Featured Video

Rabu, 14 November 2012

MENANTANG MAUT DEMI PENDIDIKAN

Inilah akses jalan yang mereka lalui setiap hari
untuk mengantarkan anak anak mereka kesekolah


Berbasah basah kesekolah



Dunia pendidikan di Su­matera Barat gempar. Akhir-akhir ini berbagai media dalam dan luar ne­geri mem­beritakan per­soalan siswa yang harus me­nan­tang maut untuk dapat pergi dan pulang bersekolah. Umumnya, yang menjadi sorotan adalah jembatan kawat yang meng­hubungkan perkampungan Pintu Ga­bang, Kelurahan Lambuang Bukik, Ke­ca­matan Pauh, Padang. Se­mentara dunia pendidikan heboh, peme­rintahan Padang dan Sum­bar seperti adem-ayem, sea­kan tidak me­ngetahui pem­beritaan ter­sebut telah beredar.

The Sun (6/11) Inggris membahasakan siswa-siswi tersebut dengan daredevil kids (anak-anak pemberani), dengan narasi yang mem­bahasakan anak-anak ter­se­but terpaksa bergaya Indiana Jones setelah jembatan yang merupakan akses perkampungan tersebut hancur.
Sementara itu Daily Mail (7/11) menulis, “Jika Anda berpikir bahwa anak-anak ke sekolah adalah tugas. Tatapi orang tua dari anak-anak ini harus berpikir bahwa anak-anaknya harus menjaga keseim­bangannya pada kawat setinggi 30 meter di atas sungai yang mengalir agar tidak terlambat masuk kelas,” tentang foto-foto tersebut.
Bahkan, ketika foto tersebut beredar beberapa warga luar negeri tersentuh hatinya dan ingin mem­bantu merealisasikan pembangunan jembatan itu kembali. Hal tersebut diungkapkan Fitra Yogi, salah seorang fotografer yang fotonya sempat beredar di media luar negeri. “Saya kirimkan foto cerita tentag jembatan itu lewat rekan saya di Kediri, Arief  Priyono, di Panjalu Images yang bekerjasama dengan media Inggris, Cina, dan Jerman. Ternyata foto itu dikutip media-media di tiga negara itu dan telah mengundang berbagai opini masya­rakat dunia,” katanya.
Fitra juga mengungkapkan bahwa  setelah pemberitaan terse­but beredar, seorang Australia mengirimkan surat elektrik bahkan menelfonnya, dengan niat ingin membantu merealisasikan pem­bangunan jembatan tersebut. “Dia ingin kontak pemerintahan daerah, atau petinggi warga di sana, dan mempertanyakan berapa biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan jembatan itu kembali,” terang Fitra yang menyatakan bahwa pihak tersebut tersentuh karena melihat kondisi sulitnya akses untuk menempuh pendidikan.
Dari data yang dihimpun Hal­uan, hampir 30 orang siswa dan mahasiswa yang setiap hari melin­tasi jembatan kawat yang hampir putus tersebut, bahkan ada di antara siswa yang digendong orang-tuanya melintasi jembatan tersebut. Jika air sungai susut, sebagian akan melintasi sungai. Luciana (11), siswa kelas 6 SD Bustanul Ulum Semen Padang, yang tiap hari melintasi jembatan tersebut manga­takan bahwa orangtuanya pernah melarang untuk tidak meniti, namun karena keadaan mem­buatnya terpaksa meniti jembatan agar tepat waktu sampai ke sekolah. Para pelajar ini terpaksa menan­tang maut. “Dulu memang pernah ada kakak kelas kami yang jatuh dari jembatan ini, untung cepat diketahui keluarganya, yang kebetu­lan ikut mengiringi. Saya juga pernah hampir jatuh dan dise­lamatkan oleh dua orang warga,” katanya kepadaHaluan beberapa waktu lalu.
Begitu juga dengan Faras Hanafi (11), bocah yang seiringan dan sama sekolah dengan Luciana tersebut mengatakan bahawa dirinya telah terbiasa menghadapi bahaya terse­but. “Saya sudah terbiasa melintasi kawat baja itu, tapi kalo hujan lebat, terpaksa libur sekolah,” ungkapnya dalam bahasa Minang tentang kawat jembatan yang ketinggiannya hamper tujuh meter dari dasar sungai.
Salah seorang warga, Juarmi (29) mengatakan bahwa kondisi tersebut sudah terbiasa dialami siswa di kampung tersebut selama dua tahun belakangan. “Akses satu-satunya terdekat ke sekolah cuma itu,” terangnya. Ia juga mengatakan bahwa anaknya yang sedang berse­kolah di Paud harus melintasi sungai setiap harinya. “Saya menggen­dongnya melintasi sungai, kalau air besar dia tidak sekolah, dia takut kalau saya menggendong meniti jem­batan,” terangnya, Selasa (13/11).
Simpang-siur Pembangunan
Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Padang Harmen Peri ketika dihubungi menyatakan bahwa pembangunan jembatan yang sudah tidal layak digunakan sudah dialihkan ke PU Provinsi dikare­nakan anggaranya terlalu besar. “Anggarnya terlalu besar, karna itu dalam dialihkan ke PU Provinsi dan direncanakan tahun depan pembangunannya,” katanya ketika dihubungi, Selasa (13/11) sore.
Akan tetapi Kabid Binamarga PU Padang, Rusdi, menyatakan bahwa dikarenakan wilayah terse­but termasuk binaan PT. Semen Padang, tanggung jawab pem­bangunannya berada pada pihak tersebut. “Jembatan tersebut akan dibangun lagi oleh PT Semen Padang, karna perencanaannya sudah ada pada pihak tersebut,” terangnya ketika dihubungi (13/11)
Rusdi mengakui bahwa pihak PU Padang sudah tiga kali beru­saha memutus jembatan tersebut agar tidak terjadi korban jiwa akibat penggunaan tersebut, namun tetap terkendala. “Memang pihak PU sudah tiga kali akan memu­tuskan, karena banyaknya berita dan foto yang beredar,” katanya.
Rencana pembangunan oleh pihak Semen Padang tersebut sebelumnya juga sempat diung­kapkan beberapa waktu lalu oleh Lurah Lambung Bukik, Yanuswar SE.  ”Untuk saat ini warga yang mempunyai hasil buminya terpaksa berjalan melintasi sungai, agar bisa menjual hasil kebun ke pusat Kota Padang,” tuturnya.
”Dari pihak PT Semen Padang mengatakan, pengerjaan pemba­ngunan jembatan yang baru akan di bangun 1-2 bulan lagi, dengan ukuran yang besar sehingga mobil sejenis L300 bisa masuk untuk mengangkut hasil bumi warga,” jelas Yanuswar sekitar bulan Juli lalu.
Tidak Hanya di Padang
Dari data yang dihimpun Ha­luan, kondisi siwa menempuh medan yang sulit ketika harus sekolah tidak hanya di Padang. Di kampung Aie Kalam Lakitan Te­ngah, Kecamatan Lengayang, Pesisir Selatan, siswa di nagari tersebut menyisiri jalan setapak di pinggir rumah warga yang berakhir di tebing sungai lalu melintasi sungai. Mereka adalah siswa dan sisiwi Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 5 Lenga­yang di mana hampir setiap hari siswa tersebut berpegangan tangan untuk menahan derasnya arus air.
SMPN 5 Lengayang terletak nyaris di hulu Batang Lakitan, tepatnya di Kampung Aie Kalam, Nagari Lakitan Tengah. SMP ini baru berdiri beberapa tahun lalu. Sebelumnya ia merupakan SLTP Satu Atap. Siswanya berasal dari kampung yang ada di Nagari Laki­tan Tengah. Misalnya Koto Lamo, Lubuak Tanah, Tanjung Durian, Pulai dan beberapa orang berasal dari kampung di hilir Lakitan.
Menyeberang sungai adalah tantangan paling besar untuk dapat mengikuti pelajaran yang harus dihadapi siswa/sisiwi yang berasal dari Koto Lamo dan Lubuak Tanah itu. Pasalnya, Kampung tersebut dipisahklan oleh Batang Lakitan. Posisi Koto Lamo dan Aie Kalam sebagai pusat nagari sesungguhnya kampung bertetangga. Namun tidak ada akses untuk ke sana. Tidak ada jembatan untuk bisa dititi.

Oleh:

ESHA TEGAR PUTRA, RIVO ANDRIES, ENI RAMADANI





Tidak ada komentar:

Posting Komentar