Featured Video

Selasa, 20 September 2011

Membakar Pasar






KebaKAran berulang di Pasar Padang Panjang, memancing kecurigaan. Sekadar curiga, itulah yang bisa dilakukan korban dan masyarakat luas.
Mereka beralasan, ditemukan banyak kejanggalan yang dapat menyulut emosi pedagang. Selain jarak waktu terbakarnya yang dekat, kecurigaan juga disebabkan api terlihat menyebar bukan berasal dari satu titik. Kuat indikasi ada unsur kesengajaan.
Pedagang yang berdemo ke Balaikota Padang Panjang, bingung apa yang harus diperjuangkan dan siapa mesti disalahkan.
Mungkin kita masih ingat pernyataan keras Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menanggapi kebakaran Pasar Turi di Surabaya pada 2007 yang penuh dengan kejanggalan dan ditemukanya beberapa barang bukti pembakaran pasar. SBY memerintahkan Kapolri untuk menangkap siapapun pelakunya termasuk mereka yang berada di belakang layar, termasuk pejabat yang terlibat.
Kasus seperti ini sudah berulangkali terjadi dan terbakarnya pasar selalu dimulai dengan wacana pembangunan pasar. Karena itu, pedagang dan masyarakat terlanjur percaya, pasar memang sengaja dibakar. Maka kecurigaan pedagang semakin kuat, memang ada dalang di balik api.
Motif pembakaran pasar tiada lain karena di sana beredar miliaran rupiah. Kalau dibangun, maka harga jual kios per-meternya bisa lima kali lipat dari harga bangunan yang sesungguhnya.
Kecurigaan yang paling pas dialamatkan pedagang tentu saja para investor dan pejabat terkait serta kepala daerah. Merekalah yang dicurigai pula akan menangguk untung besar sementara pedagang menderita menerima “persekot api.” Setiap pasar tradisional akan diremajakan maka para pedagang harus siap-siap merogoh koceknya dalam-dalam untuk membeli kios atau paling tidak terpaksa berhutang terlilit kredit selama bertahun-tahun. Prospek pasar yang setelah diremajakan selalu akan menurun.
Ini karena investor berusaha membangun kios sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan kapasitas penduduk. Hal ini, antara lain, menjadi menyebabkan kenapa pedagang tradisional (pribumi) sulit berkembang, karena dalam jangka tertentu modal yang sudah dikumpulkan ikut terbakar.
Ketika Pasar Tanah Abang dibangun banyak menyisakan kepedihan bagi pedagang kecil dan pribumi karena kios dijual dengan harga “kapitalis”. Yang tidak punya banyak modal silakan minggir dan pengusaha dengan modal besar serta keberanian dan akses meminjam di bank akhirnya mendominasi.
Di sebuah pasar di Sumatra Barat, dengan entengnya investor menawarkan harga toko per meter Rp11 juta.
Sementara aparat pemerintah yang bekerja dengan gaji dari uang rakyat hanya menonton saja. Padahal mereka tahu persis, harga bangunan bertingkat per meter hanya sekitar Rp2,5 juta. Dapat dibayangkan berapa keuntungan yang dapat ditangguk investor. Sementara pedagang selain harus membayar dengan harga mahal juga harus menanggung bunga bank.
Maka wajar saja kalau pedagang menolak maka api bertindak, ibarat jatuh tertimpa tangga pula. Celakanya, oknum pejabat daerah, anggota DPRD dan kepala daerah yang seharusnya memihak rakyat diduga justru terlibat dalam permainan “makan-memakan,” tersebut atau paling tidak menutup mata.
Sangat sederhana menjauhkan pasar dari api ; tutup pintu masuk bagi investor. Kalau pasar harus diperluas atau dibangun bicarakan dengan rakyat dan gunakan uang rakyat (baca APBD). Atau serahkan saja pada para pedagang dengan bantuan teknis dari pemerintah. Kalau perlu pemerintah memfasilitasi pinjamkan dana tanpa bunga dari bank.
Pemerintah daerah dan DPRD harus berada di barisan rakyat ketika ada usulan dari investor untuk “membangun” pasar tradisional. Yang lebih berbahaya, ketika bersatunya investor dengan aparat pemerintah, termasuk kepala daerah untuk menggusur rakyat yang kemudian dilegalkan oleh DPRD. Inilah justru yang menjadi trend sekarang.
Karena pasar tradisional dibangun dengan uang rakyat (APBD), maka pemerintah daerah punya hak untuk mengatur termasuk mambatasi kepemilikan toko dengan tidak dapat diperjualbelikan maupun dialihtangankan pada pihak lain yang dapat memancing spekulan. Pemasukan daerah hanya retribusi yang dapat dipungut setiap bulan, karena bunga dan cicilan ke bank sudah tidak ada, maka retribusi dapat dinaikan sehingga kedua pihak diuntungkan.
Sebenarnya kalau ada kemauan pemerintah, pasar rakyat yang selama ini kotor dan sumpek bisa disulap jadi pasar moderen sekelas supermarket dan mall dengan biaya murah Caranya dengan memberi lantai keramik, menjaga kebersihan serta menata para pedagang agar tidak semrawut dan berlaku culas dalam berdagang.
Kalau ingin melihat seberapa peduli seorang pemimpin pada nasib rakyatnya maka dapat dilihat dari bagaimana cara pemimpin tersebut mengelola pasar, mengelola kepentingan orang banyak. Pasar di Solo Jawa Tengah mungkin bisa dijadikan contoh karena bersahabat dengan PKL.
Tapi harap dicatat pula, PKL di Solo tidak kareh angok. Sadar atau tidak, di daerah kita, banyak yang kareh angok dan gadang karengkang. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar