Featured Video

Sabtu, 18 Juni 2011

TIDAK SEMUA PENGHUNI LAPAS PENJAHAT-Haluan padang

Ditulis oleh Teguh   Tidak semua penghuni bui atau lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan (rutan) adalah penjahat. Mereka ada yang menjadi korban kriminalisasi dan ada juga yang melakukan tindak kriminal karena terdesak untuk memenuhi kebutuhan kehidupan keluarganya.

Penegasan itu disampaikan berulang-ulang kali pada ba­nyak kesempatan oleh Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Terakhir saat melakukan kunjungan kerja ke Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim), Jum’at pekan lalu (25/3).
Politisi dari PAN itu mengi­sahkan, sejak dirinya dipercayai oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Menteri Hukum dan HAM pada Kabinet Indonesia Ber­satu (KIB) II, dia telah me­ngun­jungi lebih dari 100 lapas dan rutan.
Dari hasil kunjungan ke lapas dan rutan itu terungkap bahwa tidak semua penghuni lapas dan rutan adalah pen­jahat. Ada yang ditahan hanya gara-gara karena melakukan tindak kriminal ringan yang seharusnya bisa diselesaikan di luar pengadilan dan ada pula yang masuk penjara karena kriminalisasi, yaitu perkara perdata dijadikan pidana.
“Tidak semua penghuni lapas dan rutan itu adalah penjahat. Ada yang disebabkan faktor sosial, kehidupan yang tidak menentu, anak-anak yang terlunta-lunta, fakir miskin. Ada pula karena ulah oknum yang mudah memasukan orang ke penjara. Ada pula yang masuk lapas dan rutan hanya karena kriminalisasi. Banyak pula yang seharusnya sudah keluar tapi bisa keluar karena ulah oknum Lapas,” ungkap Patrialis Akbar dengan nada miris.
Belum lagi kata Patrialis, anak-anak yang seharus men­dapat pendidikan dan bim­bingan serta kasih sayang dari orang tua juga harus mende­kam dalam sel hanya gara-gara melakukan kenakalan dan tindak kriminal ringan.
Akibat semuanya itu, ham­pir semua lapas dan rutan menjadi over kapasitas. Ada yang over kapasitas mencapai 200 persen dan bahkan lebih. “Kondisi mereka di lapas dan rutan ini  betul-betul mem­prihatinkan. Jangankan untuk bisa tidur, duduk pun susah. HAM mereka untuk bisa tidur terlanggar,” ujar Patrialis dengan nada getir.
Melihat orang yang tidak semestinya dipenjara tapi harus mendekam dalam penjara, apalagi dengan jumlah yang melebih kapasitas lapas,  Patrialis Akbar merasa terenyuh dan terusik rasa kemanusiaannya, apalagi dikai­tan dengan penegak hak azasi manusia (HAM).Karena itu, ia memprakarsai untuk melaku­kan koordinasi dengan semua lembaga penegak hukum, yaitu Mahkamah Agung, kejaksaan dan kepolisian serta Kemen­terian Hukum dan HAM. Dari hasil koordinasi tersebut berha­sil dibentuk sebuah forum yang diberi nama (Mahkumjakpol) bulan Mei 2010 lalu dan untuk tingkat daerah dimplementasi­kan dengan Dilkumjakpol.
Ternyata Patrialis Akbar belum merasa “puas” dengan keberadaan forum koordinasi lembaga penegak hukum terse­but. Ia mewakili pemerintah telah menyiapkan Rancangan Undang Undang  (RUU) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai pengganti UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peng­adilan Anak dan telah dise­rahkan kepada DPR RI untuk dibahas secara bersama antara pemerintah dan DPR.
Disamping itu, pihak Ke­men­terian Hukum dan HAM juga sudah menyiapkan RUU tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan diserahkan ke DPR bulan Juni nanti. “Dua bulan lagi kita serahkan ke DPR. Kita tinggal­kan KUHP peninggalan Belan­da yang kita pakai selama ini,” ujar Patrialis, di Samarinda, Jumat pekan lalu.
Dengan kedua RUU terse­but, Patrialis Akbar optimis bisa menekan jumlah penghuni lapas dan rutan karena tidak ada lagi orang masuk penjara karena kriminalisasi, melakukan tindak kriminal ringan masuk penjara dan anak-anak dibawah umur masuk penjara.
Karena di dalam kedua RUU tersebut, disebutkan tidak semua kasus kriminal harus diselesaikan di pengadilan yang bermuara ke penjara, tapi bisa dengan menempuh Restorasi Jastis, penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, kor­ban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari penye­lesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya, dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Kemudian dalam kedua RUU itu juga memuat atau mengatur penyelesaikan perka­ra dengan sistem diversi, yaitu merupakan pengalihan penye­lesaian perkara dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Patrialis mencontohkan, jika seseorang mencuri dan tertangkap. Kemudian pelaku pencurian itu ditanya alasannya melakukan pencurian. “Kalau alasannya karena perlu uang untuk biaya pengobatan anak­nya di rumah sakit dan setelah dicek itu benar maka proses hukumnya tidak perlu dibawa ke pengadilan jika pihak korban tidak mempermasalahkan. Artinya kalau kedua belah pihak berdamai maka tidak perlu dibawa lagi ke peng­adilan,” terang Patrialis Akbar. (h/syafril amir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar