TRIBUNNEWS/DANY PERMANAPresiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, menyampaikan konferensi persnya di Istana Negara, Jakarta, Senin (8/10/2012). Dalam kesempatan tersebut Presiden menegaskan bahwa penanganan kasus Simulator SIM di Korlantas Mabes Polri, yang melibatkan Irjen (Pol) Djoko Susilo, sepenuhnya ditangani KPK, penanganan kasus penyidik KPK, Novel Baswedan, dan rencana revisi UU KPK, ditangguhkan karena waktunya tidak tepat.
Setelah mendapatdorongan dari publik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan tanggapan atas konflik Kepolisian dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pidato ini disampaikan Presiden di Istana Negara, Jakarta, Senin (8/10/2012) malam.
Sebelum berpidato, Presiden terlebih dahulu memimpin rapat pertemuan pimpinan KPK dengan Kapolri Jenderal Timur Pradopo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin.
Berikut ini adalah isi pidato lengkap tersebut.
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Saudara-saudara, seluruh rakyat Indonesia di mana pun Saudara berada,
Pada malam hari ini, saya ingin memberikan penjelasan yang hari-hari terakhir ini menjadi perhatian masyarakat luas, yaitu perbedaan pandangan ataupun perselisihan antara pihak Polri dan pihak KPK di dalam menjalankan tugas bersamanya, menegakkan hukum, utamanya memberantas korupsi, kemudian dampaknya telah sama-sama kita rasakan. Oleh karena itu, saya pandang perlu sekali lagi, untuk memberikan penjelasan pada malam hari ini.
Kita masih ingat bahwa dulu pernah ada perselisihan antara KPK dengan Polri, ketika juga ada perbedaan pendapat menyangkut Pak Susno Duadji dengan Pak Bibit dengan Pak Chandra. Dan sekarang, kalau kita simak hari-hari terakhir ini situasinya juga berkembang ke arah yang tidak sehat.
Penjelasan ini juga, saya perlukan, agar ketika saya harus kembali turun tangan, rakyat bisa mengerti mengapa saya harus melakukan langkah itu. Kita mengetahui, bahwa sebenarnya pihak Polri dan KPK berupaya untuk menyelesaikan dan mengatasi perbedaan pandangan dan perselisihan itu merujuk kepada Undang-Undang dan MoU atau Nota Kesepakatan, atau Memorandum of Understanding. Tetapi tidak bisa dicapai kesepakatan yang bulat.
Sungguhpun demikian, saya terus terang sangat berhati-hati, jika harus memasuki wilayah di mana KPK sedang bekerja. Mengapa, Saudara-saudara? Isunya pasti akan menjadi sensitif, dikira Presiden mempengaruhi KPK. Sekaligus pada kesempatan yang baik ini, saya ingin meluruskan karena sejumlah SMS yang saya terima sejak dua hari yang lalu sampai hari ini, ada yang beranggapan bahwa KPK itu di bawah Presiden, tidak. KPK adalah lembaga independen. Lima Pimpinan KPK itu dipilih oleh DPR RI. Kemudian calon-calon Pimpinan KPK itu diseleksi oleh tim seleksi yang juga independen. Ini perlu saya sampaikan supaya tidak ada salah pengertian, seolah-olah, baik Polri maupun KPK, itu di bawah koordinasi Presiden.
Saudara-saudara,
Kemarin Menteri Sekretaris Negara telah memberikan penjelasan. Penjelasan itu diperlukan, karena saya mengikuti kegaduhan di sosial media dan juga SMS yang juga masuk ke tempat saya, yang seolah-olah Presiden diam saja, tidak melakukan apa-apa terhadap dinamika yang terakhir pada minggu ini.
Saya ingin jelaskan pada malam hari ini, bahwa tanggal 5 Oktober sore hari, saya bertemu, saya memanggil Kapolri untuk saya berikan arahan berkaitan dengan upaya mengatasi perselisihan antara Polri dan KPK itu. Pertemuan itu tentu sebelum terjadinya insiden pada malam hari, 5 Oktober malam hari yang terjadi di Kantor KPK.
Setelah ada insiden, berkaitan dengan apa yang akan dilakukan oleh Polri terhadap seorang Perwira Polri yang sekarang menjadi penyidik KPK, yaitu Komisaris Polisi Novel Baswedan, maka esok harinya, hari Sabtu, 6 Oktober, saya dan para Menteri terkait juga bekerja. Waktu itu melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, saya berikan arahan agar Kapolri bisa bertemu dengan Pimpinan KPK pada hari Minggunya. Segera bertemu sehingga bisa segera mencari solusi yang baik.
Tetapi pertemuan pada hari Minggu yang saya harapkan tidak bisa dilakukan, karena para Pimpinan KPK sedang berada di luar kota. Oleh karena itulah, tadi malam, Minggu malam saya setujui, saya dukung ketika Mensesneg bertemu dengan Pimpinan KPK atas permintaan mereka, karena ada sejumlah hal yang melalui Mensesneg ingin disampaikan kepada saya.
Saya tadi pagi juga setuju atas permintaan Pimpinan KPK agar Mensesneg memfasilitasi pertemuan antara Kapolri dengan Pimpinan KPK. Dan Alhamdulillah, tadi siang, 8 Oktober 2012, saya sendiri telah bertemu dengan dua Pimpinan KPK, Saudara Abraham Samad dan Saudara Bambang Wijayanto dengan Kapolri dan didampingi oleh Mensesneg. Pertemuan harus saya katakan berjalan dengan baik dan konstruktif.
Saudara-saudara,
Dengan keseluruhan penjelasan yang ingin saya sampaikan pada malam hari ini, saya berharap Saudara-saudara kami, rakyat Indonesia benar-benar dapat memahami duduk persoalan dari permasalahan ini dan kemudian akan memahami apa kebijakan, solusi, dan tindakan lebih lanjut yang harapan saya bisa dijalankan bersama-sama oleh Kepolisian, oleh KPK dan kita semua.
Dengan pengantar itu, penjelasan ini akan saya sampaikan dengan empat agenda atau empat hal utama.
Pertama adalah saya ingin merespons apa yang disuarakan pada akhir-akhir ini, sebutlah menyangkut keinginan dan tuntutan masyarakat agar Presiden mengambil alih persoalan ini, harus saya respon.
Yang kedua, saya akan menjelaskan dan sekaligus nanti solusi apa yang harus kita tempuh, berkaitan dengan permasalahan hubungan antara Polri dengan KPK.
Yang ketiga, di kesempatan yang baik untuk menyampaikan posisi dan pendapat saya terhadap pemikiran untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang KPK.
Dan yang terakhir, saya tutup penjelasan saya pada malam hari ini dengan lima kesimpulan utama yang juga merupakan solusi dan langkah ke depan yang harus dilaksanakan.
Saudara-saudara,
Saya akan mulai dari yang pertama, kapan dan dalam hal apa, Presiden bisa melakukan intervensi dan bisa mengambil alih, sebutlah dalam proses penegakan hukum. Selama ini, saya masuk ke dalam proses penegakan hukum, manakala ada kebuntuan dalam mengatasi perbedaan dalam penegakan hukum. Peran Presiden yang lebih tepat adalah menengahi atau memediasi dan kemudian mencari solusi, agar permasalahan itu bisa diatasi.
Saya pernah menengahi dan mencarikan solusi, ketika ada perselisihan, antara lain, KPK dengan MA, dengan Mahkamah Agung, itu sekitar tahun 2006. BPK dengan Mahkamah Agung tahun 2007, KPK dengan Polri dan Kejaksaan Agung tahun 2009, tetapi Presiden tidak dapat dan tidak boleh intervensi apa yang dilakukan oleh penyidik, penuntut, dan hakim dalam proses penegakan hukum. Merekalah yang diberikan kewenangan oleh Undang-Undang dan bukan Presiden.
Hal yang sama, dalam arti tidak boleh mengintervensi kewenangan para penyidik, penuntut, dan hakim itu juga berlaku bagi para Pimpinan KPK, Kapolri, Jaksa Agung dan juga Ketua Mahkamah Agung, kecuali ada kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang.
Saudara tahu bahwa kewenangan yang diberikan oleh Konstitusi kepada Presiden ada empat. Pertama, memberikan grasi dan rehabilitasi dengan mendengarkan pertimbangan Mahkamah Agung, serta memberikan amnesti dan abolisi dengan mendengarkan pertimbangan DPR.
Keputusan saya kali ini untuk kembali menengahi dan mencari solusi menyangkut perselisihan KPK dan Polri, sebenarnya untuk yang kedua kalinya. Sedangkan saya ingat, keseluruhan perselisihan KPK dengan lembaga negara yang lain yang saya ikut memediasi dan mencarikan solusinya, ini adalah yang ketiga kalinya.
Semuanya ini menunjukan, Saudara-saudara, saya tidak pernah melakukan pembiaran atau enggan melakukan mediasi. Tetapi tentu tidak baik dan juga harus dihindari, Presiden terlalu sering melakukan campur tangan untuk urusan penegakan hukum seperti ini.
Lima tahun yang lalu, saya punya inisiatif untuk memimpin Rapat Koordinasi pemberantasan korupsi di mana KPK juga hadir, banyak yang mengritik saya, itu tidak tepat dan dianggap memasuki wilayah penegakan hukum. Empat tahun yang lalu, satu tahun kemudian, di ruangan ini, saya membuka Rapat Koordinasi antara jajaran Mahkamah Agung, jajaran Kejaksaan Agung dan jajaran Polri, kembali saya dianggap memasuki wilayah hukum yang bukan menjadi otoritas saya. Oleh karena itulah, saya harus benar-benar tepat dan proporsional, manakala harus memasuki wilayah penegakan hukum.
Sebenarnya, Saudara-saudara, jika menyangkut sinergi dan koordinasi antara Polri dengan KPK dan bahkan Kejaksaan Agung, sudah ada Undang-Undang yang mengatur, baik dalam KUHP maupun KUHAP maupun Undang-Undang tentang KPK, juga sudah ada MoU antara KPK dengan Polri dan juga Kejaksaan Agung.
Jika MoU yang ada sekarang ini kurang memadai dan kurang tegas, silakan diperbaharui, utamanya yang berkaitan dengan kewenangan penyidikan, serta dalam keadaan apa, KPK mengambil alih dan bagaimana caranya pengambilalihan itu. Semuanya tentu harus mengalir dari Undang-Undang tentang KPK yang berlaku sekarang ini.
Saudara-saudara,
Saya ingin langsung masuk pada inti permasalahan, apa yang terjadi di antara KPK dan Polri, serta solusi seperti apa yang mesti kita jalankan. Ada tiga hal. Satu, perbedaan pandangan tentang siapa yang menangani dan memproses kasus dugaan korupsi atas pengadaan simulator SIM. Itu yang pertama.
Yang kedua adalah perbedaan pandangan tentang penugasan personil penyidik yang berasal dari Polri.
Sedangkan yang ketiga, insiden tanggal 5 Oktober 2012, seputar rencana elemen Polri untuk menegakkan hukum atas seorang Perwira Polri yang diduga melakukan pelanggaran hukum di waktu yang lalu, yang saat ini yang bersangkutan bertugas di KPK.
Tiga hal itulah yang ingin saya respons dan kemudian apa solusi atau jalan keluarnya.
Pertama, solusi tentang penanganan dan proses penegakan hukum kasus simulator SIM. Saya ingin jelaskan, segera setelah ada perselisihan antara KPK dan Polri menyangkut penanganan dugaan korupsi pengadaan simulator SIM kepada saya dilaporkan oleh Kapolri, bahwa setelah dilaksanakan pertemuan antara Kapolri dengan Pimpinan KPK disepakati, bahwa Irjen Djoko Susilo ditangani KPK, sedangkan sisanya ditangani Polri. Ternyata sikap dan pernyataan KPK kepada publik tidak seperti yang dilaporkan kepada saya sebelumnya.
Itulah sebabnya pada acara buka puasa bersama di Mabes Polri, tanggal 8 Agustus 2012, ketika saya bertemu, baik Kapolri dan Pimpinan KPK waktu itu, Pak Abraham Samad, saya sampaikan kepada beliau berdua, agar sesuai dengan Undang-Undang dan MoU bisa melakukan kerja sama yang konstruktif agar penangan kasus korupsi pengadaan simulator SIM itu bisa dilaksanakan dengan efektif dan akhirnya tuntas.
Pasca pertemuan itu, saya juga menyampaikan kepada Kapolri, agar dalam pelaksanaan penuntasan penegakan hukum yang melibatkan, baik KPK maupun Polri, dilaksanakan kerja sama yang sebaik-baiknya, termasuk saling membantu satu sama lain.
Di luar yang saya lakukan itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Pak Djoko Suyanto sesuai fungsi dan tugasnya sebenarnya juga terus bekerja untuk menengahi perselisihan kedua lembaga itu.
Hal ini perlu saya jelaskan pada seluruh rakyat Indonesia, bahwa dalam menjalankan roda pemerintahan, itu ada sistem dan aturannya. Tentu tidak semua masalah langsung ditangani Presiden, ada Menteri, ada Pimpinan Lembaga Pemerintahan Non Kementerian, di daerah ada Gubernur, ada Bupati, dan Wali Kota, ada juga Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung dan sebagainya. Mereka semua juga memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
Namun, Saudara-saudara, kembali kepada isu silang pendapat antara KPK dan Polri ini, dalam perkembangannya nampaknya koordinasi dan sinkronisasi itu tidak berlangsung baik. Oleh karena itu, solusi yang kita tempuh adalah penanganan kasus dugaan korupsi yang melibatkan Irjen Djoko Susilo dan sejumlah pejabat lebih tepat ditangani oleh satu lembaga, yaitu KPK. Karena jika dalam penyidikan nantinya cukup bukti untuk dilanjutkan ke penuntutan, tentu sejumlah pejabat yang diduga melakukan korupsi itu akan dituntut bersama-sama. Ini juga sesuai dengan Undang-Undang Tentang KPK Nomor 30 Tahun 2002, khususnya pasal 50.
Sedangkan jika ada kasus yang berbeda, tetapi terkait dengan penyimpangan pengadaan barang di jajaran Polri, saya dukung untuk ditangani Polri. Kepada saya dilaporkan bahwa Kapolri juga akan melakukan penertiban terhadap semua yang dianggap menyimpang dalam pengadaan barang di jajaran Polri.
Dalam hal ini, saya berterima kasih dan menyampaikan penghargaan bahwa terhadap langkah ini, Polri memberikan dukungan penuh dan pada prinsipnya juga akan melimpahkan hasil penyidikan yang telah dilakukan sesuai mekanisme yang akan diatur kemudian. Ini menunjukkan bahwa Polri juga serius di dalam menangani kasus ini.
Saudara-saudara,
Yang kedua, menyangkut perbedaan pandangan antara Polri dan KPK berkaitan dengan penugasan Perwira Polri sebagai penyidik di KPK. Aturan yang berlaku adalah Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 Pasal 5 Ayat 3, bahwa masa penugasan pegawai negeri yang dipekerjakan pada KPK paling lama 4 tahun dan hanya dapat diperpanjang satu kali.
Sesuai dengan kebijakan Polri yang saya ketahui, penyidik itu secara berkala dilaksanakan penyegaran, agar personil yang bersangakutan bisa mengikuti pembinaan karier yang lain, seperti pendidikan, tour of duty atau alih tugas, tour of area atau alih wilayah penugasan. Yang ini juga berlaku bagi setiap Perwira jajaran Polri, apalagi Saudara-saudara, mereka yang bertugas di KPK adalah personil yang dinilai baik, tentu karier mereka harus dibina agar kelak tumbuh menjadi pimpinan-pimpinan teras di jajaran Polri. Ini kebijakan Polri.
Di pihak lain, KPK berpendapat bahwa kebijakan seperti itu membatasi KPK dan tidak baik, jika terlalu cepat dilakukan penggantian, karena akan mengganggu tugas-tugas KPK yang akan terus berjalan. Yang menjadi masalah kemudian atas dasar perbedaan itu, baik Polri dan KPK langsung menetapkan kebijakan dan langkah tindakannya sendiri, yang jelas akan saling bertentangan. Misalnya, jika memang ada keinginan untuk melakukan alih status dari Perwira Polisi menjadi penyidik KPK, dalam arti harus berhenti dari keanggotaan Polri, itu ada aturannya. Ketentuan alih status seperti ini juga berlaku di jajaran TNI dan Polri untuk penugasan yang lain, untuk kepentingan yang lain. Bahkan alih status untuk Perwira Tinggi atau Golongan VI/b ke atas perizinannya hingga tingkat Presiden.
Solusi yang perlu ditempuh adalah kita akan segera keluarkan aturan baru, bahwa penugasan personil penyidik dari Polri ke KPK diberikan waktu yang cukup, yaitu 4 tahun, bukan maksimal 4 tahun, sehingga tidak terlalu cepat berganti.
Personil yang bersangkutan bisa diperpanjang selama 4 tahun lagi, tetapi perlu dikoordinasikan dengan Kapolri, agar sesuai pula dengan pembinaan karier Perwira yang bersangkutan, misalnya pendidikan atau penugasan apa dan kemudian bisa kembali lagi ke KPK.
Tetapi jika hal demikian dianggap tetap memutus efektivitas pelaksanaan tugas KPK, maka Perwira Polri tersebut diberikan peluang untuk mengundurkan diri atau alih status, jika personil yang bersangkutan bersedia sesuai dengan aturan yang berlaku. Tidak dibenarkan KPK secara sepihak memberhentikan personil penyidik dari Polri itu, karena mereka diikat oleh aturan Undang-Undang, termasuk ikatan masa dinas, serta disiplin dan etika Kepolisian. Sebaliknya pula, Polri tidak bisa secara sepihak menarik personil penyidik KPK itu, tanpa konsultasi dan bahkan persetujuan dari KPK.
Oleh karena itu, untuk hal ini, saya akan segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang tepat, baik untuk KPK dan kemudian juga baik untuk Polri berkenaan dengan kebijakan penugasan personil Polri di KPK untuk mengemban tugas sebagai penyidik. Itu isu yang kedua antara Polri dengan KPK.
Sedangkan yang ketiga, solusi untuk menuntaskan penegakan hukum anggota Polri, Komisaris Polisi Novel Baswedan, yang kebetulan sekarang sedang bertugas menjadi penyidik di KPK. Insiden itu terjadi, sebagaimana Saudara ketahui, pada tanggal 5 Oktober 2012 dan terus terang, hal itu sangat saya sesalkan.
Saya juga menyesalkan berkembangnya berita yang simpang siur kemudian dan akhirnya menimbulkan permasalahan sosial politik yang baru. Sebenarnya, jika KPK dan Polri pada saat itu bisa menjelaskan kejadian dengan benar dan jujur, tanpa bias apa pun, tentu masalahnya tidak akan menjadi seperti yang diisukan di tingkat masyarakat luas sekarang ini.
Terhadap hal ini, saya telah menyampaikan pendapat dan solusinya pada pertemuan tadi siang yang saya pimpin. Tapi saya ingin menyampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia, agar setiap situasi, itu dilihat secara utuh menyeluruh, diletakkan dalam konteksnya yang lebih besar.
Sebenarnya, jika kita merujuk pada Konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, di situ dikatakan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Inilah yang disebut dengan prinsipequality before the law. Sehingga jika terbukti ada kejahatan dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seorang Warga Negara Indonesia, mestilah hukum itu ditegakkan, siapapun dia, apakah dia itu Presiden, Menteri, anggota DPR, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, anggota Polri, jaksa, hakim, anggota KPK, anggota TNI, wartawan, dan siapapun. Bersamaan kedudukannya dalam hukum, equality before the law.
Dengan pemahaman atas Konstitusi, serta prinsip equality before the law, dan juga konsistensi dari the rule of law, maka jika ada anggota KPK melakukan pelanggaran hukum, kemudian diproses, tidaklah boleh serta merta dikatakan sebagai kriminalisasi KPK.
Laporan yang saya terima, dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota Polri yang sedang bertugas di KPK sekarang ini tidak terkait dalam pelaksanaan tugasnya sebagai penyidik KPK, tetapi dilaporkan kepada saya, itu terjadi 8 tahun yang lalu. Nah, dalam hal ini, saya ingatkan, dalam penegakan hukum semuanya harus berangkat dari niat baik, seraya tetap merujuk pada kebenaran, keadilan, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, jangan ada motivasi lain. Misalnya, karena anggota Polri yang sedang melaksanakan tugas itu, ulangi, misalnya karena anggota Polri yang bersangkutan sedang melaksanakan tugas untuk melakukan penyidikan kasus pengadaan simulasi SIM tersebut, tidak boleh. Sebaliknya jangan setiap upaya penegakan hukum yang mengait kepada anggota KPK, langsung pula divonis sebagai upaya kriminalisasi KPK.
Namun demikian, menurut pandangan saya adalah sangat tidak tepat, jika ada tindakan untuk memproses Komisaris Polisi Novel Baswedan, atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan 8 tahun yang lalu itu sekarang ini. Timing-nya tidak tepat, pendekatan dan caranya pun juga tidak tepat. Itu pandangan saya dan kira-kira solusi yang akan kita tempuh menyangkut tiga hal yang juga merupakan sebutlah perselisihan antara KPK dengan Polri sekarang ini.
Saudara-saudara,
Berikut ini, saya ingin menyampaikan pandangan dan pendapat saya berkenaan dengan pemikiran dan rencana untuk melakukan revisi Undang-Undang KPK. Saya berpendapat pemikiran untuk merevisi sebuah Undang-Undang tentulah mesti dilandasi oleh niat yang baik dan tujuan yang positif.
Jika DPR RI memiliki pemikiran untuk melakukan revisi Undang-Undang KPK ini kepada rakyat, mestilah dijelasakan apa dan mengapa Undang-Undang itu harus direvisi kepada masyarakat, termasuk para pengamat dan aktivis pemberantasan korupsi sebaiknya juga bersedia mendengarkan apa yang menjadi alasan DPR itu. Jangan langsung divonis, seolah-olah itu sebagai upaya untuk memperlemah KPK atau untuk melucuti kewenangan KPK.
Setelah mendengarkan alasan DPR, masyarakat luas, termasuk pengamat dan aktivis pemberantasan korupsi, bisa menyampaikan pandangannya, bebas, bisa setuju, bisa pula tidak setuju. Namun perlu diketahui, bahwa Konstitusi memberikan kewenangan kepada DPR dan Pemerintah untuk menyusun Undang-Undang, termasuk untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang.
Jika setelah Undang-Undang itu diterbitkan dan disahkan, masih terbuka bagi masyarakat luas untuk menyampaikan ketidaksetujuannya dengan cara meminta Mahkamah Konstitusi untuk mengujinya. MK akan menguji Undang-Undang itu, termasuk jika suatu saat misalnya ada Undang-Undang KPK yang baru hasil revisi, apakah Undang-Undang itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi atau MK juga tetap tunduk pada aturan main, bahwa itu diuji. Undang-Undang diuji, apakah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Saudara-saudara,
Sehubungan dengan itu semua, pandangan dan pendapat saya terhadap keinginan DPR RI untuk melakukan revisi Undang-Undang KPK adalah sebagai berikut: prinsip dan posisi dasar saya tetap saya dengan yang saya sampaikan pada tahun 2009, ketika waktu itu juga ada wacana menyangkut peran dan kewenangan KPK, yaitu saya tidak setuju dan menolak setiap upaya untuk memperlemah KPK.
Saat ini, saya tidak tahu seperti apa konsep DPR untuk merevisi Undang-Undang KPK itu, apakah sungguh untuk memperkuat KPK sehingga lebih efektif dalam menjalankan tugasnya. Jika ternyata revisi itu untuk memperkuat KPK dan membuat KPK lebih efektif dalam melaksanakan tugas-tugasnya, tentu saya, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang pada posisi yang siap untuk membahasnya.
Saudara-saudara,
Di tengah realitas betapa tidak mudahnya untuk memberantas korupsi di negeri ini, karena terbukti kasus-kasus korupsi masih terus terjadi, yang harus kita lakukan justru meningkatkan intensitas, ekstensitas, dan efektivitas upaya pemberantasan korupsi dan bukan malah mengendorkannya. Di satu sisi, kita masih sangat berharap kepada KPK untuk menjadi motor pemberantasan korupsi. Di sisi lain, kita juga harus memberikan kepercayaan dan memberdayakan lembaga penegak hukum lain, seperti Polri dan Kejaksaan karena mereka juga menjalankan amanah Konstitusi dan amanah Undang-Undang.
Menanggapi pandangan rakyat atas kurangnya kepercayaan kepada aparat Kepolisian dan Kejaksaan, termasuk jajaran pengadilan dalam urusan pemberantasan korupsi ini, saya berharap untuk dijadikan cambuk dan semangat untuk terus melakukan reformasi, peningkatan kemampuan dan integritas aparat di lembaga masing-masing.
Saya seraya tetap mendukung penuh KPK, serta menolak setiap upaya yang bertujuan memperlemah KPK, mendengar pendapat dari kalangan masyarakat, harus saya utarakan pada malam hari ini. Bahwa sejumlah langkah KPK dianggap kurang tepat dan cenderung membawa persoalan ke arena publik atau media massa ketimbang bekerja sama dengan penegak hukum lainnya untuk mendapatkan solusi yang tepat. Menurut saya, kritik itu perlu didengar. Ada kalanya kritik itu benar dan jika didengar akan justru lebih meningkatkan kinerja KPK yang sudah sangat baik dewasa ini.
Sebagaimana yang saya sampaikan dalam Pidato Kenegaraan saya pada tanggal 16 Agustus 2012 yang lalu di hadapan Sidang Bersama DPR dan DPD, saya ingin menyampaikan lagi ucapan terima kasih dan penghargaan saya kepada KPK, sekaligus harapan saya agar semua jajaran penegak hukum melakukan sinergi dan kerja sama yang baik dan tidak bersaing secara tidak sehat. Dengan prinsip, semua bekerja keras untuk menangani kasus-kasus korupsi dan bukan menghambat atau menutupinya.
Banyak yang telah kita capai di negeri ini, Saudara-saudara, seperti perekonomian nasional yang tumbuh dengan baik, termasuk peningkatan penerimaan dan pembelanjaan negara yang sangat signifikan. Marilah momentum sejarah ini tidak kita sia-siakan dan jangan sampai aset dan keuangan negara yang dengan susah payah dapat kita tingkatkan ini harus bocor atau dicuri oleh para koruptor di negeri ini.
Kembali kepada isu revisi Undang-Undang KPK. Dengan memperhatikan perkembangan situasi di tanah air, menurut pendapat saya, lebih baik kita meningkatkan upaya pemberantasan korupsi, serta meningkatkan sinergi di antara lembaga pemberantas korupsi agar lebih berhasil lagi upaya nasional kita untuk memberantas korupsi daripada perhatian, energi, dan waktu kita terkuras untuk melakukan revisi Undang-Undang KPK.
Saudara-saudara,
Dengan penjelasan yang telah saya sampaikan tadi, maka saya akan akhiri penjelasan saya ini dengan menyampaikan kesimpulan utama yang tentunya juga berupa solusi dan langkah-langkah yang mesti kita laksanakan ke depan.
Pertama, penanganan hukum dugaan korupsi pengadaan simulator SIM yang melibatkan Irjen Polisi Djoko Susilo, agar ditangani KPK dan tidak dipecah. Polri menangani kasus-kasus lain yang tidak terkait langsung.
Dua, keinginan Polri untuk melakukan proses hukum terhadap Komisaris Polisi Novel Baswedan, saya pandang tidak tepat, baik dari segi timing maupun caranya.
Tiga, perselisihan yang menyangkut waktu penugasan para penyidik Polri, yang bertugas di KPK perlu diatur kembali dan akan saya tuangkan dalam Peraturan Pemerintah. Saya berharap nantinya teknis pelaksanaannya juga diatur dalam MoU antara KPK dan Polri.
Keempat, pemikiran dan rencana revisi Undang-Undang KPK sepanjang untuk memperkuat dan tidak untuk memperlemah KPK sebenarnya dimungkinkan. Tetapi saya pandang kurang tepat untuk dilakukan saat ini, lebih baik sekarang ini kita tingkatkan sinergi dan intensitas semua upaya pemberantasan korupsi.
Yang terakhir, yang kelima, saya berharap agar KPK dan Polri dapat memperbaharui MoU-nya dan kemudian dipatuhi dan dijalankan, serta terus meningkatan sinergi dan koordinasi dalam pemberantasan korupsi sehingga peristiwa seperti ini tidak terus berulang di masa depan.
Saya mencatat bahwa di waktu yang lalu, banyak kerja sama yang baik antara Polri dengan KPK. Contohnya, kerja sama dalam mencari dan menemukan tersangka korupsi yang kabur ke luar negeri, berhasil dengan baik sinerginya dan kerja samanya.
Sementara Polri juga mencatat prestasi di banyak bidang, misalnya pemberantasan terorisme, kejahatan narkotika, dan kejahatan jalanan. Juga prestasi dalam pengamanan dan pengaturan kegiatan nasional mudik Lebaran dan peringatan hari-hari besar yang lain. Semangat, energi, dan kinerja seperti ini, saya yakini dapat dijadikan modal untuk bersinergi dengan KPK dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi.
Itulah Saudara-saudara, rakyat Indonesia, penjelasan saya untuk mendapatkan pemahaman yang utuh. Dan tentu setelah ini, Kepolisian akan menjalankan apa yang telah menjadi keputusan saya dan solusi ini. KPK juga akan menjalankan apa yang harus dijalankan sesuai dengan pertemuan yang saya laksanakan atau saya pimpin siang tadi.
Terima kasih atas perhatiannya, Saudara-saudara.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar