Featured Video

Kamis, 03 November 2011

Ekspor Indonesia Dicekal 25 Negara


PADANG . Lemahnya daya ekspor Indonesia salah satunya disebabkan banyaknya tuduhan dumping terhadap para eksportir. Sebanyak 25 negara telah mencekal Indonesia dengan tuduhan 218 kasus selama 21 tahun terakhir.
TUDUHAN DUMPING
“Perusahaan kita sering dituduh merusak pasar luar negeri dengan menjual produk lebih murah dibanding harga dalam negeri (dumping). Karenanya daya ekspor kita terus melemah di mata dunia,” sebut Direktur Pengamanan Perdagangan, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI, Ernawati, usai desiminasi hambatan perdagangan luar negeri, di Padang, Rabu (2/11).
Hadir dalam deseminasi tersebut jajaran Direktorat Pengamanan Perdagangan (DPP), Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), Kepala Dinas Perindagkop dan UKM Sumbar, akademisi, serta para pelaku bisnis dan eksportir di Sumbar.
Ia mengatakan, praktik perdagangan internasional yang ditetapkan WTO atau organisasi perdagangan dunia, implementasinya belum maksimal. Hal ini terbukti dari masih banyaknya negara sesama anggota WTO yang tetap melakukan proteksi terhadap produsen atau industri dalam negerinya secara samar dengan mengangkat isu hambatan teknis perdagangan, terutama untuk produk-produk kompetitif.
Hambatan yang sering dijumpai produsen atau eksportir Indonesia selama ini trade remedies berupa tuduhan dumping, subsidi dan safeguard.
Dalam kurun waktu 21 tahun (1990-2011) Indonesia tercatat mendapat tuduhan 218 kasus dari 25 negara. Terdiri dari, dumping 175 kasus, subsidi 14 kasus, serta tindakan safeguard 29 kasus.
“Saat ini penggunaan instrumen perdagangan internasional berupa tuduhan dumping, subsidi, dan safeguard sudah banyak dilakukan oleh Negara maju maupun Negara berkembang,” katanya.
Sementara itu, dalam 5 tahun terakhir, DPP telah menangani kasus-kasus tersebut 96 kasus, yaitu, tuduhan dumping 74 kasus, subsidi 4 kasus, dan safeguard 18 kasus. Dalam penanganan kasus-kasus ini DPP terkendala oleh terlambatnya dokumen-dokumen tuduhan itu datang, sehingga untuk mengembalikan kuisionernya juga terlambat. Di samping keterbatasan penerjemah terhadap bahasa-bahasa yang digunakan dalam dokumen tersebut. Sebab, WTO mengizinkan penggunaan bahasa Negara masing-masing dalam dokumen-dokumen perdagangan.
Hambatan-hambatan dalam perdagangan luar negeri ini bila tidak ditangani, ungkap Ernawati, mengakibatkan produk ekspor Indonesia kalah bersaing dengan Negara lain. Karena pengenaan bea masuk anti dumping (BMAD), bea masuk imbalan (BMI), bea masuk tindakan pengamanan (BMTP), serta holding order dan automatic detention. Sehingga harga ekspor produk Indonesia menjadi mahal.
“Sedangkan dampak dari hambatan teknis perdagangan terjadinya pelarangan atau pemusnahan produk ekspor tersebut di negara tujuan. Juga hambatan berupa wanprestasi yang membuat nama baik eksportir Indonesia menjadi jelek, di mana kepercayaan menjadi taruhannya,” tuturnya.
Tenaga ahli Komite Anti Damping Indonesia, Binsar Nababan, menyebutkan, tuduhan dumping merupakan masalah yang selalu membayangi para eksportir. Tapi tidak banyak eksportir yang memahami apa yang disebut damping dan bagaimana penanganannya.
Dumping adalah praktek menjual barang di pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga di pasar dalam negeri atau harga normal.
Sementara itu, dalam perdagangan internasional, Sumbar tidak memiliki kasus-kasus atau trade resmedies, seperti tuduhan dumping, subsidi, dan freeguard. Karena sumbar tidak mengekspor barang industri, melainkan komoditi, di antaranya CPO, gambir, casiavera, dan sebagainya.
“Dulu sekali pernah ada kasus ekspor dari Sumbar, yaitu semen, tapi sekarang tidak ada. Namun, bukan berarti perdagangan luar negeri Sumbar bebas hambatan. Sebab, masing-masing Negara tujuan ekspor menerapkan kebijakan tertentu sebagai hambatan teknis dalam melindungi impor ke negaranya, seperti standarisasi barang-barang impor tersebut,” katanya. (*)
(singgalang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar