Featured Video

Senin, 07 Januari 2013

VCD ”Cinta Tapi Beda” Dilarang Beredar

Wali Kota, LKAAM, MUI Minta Pemutaran Film Distop



Kon­­­­t­ro­v­ersi seputar film dra­ma In­do­nesia berjudul ”Cinta Tapi Be­­da” nampaknya belum ber­ak­­hir. Mesti  sutradara film ter­s­ebut, Hanung Bramantyo, 37, sejak Sabtu (5/1) lalu, su­dah  me­­narik film yang di­bin­tangi Agni Pratistha, Reza Na­­ngin, Choky Sitohang, Ratu Fe­­lisha dan Jajang C Noer itu da­ri pe­re­daran, namun keca­man ter­ha­dap film yang sudah di­tonton 120 ribu masyarakat, te­tap mengalir dengan deras­nya.


Bahkan, Wali Kota Paya­kum­buh, Provinsi Sum­a­tera Ba­rat, Riza  Falepi Datuak Rajo Ka Ampek Suku, terang-tera­ngan melarang film "Cinta Ta­pi Beda" diputar ataupun dita­yang­kan di kotanya, karena di­yakini bisa menimbulkan ge­jo­lak di tengah masyarakat. "Ka­mi akan keluarkan edaran, ke­pingan CD Film Cinta Tapi Be­da, tidak boleh beredar di Pa­yakumbuh,” tegas Riza Fale­pi kepada wartawan, Minggu (6/1) siang.

Riza menyebut, film "Cinta Ta­pi Beda" yang soundtrack-nya diambil dari 3 buah lagu, ya­k­­ni lagu Melebur Beda  (The Fi­nest Tree), lagu Syahadat Cin­ta (Chandra Malik feat:  Hen­dri Lamiri, John paul Ivan, Dik Doang), dan lagu Perbe­da­an (Hendra Abeth), sangat me­­ngusik perasaan mas­yar­a­kat Mi­nangkabau di man­apun be­rada, khususnya masyarakat Mi­nangkabau di Kota Paya­kumbuh.

”Film Cinta Tapi Beda itu diduga kuat menyimpang dari falsafah hidup Minangkabau, me­mutarbalikkan fakta dan me­­mojokkan masyarakat Mi­nang­­kabau yang kental de­ngan Is­lam. Jika dibiarkan beredar atau diputar pada bioskop-bios­kop, akan membuat hati mas­yarakat Minang terluka. Ka­rena, cerita yang dibuat su­tra­daranya, tidak sesuai de­ngan budaya Minang,” kata Riza Falepi.

Disebutkan Riza Falepi, da­lam film ”Cinta Tapi Beda” de­ngan produser Raam Pun­jabi, di­angkat kisah cinta  sepasang anak muda berbeda keya­ki­nan, bernama Cahyo dan Dia­na. Adapun Cahyo, diki­sahkan se­­bagai cowok ganteng asal Yogya, bekerja sebagai chef di Ja­karta. Ia anak pasangan Fa­dholi dan Munawaroh, keluar­ga muslim yang taat beribadah.

Sedangkan Diana, dikisahkan sebagai gadis asal Padang

Perempuan berparas sa­ngat Indonesia, mahasiswa ju­rusan seni tari. Ia tinggal ber­sama om dan tantenya di Ja­karta. Keluarga Diana pe­nga­nut Katolik taat. Cahyo dan Diana bertemu di pertunjukan tari kontemporer di Jakarta. Me­reka memutuskan ber­paca­ran walaupun berbeda ke­ya­kinan. Mereka bahkan serius me­lanjutkan hubungan hingga jenjang pernikahan.

Diana was-was ketika Cah­yo mengajaknya menemui orangtuanya. Ibu Cahyo bisa me­mahami cinta anaknya, tapi tidak Pak Fadholi. Sampai kapan pun Pak Fadholi tidak akan merestui Cahyo. Bila Cah­yo memaksa, Pak Fadholi me­milih memutus ikatan tali ke­luarga. Ternyata tidak mu­dah bagi Cahyo dan Diana men­ja­lani cinta beda keyakinan.

Ibu Diana juga keberatan dengan pilihan putrinya. Ka­kak-kakak Diana, termasuk om dan tantenya, telah me­ning­galkan keyakinan me­reka. Ibu Diana memaksa Diana me­ngi­kuti kehendaknya. Itu se­bab­nya, Diana akhirnya me­mi­lih kembali ke Padang dan m­e­nerima perjodohan dengan do­kter Oka, lelaki pilihan ibu­nya dan seiman. Ia coba tutup ha­tinya untuk Cahyo.

”Dari sinopsis film Cinta Tapi Beda tersebut, ada satu hal yang sangat tidak masuk akal. Sutradara atau penulis ske­nario, mengisahkan Diana, ga­­­dis Padang, beragama Ka­tolik.  Manalah ada, orang Mi­nang yang tidak beragama Islam. Kita sungguh pingin tahu, dari mana sutradara film men­d­apatkan ide cerita seperti itu,” kata Wali Kota Payakumbuh Riza Falepi.

Senada dengan Riza Falepi, Ke­tua Umum Lembaga Kera­patan Adat Alam Minang­ka­bau (LKAAM) Kota Pa­ya­kum­buh Indra Zahur Da­tuak Rajo Simarajo dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Paya­k­umbuh Haji Mismardi, juga terang-terangan, meminta film ”Cinta Tapi Beda”, benar-benar ditarik dari peredaran. ”Jangan sampai ada yang bere­dar atau diputar lagi, apalagi di Payakumbuh,” kata mereka.

Menurut Indra Zahur dan Mismardi, film Cinta Tapi Beda, sangat tidak sesuai de­ngan ajaran adat Minang. ”Se­jak leluhur kita menga­jarkan ni­lai-nilai kehidupan, ber­aga­ma, berkorong berkampung, nilai-nilai Islam tetap melekat da­lam ajaran adat Minang.  Ar­tinya, orang Minang itu ada­lah kaum muslim dan mus­limah, pemeluk Islam.

”Kalau ia tak beragama Islam, itu bukan orang Minang. Ka­mi takut, film ini akan me­ru­sak sendi-sendi adat dan bu­daya masyarakat Minang da­lam berkehidupan sehari-ha­ri yang sangat menjaga hu­bu­ngan antar sesama. Kami men­curigai, ada keinginan terse­lu­bung dari orang-orang yang ikut mendukung film tersebut ditayangkan. Misalnya, ingin  menghancurkan adat dan bu­daya masyarakat Minang," kata Indra Zahur dan Buya Mis­mardi. (*)


s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar