Featured Video

Kamis, 03 November 2011

OBSESI MENJAMAH POTENSI LAUT SUMATERA BARAT


Haluan, (14/10), menyuguhkan berita cukup menarik bahkan menggelitik bertajuk: “Menuju Sentra Kelautan dan Perikanan Terkemuka di Sumatera pada 2015”.

Dikatakan, sektor peri­kanan di Sumatera Barat memiliki peluang besar untuk dikembangkan. Potensi yang ada baik perikanan laut maupun perikanan air tawar, bila dikelola dengan optimal bakal mampu meningkatkan pere­konomian masyarakat. Soalnya, kekayaan negeri kita yang dijuluki “gimah ripah loh jinawi ini”termasuk Sumatera dan Sumatera Barat, mulai dari dasar  hingga permukaan laut tersebar memukau di dua pertiga wilayah Indonesia. Makanya, Indonesia disebut negara maritin. “Nenek moyang kita seorang pelaut.
Mari kita kembali ke khi­tah dengan menjaga plus me­ngop­timalkan potensi laut guna merajut kesejahteraan rakyat. Begitu imbauan Komandan Pangkalan Utama Angkatan Laut (Danlantamal) II Padang,  ketika dijabat Laksamana Pertama (Laksma) TNI Aswad, satu ketika. Berita yang di­hidangkan Haluan, edisi (14/10) tersebut, serta komitmen Gubernur Irwan Prayitno, untuk mengembangkan budi daya perikanan laut dan peri­kanan air tawar di daerah iniagaknya  perlu kita apresiasi dengan baik. Sebab, komitmen sang Gubernur ini, sekaligus mengingatkan kita terhadap pesan sakralitas Alquran ihwal kelautan. Soalnya, dari 6.666 ayat yang terpaut sarkastik dalam Alquran, 18 ayat di antaranya bicara soal laut dengan segala hikmah, isi dan kandunganya.
Satu di antara ayat laut tersebut, termaktub penuh zauq/getaran dalam surat An-Nahl ayat 16: “Allah-lah yang telah membentangkan lautan bagimu – supaya kamu dapat menikmati daging dan ikan-ikan segar. Bahkan dari laut juga, kamu dapat mengeluarkan berbagai perhiasan untuk kamu pakai. Kamu rancang atau kamu lihat kapal mengharungi lautan – agar kamu menggali rezki dan kurnia-Nya yang tak terhingga. Mudah-mudahan kamu menjadi hamba-Ku yang bersyukur”.
Jauh sebelum Gubernur Irwan Prayitno, Dr. Muchtar Naimketika itu menjabat anggota DPD RI, telah pula  mengajak kita di Sumatera Barat  hijrah ke laut sebagai alternatif penggalian rezki dan pen­dapatan. Ajakkan bernas dan cemerlang ini–ditulis Ketua Minangkabau Study Club itu, di Haluan, (29/4/2006). Agak­nya, ajakan/komitmen Guber­nur Irwan Prayitno dan Mu­chtar Naim ini, tidak saja menjadi sangat relevan dengan kondisi sosial objektif Sumatera Barat kini, tapi sebuah tantangan berat yang menghadang di pelupuk mata. Terutama bagi habitat eksekutif dan legislatif serta stakeholders kelautan daerah ini.
Rasanya kita sependapat dengan ajakkan/komitmen Gubernur Irwan Prayitno dan Muchtar Naim ini: “Saatnya kini kita menjamah potensi laut”. Soalnya, sumber pen­dapatan dari sektor lain tak banyak yang bisa diharapkan guna mendaya-ungkit pen­dapatan daerah. Termasuk dari hutan yang idealnya juga se­bagai sumber hidup kita dan anak cucu  kelak.
Pasalnya? Dari 120 juta hektare hutan Indonesia tak kurang dari 59 juta hektare terdegradasi den­gan ancaman pengundulan seluas 2,8 hektare tiap tahun. Kondisi runyam ini, me­nye­bab­­kan hutan kita—seperti  di­prediksi Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan: “Hanya untuk 15 tahun lagi”. Maklum, lah bagalanggang mato rang ban­yak: pe­ngrusak­kan hutan di Bumi Indonesia–tak terkecuali di Sumatera Barat hingga kini ibarat kanker sudah memuncak pada sta­dium empat.
Dan, dataran tinggi kita yang relatif subur di beberapa dearah sudah digarap dan ditanami penduduk setempat – walau dengan teknologi apa adanya. Bahkan tanah-tanah ulayat, terutama di Pasaman Barat (Pasbar); Agam; dan Sijunjung serta Dharmasraya, telah pula di­rancah dan digarap perusahaan perkebunan nasio­nal dan multi-nasional.
Terperangah dengan Potensi Kita
Pertimbangan lain sebagai “asababul wurud” agar Pem­vrop Sumatera Barat melirik potensi laut, di satu pihak pantai kita terhampar luas melebihi 1500 km, namun pada sisi lain, nelayan kita secara kuantitatif tak lebih dari 1 persen dari populasi pen­duduk Sumatera Barat terpaut angka sekitar 4,5 juta jiwa. Yang membuat banyak pihak gerah, gelisah bahkan “ta­puran­gah”, para nelayan ini pun ter­perangkap ke dalam ke­pom­pong sempit tradisio­nalisme, dan dengan alat yang tradisional pula.
Padahal, jika melaut secara  profesionalselain mem­peroleh hasil secara maksimal, para nelayan tidak lagi akan “ta­kicuah-tagak” oleh nelayan Sibolga (yang merancah sampai ke perairan Sumatera Barat). Sebab, mereka memang lebih lincah dan punya peralatan lebih lengkap dan canggih. Dan, yang tak kalah penting: tanah kita yang tertanami dan dapat ditanami tak lebih dari 5—10 persen. Akibat yang terlihat terang-benderang, penduduk cenderung urban ke kota atau merantau menyeberang laut ke negeri orang mengadu nasib dengan pelbagai gawe yang digumuli. Kebanyakkan  ber­gelut di sektor informal, bisnis kecil-kecilan atau jasa dan usaha.
Terlepas dari itu, genderang yang telah ditabuh Gubernur Irwan Prayitno dan Muchtar Naim itu, agaknya memotivasi kita untuk melirik andalan satu-satunya hijrah atau me­ngarah ke laut dengan me­nggali po­tensi­nya dari pelbagai lini. Sebut saja perikanan, pariwisata, impor–ekspor, perdagangan, pelayaran dan lalinnya. Dan, pada 2006 lalu, telah digelar ADB alias acara duduk ber­sama (raker) antar stakeholders yang ber­sangkut-paut dengan po­tensi lini kelautan tersebut.
Tak ter­kecuali para inve­stor, ahli kelautan IPB, serta Menteri Kelautan dan Per­ikanan. Untuk merealisasikan hasil raker ke ranah realita, telah pula di­rentang tali koordinasi dengan Pemrov Sumatera Barat dan pihak lain yang  bersentuhan dengan laut/kelautan.
Ketika itu, banyak pihak cukup optimis dengan program yang satu ini. Apalagi, selain rencana starategisnya (renstra) sudah ada – kerja sama dengan investor akan dirajut dengan sistem syirkah (wasyarikhum fil amwal/kerja-sama dengan sistem bagi hasil). “Dengan kerja sama syirkah itu, tidak ada lahan yang beralih tangan seperti kekeliruan yang diayun­kan Pemerintah Orde Baru selama ini. Sebut saja di Agam, Pasbar, Sijunjung dan Dhar­masraya—dimana para in­vestor, lebih memperioritaskan menggarap kebun sawit inti ketimbang plasma (milik rakyat). Sikap optimis yang bergayut di hati banyak pihak—sekitar sepuluh tahun lalu itu, boleh-boleh saja bahkan wajib hukumnya secara syar’iyah (la taiasu fi rahmatillah). Hanya saja, melacak kurenah dan kakobeh segelintir makhluk eksekutif dan juga legislatif – tak terkecuali  sebagian pejabat karir baik di level provinsi maupun di tingkat kabupaten “salaruik salamo-nangko” sepertinya belum memperlihat­kan profesionalisme dalam makna sesungguhnya. Ter­masuk pejabat di daerah pantai–seperti yang kerap disinyalir media ctak dan elektronik.
Harap mafhum! Kondisi runyam tadi justru diapungkan Gubernur Irwan Prayitno sendiri. Di era otonomi ini, kata Gubernur hanya sekitar 20 persen saja dari pejabat karir yang ada  bisa diajak berlari dalam menggapai tujuan, serta “beriya-bertiada” untuk memajukan Sumatera Barat ke depan,”. Statemen Gubernur ini dilansir surat kabar daerah berkatuntang nyaris “tiok-cecah” Masih otonomi yang kebablasan, seorang Bupati—yang wilayahnya punya laut, pada 2001 lalu, beraninya mengemas surat sakti (memo) terhadap anak buahnya agar bantuan pemberdayaan masya­rakat pantai yang dikucurkan Menteri Kelautan dan Peri­kanan dalam jumlah ratusan juta dikelola satucorporate di bawah ketiaknya.
Akibat yang tampak terang-benderang, para nelayan itu bukannya semakin cegak secara sosial ekonomi tapi kian terpuruk nyaris ke titik nadir. Kenapa? Program Menteri Kelautan dan Perikanan itu, banyak disunat di sana-sini. Sekali lagi jauh panggang dari api dalam konteks empower­ment of society yang acapkali dipidatokan dengan mulut berbuih itu.
Setali tiga uang dengan itu, ikhwan kita di habitat legislatif pun tak kalah nekadnya. Sudah bukan rahasia umum lagi, kalau tiap sebentar mereka baik di tingkat provinsi maupun di level kabupaten/kota menyeberang laut dengan dalih  studi ban­ding, kuker, turlap alias turun lapangan dan entah apa lagi terminologinya. Sudah lazim pula, setiap menyeberang laut ikut di dalamnya beberapa pejabat karir bereselonering.
Yang membuat banyak orang dan orang kebanyakan (grass root level) mengurut dada, raun-raun melintas laut itu dikemas apik pada saat masya­rakat sedang bergulat dengan  kemiskinan. Tidak saja kemis­kinan material, tapi lebih dari itu juga ke­­­mis­­kinan kultural, kemis­kinan struk­tural, kemis­kinan intelek­tual, kemiskinan moral dan bahkan mereka terbenam ke dalam kawah kemiskinan spritual (miskin tentang kemiskinan).
Selain merakit kebohongan publik dengan berbagai dalih yang didalilkan, ranah yang satu ini (termasuk sebenarnya ranah eksekutif) tidak banyak yang mampu dan mau me­lusuhkan diri dalam konteks mempelajari secara tekun aspirasi yang bardenyut dan menggeliat di tengah masyara­kat.
Akibatnya? Terus terang dan berterang-terang terus, sebutan kehormatan yang bertengger pada diri makhluk yang ber­nama wakil rakyat itu, bukan­lah kehormatan sub­stansial dan intelektual, tapi hanyalah sebuah kehormatan formal yang nota-bene beraroma semu!
Bertolak-dasar dari semua itu, obsesi besar Gubernur Irwan Prayitno dan Muchtar Naim: kiranya Sumatera Barat “hijrah” ke laut, jangan-jangan jadinya hanya sebuah angan-angan panjang tanpa bisa diaplikasikan dalam arti yang sebenarnya.
Lebih dikerucutkan lagi, jangan-jangan pula di saat Gubernur Irwan Prayitno dan Muchtar Naim sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing sudah berbenar-benar, pada saat yang sama penggawe renstra yang kerap dikatakannya: “no problem” itu justru tergelicik lagi ke dalam lorong-lorong sempit pragmatis, self orinted dan berpikir sejengkal ke depan. Ketika investor diajak bersistem syirkah menggarap laut mereka itu, pun berulah dan berganyi lagi.
Satu lagi yang membuat kita gamang, masya­rakat dan komunitas pantai seperti yang sering dikeluhkan banyak orang nyaris kehilangan harga diri. Semangat ko­mu­naliti, egaliti dan fraterniti yang dulu-dulu masih bergayut utuh di diri mereka, kini nyaris tinggal kerabang!
Khatimah! Kalau memang itu yang terjadi, maka jadilah laut sebagai anugerah Allah kepada manusia (masyarakat Sumatera Barat) seperti yang dikedepankan  di muka – tidak diapa-apakan dan tidak mem­berikan apa-apa (plus of value) terhadap Sumatera Barat kini dan nanti. Kesudahan kaji, lagu “nenek moyangku orang pe­laut”, cukup disenandungkan di tepi laut sembari meng­gumam telur katung – binatang laut. Fa’tabiru ya ulil albab.

H MARJOHAN
(Pemerhati Sosial-Keagamaan)HALUAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar