibu—atau ma­nusia pada umumnya—tak bahagia? Apa penyebabnya? Banyak teori yang bisa men­jawab pertanyaan atau masalah klasik ini. Jawaban paling tua diberikan filsuf kuno yang bernama Epictetus, yang hidup seputar abad awal, yakni tahun 50-135. Dia bilang: manusia tak bahagia bukan karena faktor luar tapi faktor dalam. Penda­pat Epictetus ini dijustifikasi oleh Marcus Aurellius, yang hidup setelahnya yakni tahun 121-180.
Aurellius berujar: jika kau terluka oleh faktor eksternal, itu bukan karena faktor ekster­nal itu sendiri tapi karena penilaianmu terhadap faktor luar itu. Kekuatanmulah yang dapat menyingkirkan penilai­anmu itu. Aurellius menam­bahkan, “Keputusan kita me­nya­lahkan peristiwa atau orang lain itulah yang menyebabkan ketakbahagiaan ini. Menyalah­kan faktor luar merupakan bentuk menghindari tanggung jawab diri.”
Mari kita terapkan kedua pendapat itu pada ketak­baha­giaan seorang ibu yang disebab­kan suaminya seorang pema­buk. Salahkah sang ibu jika dia menilai bahwa faktor ketakba­hagiaannya adalah ulah sang suami yang pulang ke rumah di malam hari dalam keadaan sempoyongan?
Menurut Epictetus maupun Aurellius, jelas bahwa ibu itu tak bisa menyalahkan sang suami yang suka mabuk sebagai penyebab ketakbahagiaannya. Sepintas pendapat dua filsuf itu terasa absurd. Bagaimana dia bisa menyalahkan seorang ibu yang menuduh suaminya sebagai penyebab ketak­baha­giaan?
Kedua filsuf itu tampaknya tak bisa menjadikan peristiwa mabuk sebagai tonggak awal kehidupan rumah tangga. Fak­tor penyebab suami yang suka mabuk itu bisa dipertanyakan. Kenapa dia jadi pemabuk? Sejauh mana peran sang istri mendampinginya dalam bah­tera rumah tangga sehingga dia tak sanggup membawa sang suami menghindari minuman keras? Kahlil Gibran bahkan pernah mengatakan: dalam peristiwa pembunuhan, korban pun punya andil atas terjadinya peristiwa naas itu. Jadi, istri pun punya andil atas berlang­sungnya periswiwa mabuk sang suami.
Tentu banyak variabel yang terlibat dalam peristiwa mabuk­nya seorang suami. Dan sedikit atau banyak, seorang istri boleh jadi punya andil dalam peris­tiwa tak mengenakkan itu. Epictetus dan Aurellius agaknya ingin bahwa sang istri ikut bertanggung jawab atas kebia­saan suaminya yang suka mabuk-mabukan. Dengan demikian, ketakbahagiaan yang dirasakan sang istri itu tidak semata-mata karena faktor eksternal.
Dalam dunia orang-orang yang mengutamakan kehidu­pan rohaniah ketimbang jasma­niah, teori kebahagiaan internal itu telah teruji lewat ilustrasi komparatif berikut. Ada seo­rang miskin yang kurang pangan dan setiap merasa lapar selalu menyum­pah serapah. Semen­tara tetangganya adalah seorang rohaniwan yang sepanjang hidupnya (tentu sejak dia memutuskan hidup asketik) lebih banyak diisi dengan berpuasa.
Sang tokoh ini sebetulnya sering kelaparan, tapi menghayati rasa laparnya itu sebagai bagian dari keu­tamaan dalam hidup. Lapar bagi dia bukan menda­tang­kan ketakbahagiaan seperti si miskin tetangganya tapi malah sumber kebahagiaan karena itulah kebajikan yang mende­katkannya pada dunia yang immaterial.(h/mulyo sunyoto/ant)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar