Featured Video

Sabtu, 18 Juni 2011

MENJADI “MANUSIA” DALAM FILOSOFIS MINANGKABAU-Haluan Padang


Ditulis oleh Teguh   
Minggu, 23 Januari 2011 00:38
Mengapa saya ada, dan mengapa saya jadi manusia?
Pertanyaan di atas sangat   filosofis karena menelusuri hakikat manusia itu sendiri. Tidak bisa tidak jawabannya terbatas pada sisi keberadaan jasmaniah saja, melainkan butuh pemaknaan kontekstual akan sisi batiniyah yaitu manusia akan menjadi “manusia” apabila ia berada dalam lingkaran kemanusiaan-ilahi atau di balikkeilahian-manusiawi. Artinya, manusia ini memiliki pandangan yang terbuka dan yang paling penting adalah karena alam ini selalu mengalami perubahan-perubahan,  misalnya musibah banjir, gempa, tsunami dan lain sebagainya, maka harus dianggap mengandung nilai (hikmah).

Konsep menjadi “manusia” ini hakikatnya telah termaktub melalui filosofi orang Minangkabau yaitu duduak marauik ranjau, tagak mamandang arah (duduk meraut ranjau, berdiri memandang arah), yang artinya memperhatikan apa yang di sekelilingnya; kemudian diambil manfaat atau hikmahnya ke depan dalam rangka menuju manusia yang kreatif, positif, punya harga diri dan tahu akan keterbatasan dirinya dari Penciptanya. Tuhan selaku pemilik sah jagad raya ini, merasa resah, geli dan muak karena hamba-hambanya yang tidak peduli lagi akan pencarian hikmah atau pemaknaan hidup terhadap bencana alam yang selama ini telah dihunuskan Tuhan.
Bencana yang berketerusan ini harus menjadi sebuah temuan akan makna hidup bagi manusia, karena kita telah mengalaminya secara nyata. Selama ini, seolah-olah kita masih tetap berada dalam pemahaman jasmaniah. Unsur rohaniah yang ada dalam diri manusia sempat terkucilkan dalam pertarungan duniawi. Maka tidak heran, bencana sering menerpa dan meluluhlantakkan Indonesia yang mengaku bangsa religius. Mungkin inilah yang dimaksud ST Alisyahbana seorang filsuf Indonesia, bahwa manusia yang hanya peduli dengan kejasmaniannya, berujung pada sifat seperti binatang atau lebih parah dari pada binatang.
Sebaliknya, manusia yang memainkan potensi rohaniahnya, dia bisa menjadi pribadi yang bersih seperti halnya malaikat. Dengan kata lain, manusia yang memiliki hati bersih atau telah menjadi ’manusia”, dengan terpaan bencana selama ini dia bisa mengambil pelajaran untuk memperoleh makna hidup. Karena hidup bagi orang yang “manusia” ini adalah hidup yang tidak hanya mencipta sesuatu atau menikmati suatu hal, melainkan mengevaluasi terhadap bencana.
Sebuah harapan, berbagai macam bencana ini menjadikan manusia sadar akan dirinya sebagai makhluk yang belum menjadi “manusia” seutuhnya, serta tidak menjadi apatis yang akan membuatnya jauh dari keridhaan Pencipta. Bencana ini harus membuat kita lebih dewasa dan semakin kuat untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Sangat penting bagi bangsa Indonesia untuk membaca dan memberi makna terhadap bencana ini. Hal ini akan terlihat pada sikap manusia, bagaimana ia menghadapi penderitaan yang penuh kompleksitas ini.
Sikap yang mengedepankan peduli memelihara alam ini secara baik (sifat jasmaniah, dan sains-ilmiah) serta sadar akan dirinya bertuhan (sifat rohaniah, dan teologis), akan membuka tabir menuju hidup yang lebih bermakna.
Mudah-mudahan bencana-bencana ini akhir dari rentetan musibah-musibah sebelumnya, dan dengan bencana ini membuat kita lebih “hidup” atau menjadi manusia yang arif dan bijak sebagai bagian dari alam jagad ini.

Riki Saputra
(Mahasiswa Program Doktor Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar