Featured Video

Sabtu, 22 Oktober 2011

MEMBEBASKAN PETANI DARI KEMISKINAN


TANGGAPAN ATAS TULISAN YOSNOFRIZAL
Tulisan Yosnofrizal yang dimuat di Harian Haluan Sabtu, 15 Oktober  2011, dengan judul “Petani dan Jerat Kemiskinan”, mendorong penulis untuk memberikan respons.

Tulisan  yang  dibuat dalam momentum  Hari Tani  itu, Yos­nof­rizal mengerucutkan pe­nyebab petani  masih berada “dalam kubangan” kemiskinan  yaitu;  masalah  minimnya  ke­pemilikan tanah dan  harga  yang  tidak menguntungkan petani.  Ending tulisan tersebut tidak memberikan secara  kon­krit langkah apa ke depan yang  dapat  diambil oleh pemerintah dan stakeholder untuk dapat melepaskan petani  dari jerat kemiskinan. Tulisan ini selain mencoba menawarkan   action ke depan yang mesti dilakukan.
Secara  teoritis,   paham klasik  menyatakan hubungan  antara  pendapatan perkapita, kemiskinan  dengan jumlah penduduk terhadap  tanah  yang  jumlahnya  tidak  mengalami peningkatan. Tokoh yang me­ngusung pendapat ini adalah Malthus dan Ricardo. Esensi Teori Klasik adalah bahwa  jumah penduduk  yang ber­tambah sementara tanah jumlah luasnya tetap  maka akan me­nga­kibatkan terjadinya tingkat  pengembalian yang semakin berkurang (di­minis­hing return). Hal ini  akan juga akan berim­plikasi  keapada  menurunnya  produksi  perkapita ( Nafziger, 1997). Inilah ke­mudian akan berakibat ke­pada kemiskinan.
Di  Indonesia kemiskinan  lebih tinggi  pada rumah tangga  petani  yang  mempunyai ukuran  tanah  yang kecil (Booth, 1989), (Chernichovsky (1984), (Sigit, 1985), Johan Haryono, (1985), Carunia Firdausy dan Tisdell (1992). Namun pendapat di atas mengundang kritik terutama berkaitan dengan mene­gasikan peran teknologi.
Artinya, di era  kemajuan teknologi yang kian cepat,  lahan yang kecil   kurang  tepat bila  dipandang sebagai faktor utama penyebab kemiskinan di ka­l­angan petani.  Bila dilihat  China, Program Reformasi Pertanian Desa (The Rural Reform) yang diluncurkan tahun 1978-1985,  mampu memberikan ke­sem­patan ke­pada  masyarakat  mis­kin desa untuk mengem­bang­kan dan  meningkatkan ke­giatan pro­duksi pertanian me­reka. Dalam program reformasi desa ini, pemerintah  mem­berikan  izin  dan tanggung­jawab ke rumah­tangga miskin desa (household) untuk mem­produktifkan tanah (natural asset). Pemberian ini ber­dasar­kan  ukuran dan jumlah  ang­gota  keluarga  yang bekerja.
Program ini telah dapat mem­bawa  pertumbuhan pro­duksi petani dan  peningkatan pendapatan terutama  pada kawasan miskin seperti Huang­huaihai di Bagian Timur Fujian ( Wang, 1994).  Tahun 1978 ter­catat angka ke­miskinan di Pe­desaan China  250 juta turun menjadi 125 juta orang  di  tahun 1985 dengan pengukuran garis kemiskinan $0.66 per-hari. Akselerasi penurunan angka kemiskinan yang cepat ini  di­kontribusi oleh  adanya  adopsi dan intervensi teknologi ke kegiatan pertanian.
Masalah di petani kita ada­lah teknologi. Petani masih mengu­nakan cara  dan me­makai metode sisuak dalam bertani. Alat-alat yang di­guna­kan petani kita sebagian besar alat-alat dan metode  yang diapply tidak memiliki ke­mam­paun produksi yang  tinggi dan proses per­tanian kita  berjalan tidak efesien alias boros waktu.
Teknologi pertanian bukan saja berkaitan dengan alat-alat tapi juga  berkaitan dengan metode. Petani kita memiliki lack dalam penguasaan metode ber­ tani. Kelemahan ini ber­kaitan dengan tingkat pen­didikan atau  training yang  diikuti. Rata-rata  petani kita  memiliki tingkat pendidikan yang rendah.  Untuk itu  di­sinilah diharapkan fungsi penyuluh pertanian di la­pangan agar dapat menguat­kan aspek pengetahuan pe­tani. Namun  kenyataan  di lapang, ada tenaga  lapangan itu yang tidak mengua­sai de­ngan baik tugas pokok dan bahkan ironisnya  ada juga  yang memiliki backg­round pendidikan yang tidak relevan dengan tugas yang diem­bannya.
Berbeda  dengani Jepang, penyuluh petanian mereka  memiliki jenjang pendidikan yang tinggi dan capable di bidang pertanian. Sehingga proses pertanian berjalan efek­tif dan memiliki skala ekonomi yang tinggi. Di jepang,  petani padi bisa memproduksi hasil yang optmal dan ber­kuali­tas.pada umumnya. Keber­hasilan petani padi di Jepang adalah dengan menerapkan sistim pemupukan bulir. Pe­mupukan bulir ini biasanya dilakukan 15-20 hari. Manfaat pemupukan bulir dapat  mem­perbanyak jumlah biji pada setiap bulir,mempertinggi per­sen­tase pemanjangan,dan me­rangsang pembesaran biji.
Ke depan aspek pening­katkan  kemampuan adopsi dan intevensi teknologi ke proses pertanian petani harus  di­tingkatkan melalui berbagai regulasi. Seperti memudahkan akses petani ke teknologi, mem­berikan subsidi alat-alat pertanian dan mengadakan paket-paket training secara priodik dan  terarah  yang langsung berdampak pada peningkatan kapasitas pro­duksi bagi petani.
Jika masalah pertama ini tidak terselesaikan dengan baik, maka berimplikasi pada harga yang tidak menguntung petani di pasar. Hal ini sebagai kon­­sekuensi logis dari lemah­nya teknologi mempengaruhi kua­litas produk. Untuk me­ning­katkan daya saing, daya tawar, kualitas hasil pertanian di­butuhkan, ke depan invonasi dan integrasi kelembagaan pertanian.
Inovasi produk merupakan suatu usaha yang dijalankan petani untuk menciptakan produk berdaya saing (ber­kaitan kualitas fisik produk) sehingga dapat menciptakan daya tawar (ber­kaitan dengan price) dalam harga. Selain itu juga perlu dilakukan Integrasi Kelembagaan.
Integrasi  Kelembagaan adalah proses di dalam prod­uksi dan distribusi  produk di­kontrol oleh kelompok pe­tani dengan tujuan agar petani tersebut menguasai pasar dan petani jadi leader. Ada tiga bentuk integrasi yang dapat di apply: pertama;  backward integrationdimana petani mensupply input ke suatu pasar atau perusahaan dalam meng­hasil­kan produk. Kedua,  for­ward integration, petani me­ngon­trol kegiatan pasca kegia­tan produksi, ketiga balanced integration, dimana menga­bungkan kedua bentuk di  atas.
Intergrasi kelembagaan usa­ha sangat penting untuk me­ning­katkan daya saing dan petani memiliki kekuatan  ko­hesi horizontal dari pelaku-pelaku usaha dari suatu segmen  dan vertical dari pelaku usaha dari segmen yang berbeda. Kasus pada petani gambir yang dikemukakan pada tulisan Yos­nofrizal akan dapat diatasi melalui integrasi kelembagaan ini. Sehingga petani  akan memiliki posisi yang kuat ketika masuk dan berhadapan dengan pasar serta akhirnya akan men­dapatkan harga  yang layak. Semoga!

ASYARI
(Staf Pengajar STAIN Bukittinggi/Peserta Program S3 Ilmu Ekonomi Unand)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar