Walikota Payakumbuh H. Riza Falepi Dt. Kaampek Suku, mengecam keras Film Cinta Tapi Beda karya Hanung Bramantyo yang sudah diputar sejak Desember 2012, pada bioskop di sejumlah kota dan beberapa provinsi di Tanah Air. Film tersebut, telah dianggap menyimpang dari filsafah hidup masyarakat Minangkabau.
Film Cinta Tapi Beda yang sebagian lokasi shooting-nya di Sumbar, jika dibiarkan beredar dan diputar pada bioskop-bioskop, akan membuat hati masyarakat Minang akan terluka. Karena, cerita yang dibuat sutradaranya, tidak sesuai dengan kehidupan gadis atau budaya Minang. “Mana ada gadis di Minang ini yang beragama katolik,”ungkap Walikota Payakumbuh, H.Riza Fahlefi, yang juga seorang pemangku gelar adat ninik mamak ini, Minggu (6/1).
Menurut dia, film tersebut terkesan sangat memojokkan masyarakat Minang yang kental dengan Islam dan memutar balikkan fakta, dianggap sudah keluar dari adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah. Pihaknya mencurigai adanya keinginan terselubung dari orang-orang yang ikut mendukung film tersebut ditayangkan.
Dalam film itu, diceritakan tentang gadis Minang, Diana (penganut Katolik taat) berpacaran dengan Cahyo, lelaki Jawa, yang juga muslim taat beragama. Keduanya ingin menikah. Ibu Diana, tante, om dan kakak-kakaknya tidak setuju orang Minang Katolik kawin dengan orang yang beda agama.
Meski akhirnya Diana dijodohkan dengan lak-laki Minang, dokter Oka yang seiman. Tapi, dalam kehidupan masyarakat Minang sehari-hari, tidak ada gadis Minang yang Katholik. Tapi dalam film ini, justru digambarkan seperti itu. Malahan, film itu justru disebut dibuat berdasarkan kisah nyata. “Kita pingin tahu, darimana sutradaranya mendapat kisah nyata seperti itu,” tanya walikota.
Karena itu, jika copyan CD-nya sudah beredar di Sumatera Barat atau Payakumbuh, khususnya, walikota berjanji, akan menarik peredarannya lewat dinas terkait. “Kita akan keluarkan edaran, kepingan CD Film Cinta Tapi Beda tak boleh beredar di Payakumbuh,” tegas walikota.
Nada yang sama, juga dilontarkan Ketua LKAAM Payakumbuh Indra Zahur Dt Rajo Simarajo dan Ketua MUI Mismardi. Kedua tokoh adat dan agama ini, menilai, film tersebut sangat tidak sesuai dengan ajaran adat Minang. Sejak leluhur kita mengajarkan nilai-nilai kehidupan, beragama, berkorong berkampung, nilai-nilai Islam tetap melekat dalam ajaran adat Minang. “Artinya, orang Minang itu adalah kaum muslim dan muslimah, pemeluk Islam. Kalau ia tak beragama Islam, itu bukan orang Minang,” tegasnya.
“Kami takut film ini akan merusak sendi-sendi adat dan budaya masyarakat Minang dalam berkehidupan sehari-hari yang sangat menjaga hubungan antar sesama. Jangan terjadi penghancuran adat dan budaya masyarakat Minang. Karena itu, seyogianya, film tersebut ditarik peredarannya oleh pemerintah, “ujar mereka.
Cerita film seperti itu, boleh-boleh saja diangkat ke layar lebar bioskop, atau dicopy dalam bentuk kepengingan CD. Tapi, janganlah menggambarkan seorang gadis Minang pemeluk katolik. Seumur-umur, tak ada gadis Minang yang tidak menganut agama Islam. Semuanya, adalah muslimah, Ketua LKAAM dan Ketua MUI, bersama walikota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar