Featured Video

Jumat, 23 September 2011

ANTASARI BUKAN OTAK PEMBUNUHAN


KESAKSIAN ADIK NASRUDDIN MENGEJUTKAN
Kesaksian adik Nasruddin mengejutkan. Ia mengatakan bahwa Antasari Azhar bukan otak pelaku pembunuhan kakaknya. Karena itu, mantan Ketua KPK itu tak layak dihukum 18 tahun penjara.

JAKARTA, HALUAN — Dua saksi menguntungkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar dalam persidangan permohonan Penin­jauan Kembali (PK) yang diajukan Antasari di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (22/9).
Kesaksian adik Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnaen yang menjadi korban pembunuhan, Andi Syamsudin mengejutkan. Ia menyatakan ada orang besar di tanah air ini yang menjadi otak pembunuhan kakak­nya itu dan bukanlah Antasari Azhar. Sementara ahli forensik RSCM, dr Mun’im Idris menyam­paikan bahwa penyidik mengin­tervensi hasil visum et repertum jenazah Nasrudin Zulkarnaen.
Menurut Andi Syamsudin,  Anta­sari Azhar tidak layak dijatuhi hukuman 18 tahun penjara. “Saya yakin sekali bahwa Antasari Azhar bukanlah pelakunya,” katanya.
Kendati demikian, Andi tidak mau menyebutkan siapa orang besar yang menjadi aktor pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen itu.
Ia menyebutkan dirinya siap mengungkapkan siapa orang besar itu, jika mendapatkan jaminan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Di dalam persidangan itu, Andi juga mengaku pernah didatangi oleh tiga orang komisaris polisi setelah otopsi jenazah kakaknya di RSPAD Gatot Subroto, yang menyebutkan bahwa pembunuhan itu bermotifkan cinta segi tiga.
“Saya didatangi sekitar pukul 03.00 WIB di rumah sakit oleh tiga komisaris yang mengaku dari Polda Metro Jaya,” katanya.
Dikatakan, dirinya merasa heran dengan pernyataan tiga komisaris polisi itu yang bisa langsung menyimpulkan adanya cinta segitiga Rani Juliani.
“Saya merasa heran, mengapa mereka bisa menyimpulkan adanya cinta segitiga,” katanya.
Selain itu, ia juga mengatakan dirinya pernah ditemui oleh dua orang yang mengaku sebagai teman kakaknya itu dan siap membantu untuk mengungkapkan siapa dalang pembunuhannya.
Kedua orang itu, kata dia, menga­ku bernama Elsa dan Jeffry Sumam­pau. Dari pengakuan kedua orang itu, bahwa sebelum meninggal, almarhum pernah mengaku menda­patkan ancaman melalui pesan pendek (SMS).
“Saya penasaran dan minta di forward sms itu, tapi sampai sekarang tidak pernah diforward. Saya sampai sekarang tidak tahu apa isi sms-nya itu,” katanya.
Ia menambahkan Elsa dan Jeffry itu juga mengenalkan kepada Boya­min Saiman untuk menjadi kuasa hukumnya guna mengungkap siapa dalang pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen.
“Boyamin Saiman mengaku punya bukti sms ancaman itu, tapi sampai sekarang tidak pernah diforward,” katanya.
Bantah Intervensi
Ahli forensik RSCM, dr Mun’im Idris menyampaikan bahwa penyidik mengintervensi hasil visum et repertum jenazah Nasrudin Zulkar­naen dengan menuliskan peluru dan jenis senjatanya. Namun penyidik membantahnya.
Seorang penyidik kasus Antasari yang enggan disebutkan namanya, kepada wartawan mengakui jika pihaknya pernah menemui Mun’im terkait hasil visum tersebut. “Jadi sebenarnya, itu pertanyaan, bukan permintaan penghapusan hasil visum (tulisan peluru dan senjata),” kata penyidik itu saat ditemui wartawan di ruangannya di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (22/9).
Disampaikannya, ketika hasil visum diterima pihak penyidik, penyidik kaget karena Mun’im sudah berani menuliskan kaliber peluru dan senjatanya. Saat itu, penyidik khawatir, bila ternyata apa yang dituliskan (mengenai peluru dan senjata api) Mun’im dalam visum itu berbeda dengan penemuan penyidik di lapangan.
“Karena kan kita saat itu belum tahu senjatanya apa yang digunakan si pelaku. Senjata baru diketahui kan setelah pelakunya tertangkap dan yang menggali senjata itu kan pelakunya sendiri, bukan penyidik. Nah ini kan nanti penyidikan bisa bubar kalau saat itu Mun’im sudah menyatakan jenis senjatanya apa dan kaliber pelurunya berapa,” jelasnya.
Dijelaskan penyidik itu, alasan pihaknya mempertanyakan mengapa Mun’im menuliskan ukuran peluru dan senjata pada visum, karena Mun’im dianggap bukan ahli balistik. Menurutnya, Mun’im sebagai ahli forensik, hanya menjelaskan penye­bab kematian korban.
“Beliau (petugas labfor) mena­nyakan, ‘loh dok, bagaimana bisa menyimpulkan kaliber 38 mm jenis (senjata) S&W, ini kan belum ditemukan senjatanya?’ Lalu ditanya lagi, ‘apa dokter tidak melebihi kewenangannya, padahal untuk menentukan kaliber itu kan ada alatnya sendiri’,” kata dia.
“Kalau penyebab kematian, kepala pecah dan kemudian (men­jelaskan) kematiannya ya nggak apa-apa,” ujar dia.
Dikatakan penyidik itu, perta­nyaan penyidik dan petugas labfor itu kemudian didebat oleh Mun’im. Mun’im tetap bersikukuh untuk menuliskan ukuran peluru dan senjatanya dalam hasil visum et repertum.
“Dokter menjawab, ‘nggak bisa, itu tetap kewenangan saya, apapun itu bentuknya, masih kewenangan dokter forensik’ dia bilang gitu. ‘Sama kaya racun di tubuh’ katanya,” sambung penyidik.
Ia melanjutkan, forensic juga sempat menanyakan bagaimana Mun’im bisa mengetahui tentang jenis senjata. Lalu, dijawab Mun’im, “Pada saat itu dia bilang, ‘saya tahu, karena pernah mengikuti pendidikan dasar tentang balistik.”
Mendengar jawaban Mun’im itu, kata penyidik, petugas forensik lalu tidak menghiraukannya lagi. “Dengan jawaban itu, petugas forensik jawab, ‘oh kalau begitu ya sudah’,” tutur penyidik.
Lebih jauh, penyidik itu mengata­kan, hingga berkas penyidikan sampai ke kejaksaan, hasil kesimpulan pada visum et repertum yang dikeluarkan Mun’im tidak pernah diubah. “Jadi ya, sampai di jaksa, visum itu ya tetap seperti itu (terdapat tulisan ukuran peluru dan senjatanya),” tutup penyidik itu. Adapun, kesimpulan visum et repertum yang dikeluarkan Mun’im Idris tertanggal 30 Maret 2009 adalah sebagai berikut:
“Pada mayat laki-laki yang berumur sekitar empat puluh tahun ini didapatkan 2 (dua) buah luka tembak masuk pada sisi kepala sebelah kiri, kerusakan jaringan otak serta perdarahan dalam rongga tengkorak serta 2 (dua) butir anak peluru yang sudah tidak utuh. Sebab matinya orang ini akibat tembakan senjata api yang masuk dari sisi kepala sebelah kiri: berdasarkan sifat lukanya kedua luka tembak tersebut merupakan luka tembak jarak jauh; peluru pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri dan peluru yang kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri. Diameter kedua anak peluru tersebut sembilan millimeter dengan ulir ke kana; hal mana sesuai dengan peluru yang ditembakkan dari senjata api kaliber 0.38, tipe S&W. (h/sal/met/ant/dtn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar