Featured Video

Sabtu, 18 Juni 2011

MUNGKINKAH KORUPSI DISELESAIKAN SECARA ADAT?


Masalah korupsi di negara kita sudah sangat memperihatinkan, menyedihkan dan memilukan. Mulai dari pejabat tinggi sampai pejabat rendah. Mulai dari pemimpin sampai rakyat. Fenomen di atas tidak bermaksud mendeskriditkan seseorang atau kelompok orang, tetapi ingin melihat fenomena tersebut secara adat.

Bila kita baca naskah kuno di Nusantara, rupanya masalah perilaku korupsi ini sudah ada juga. Bentuk korupsi berupa korupsi waktu, barang, uang, dan juga korupsi terhadap milik bersama. Korupsi waktu mi­salnya, ada saja alasan terlambat dalam membuat perjanjian yang disebut jam karet, sehingga lahir ungkapan adat janji biaso mungkie.

Konon kabarnya yang mem­buat petatah ini adalah orang Belanda yang janjinya biasa mungkir dengan rakyat Indonesia. Korupsi barang, contoh kecilnya, membawa barang milik inventaris dari kantor ke rumah.
Korupsi uang mengambil uang negara yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Korupsi terhadap milik bersama, misalnya jalan raya milik bersama diparkir mobil dalam waktu lama di tepi jalan raya tanpa izin yang berwenang dan izin masyarakat.
Jadi kalau begitu apa pe­ngertian korupsi itu secara sederhana? Korupsi  adalah mengambil milik orang banyak yang sudah jelas atau belum peruntukannya oleh seseorang atau sekelompok orang tanpa seizin orang banyak dan izin undang-undang yang berlaku yang akibatnya merugikan orang banyak dan negara. Definisi korupsi ini dise­derhanakan dari buku kitab sastra sejarah lama Nusantara. Jadi, rupanya sejak dulu ko­rupsi itu juga sudah ada. Tetapi cara, bentuk, besar, kecil, dan jenisnya mungkin  yang berbeda dengan korupsi sekarang.
Diselesaikan Secara Adat
Pertanyaanya sekarang, apakah mungkin korupsi diselesaikan secara adat? Se­belum kita menjawab per­tanyaan ini, maka boleh kita cari jawabannya pada cerita berikut ini.
Kita lihat dulu Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumangguangan dalam menetapkan undang-undang urang dalam nagari. Pertama, UU Sigaragai, kedua UU Mumbang Jatuah, katiga UU Tariak Baleh jo Tariak Baliak, dan keempat baru kemudian UU Alur jo Patuik, Patuik jo Mungkin.
Sekarang kita tidak akan menguraikan undang itu satu persatu, karena ceritanya sangat panjang. Penulis mencoba melihat UU Tariak Baleh jo Undang Tariak Baliak.
Undang Tariak Baleh ada­lah memberikan balasan yang serupa dari korban kepada orang yang melakukan per­buatan itu. Sedangkan UU Tariak Baliak adalah undang-undang apabila tertarik barang orang atau barang milik ber­sama atau milik nagari, maka ia harus mengembalikanya sebanyak barang yang diam­bilnya.
Cerita UU Tariak Baleh ini terlihat ketika Dt Parpatiah membuat undang tariak baleh. Saat itu Dt Katumangguangan pergi merantau ke negeri China mencari ilmu banyak sedikitnya di sana, sesuai dengan ajaran syara’ tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China. Sepulang Dt. Katumang­guang dari Cina undang tariak baleh yang dibuat Dt Parpatiah nan sabatang ini masih berlaku di Nagari Minangkabau.  Dt Parpatiah nan sabatang pergi menemui Dt Katumang­guangan karena sudah lama tidak berjumpa. Belum sampai naik ke rumah Dt Katu­mang­guangan, rupanya Dt Katu­mangguangan punya anjing semut cukup galak. Anjing se­mut ini menggigit Dt Parpatiah Nan Sabatang. Dt Parpatiah Nan Sabatang menuntut Dt Katu­mangguangan  agar diadili peristiwa kejadian anjing semut menggigit dirinya. Lalu Dt Katumangguangan menjawab dengan tidak panjang lebar. Sesuai dengan undang tariak baleh, maka kalau anjiang menggigit tuan Dt Parpatiah Nan Sabatang, gigit pulalah anjing semut itu. Dt Parpatiah Nan Sabatang tak sanggup menggigit anjing itu. Akhirnya undang tarik baleh dicabut di Nagari Minangkabau.
Cerita tentang kejadian dan peristiwa terhadap undang tariak baliak. Adalah adanya seseorang anak nagari me­ngambil milik orang banyak untuk memperkaya diri sendiri.
Ketika itu seseorang me­nam­bang emas yang hasilnya sangat banyak. Padahal lokasi tambang itu milik orang ba­nyak. Hitung punya hitung kalau dibawa dengan mata uang sekarang sudah diambil hasil tambang emas itu milaran rupiah. Katakan sudah hampir satu miliar hasil tambang itu diambil oleh penambang tanpa bayar pajak sesuai undang adat Ka sungai babungo tambang, ka pasie babungo ameh, ka sawah babungo ampiang, ka lauik babungo karang, ka rimbo babungo kayu, ka ateh babungo ambun, ka bawah babungo kasiak bulan, ka guo babongo ngalau.
Semua bungo atau pajak hasil alam ini dipungut oleh ninik mamak pemangku adat digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat banyak. Pertanyaannya, sekarang siapa yang memungut bungo pajak alam ninik mamak ini, maka orang atau pihak tersebut termasuk telah melakukan korupsi terhadap hak milik anak nagari di bawah kepemimpinan ninik mamak.
Sebab ninik mamak sampai sekarang belum rela atau belum setuju bungo pajak alam itu diambil alih tanpa ada kesepakatan. Ini dilakukan adalah oleh pemerintah yang diktator. Arti kata hak-hak ninik mamak sudah dirampas oleh penguasa sekarang. Sedang Belanda saja tetap membayar pajak ke ninik mamak. Artinya setiap pasir yang ditambang dan mengahasilkan emas harus bungo tambang atau pajak tambang  dibayarkan ke nagari yang dipimpinan oleh kera­patan nagari secara adat.
Ketika seseorang menga­dukan kepada kerapatan nagari tentang telah terjadi korupsi di lokasi pertambangan, banyak pendapat yang muncul. Bagai­manakah bentuk hukuman yang harus diberikan kepada seseorang? Ada yang menga­takan hukum seberat-beratnya. Ada yang mengatakan hukum seumur hidup. Ada yang me­nga­takan hukum mati, ada yang menga­takan hukum gantung, ada yang mengatakan hukum pancung.
Karena banyak pendapat tentang cara menghukum orang ini secara adat, maka Dt Katumangguangan dan Dt Parpatiah Nan Sabatang me­ngadakan rapat dengan segala pemangku adat yang didengar oleh hamba rakyat. Setelah balicak pinang bata­puang batu dalam rapat itu, maka dapat diambil kesim­pulan bahwa orang yang mengambil uang nagari dan uang rakyat ini dikenakan sanksi adat dengan: (1) Orang tersebut mengem­balikan atau membayar pajak sebanyak 1 milyar. (2) Orang tersebut membuat perku­buran­nya siap pakai. Mungkin cara ini dilihat oleh Dt Katu­mang­guangan di Negeri Cina yang disebut di China  peti mati buat korupsi. (3) Membuat surat perjanjian dihadapan keluarga bahwa jika diulang lagi perbuatan yang sama. Maka ia dihukum mati dan dikuburkan di tempat kuburan yang dibuatnya.(4) Orang tersebut harus salat Jumat berturut-turut 7 x Jumat atau selama 7 minggu untuk bergaul kembali dengan masyarakat melalui masjid dan surau.
Kelemahan
Sekarang kalau kita lihat kekuatan dan kelemahan hu­kum adat dan hukum negara ada masing-masingnya. (1) Hukum negara hanya me­ngatasi masalah dan tidak menyelesaikan masalah sedang­kan hukum nagari atau hukum adat dapat  mengatasi masalah, (2) Hukum negara tidak ba­nyak membuat orang jerah  sedangkan hukum nagari atau hukum adat dapat  membuat orang jerah (3) Hukum negara  banyak membuat orang den­dam antar orang berkesumat atau pihak  yang bertikai  sedangkan hukum nagari atau hukum adat dapat  membuat orang berdamai dan harmonis kembali, (4) Hukum negara mempunyai kekuatan hukum sedangkan hukum nagari atau hukum adat mempunyai kekua­tan moral dan etika. (5) Hu­kum negara dapat mengambil uang koruptor untuk disetor ke negara sedangkan hukum adat juga bisa mengambil uang koruptor untuk disetor ke nagari. (6) Hukum negara membuat pihak keluarga ko­ruptor menderita selama keluarganya dalam tahanan sedangkan secara adat ia tidak dihukum atau tetap diberikan hukum percobaan paling lama tiga bulan penjara dan tidak membuat keluarga koruptor menderita batin atau menderita jiwa, karena dalam hukum adat dapat mengembalikan nama baik koruptor dan keseim­bangan yang terganggu di tengah masyarakat dengan cara kuma dicuci, abu digantiak, nagari dibasuah, kampuang dibara­siakan. (7) Pertimbangan lain adalah bahwa sang koruptor mungkin dia tidak berniat seperti itu, tetapi ia mungkin atau diduga memperkaya diri orang lain atau dia ditugaskan oleh orang atau oleh pihak tertentu atau oleh partainya untuk mencari uang.
Solusinya, negara dapat menawarkan kepada pelaku korupsi, apakah hukumnya diselesaikan secara adat oleh yang bersangkutan atau disele­saikan secara hukum negara. Kalau  pelaku korupsi itu setuju dengan hukum negara, maka selesaikanlah dengan hukum negara. Sebaliknya jika pelaku korupsi ingin menyelesaikan secara adat, maka negara harus mefasilitasinya sesuai denga ketentuan adat setempat. Hara­pan kita kepada negara agar negara menghidupkan kembali peradilan adat di seluruh Indonesia. Harapan ini adalah harapan pemangku adat di seluruh Indonesia.
Mulai pertemuan pemang­ku adat se-Sumatera di Pekan­baru tahun 2007, pertemuan pemangku adat Nusantara di Bali (2007), Pertemuan Pe­mangku Adat Nusantara di Makasar (2008). Bahkan ada pernyataan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang menyatakan: “Bila negara tidak mendengarkan harapan kami, maka kami juga tidak akan mendengarkan harapan pe­merintah dan negara.”

M SAYUTI DATUAK  RAJO PANGULU
(Ketua Umum LKAAM Sumatera Barat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar