Featured Video

Rabu, 12 Oktober 2011

3 Balita Miskin Idap Penyakit Ganas-Padang


ARIF RIZKI

Tiga balita miskin, Abdul Havid, 2,5 tahun, Anugrah Illahi, 5 bulan, dan Aska Fikra Maksudhi, 3 bulan, tengah menderita. Mereka mengidap penyakit ganas dan terancam cacat seumur hidup.

Abdul Havid menderita penyakit tumor mata (retino plastoma), Anugrah Illahi menderita cacat bawaan lahir (congenital) di bagian seluruh muka, dan Aska menderita tulang rapuh (Osteogenesis Imperfecta). Pengobatan mereka terkendala persoalan yang sama, yakni kekurangan biaya.
Abdul Havid tak bisa lagi melihat sejak usia satu tahun tiga bulan. Tumor ganas tumbuh di kedua bola matanya dan akhirnya membuat kedua bola matanya pecah. Kondisinya sungguh memprihatinkan. Saat Singgalang berkunjung Selasa (11/10), Havid hanya bisa menangis menahan sakit, sambil memanggil-manggil kedua orang tuanya.
“Awal muncul tumor sebenarnya ada di otak ketika umur sembilan bulan,” ujar orang tua Havid, Weri (34).
Saat itu, di pelipis mata Havid tumbuh bintil kecil. Kondisi itu mendadak berubah pada usia satu tahun tiga bulan. Weri melihat tumor itu berpindah ke mata. Keterbatasan biaya yang membuatnya tak sanggup mengobati anaknya. Puncaknya, setelah lebaran kemarin, mata Havid pecah dan bengkaknya membesar. Karena ketiadaan biaya untuk operasi, ia pun dibawa berobat tradisional. Efeknya, kepalanya yang berangsur mengecil.
“Nafsu makannya bertambah. Ia pun menjadi gemuk,” ceritanya.
Saat bersamaan, tiba-tiba kondisi badannya lemah. Tubuh kecilnya tak sanggup lagi menahan sakit. Ibunya membawa ke RS M. Djamil Padang, Senin (10/10). Kondisi terakhir, di mata kanannya tumbuh tumor sebesar bola ping pong. Tumor itu memerah pertanda ganas. Di mata kiri tumor tumbuh lebih kecil, tapi tetap tak membuatnya mampu melihat.
Orang tua Havid bekerja sebagai kuli bangunan. Saat mata anaknya menunjukkan gejala buruk, ia tidak sanggup berbuat banyak. Bahkan ketika anaknya benar-benar tak bisa lagi bisa melihat, ia masih tak berdaya memberikan hak anaknya untuk berobat.
Warga Gunung Pangilun ini mengaku tak memiliki Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) untuk pengobatan, hingga kini. Saat dibawa ke rumah sakit, katanya, ia telah mengumpulkan keberanian demi sang buah hati.
Sama dengan Havid, Anugerah Illahi menderita penyakit yang tak kalah mengenaskan. Semenjak lahir, Anugerah tidak memiliki mata, bibir, langit-langit dan gigi. Wajahnya dapat dikatakan remuk, meski hidungnya masih berfungsi.
Anugerah berasal dari Koto Baru, Jorong Koto Padang, Kabupaten Dharmasraya. Karena kekurangan biaya dan minimnya pengetahuan, Hanafi (45) dan Erna (37) tidak berani membawa anaknya ke rumah sakit. Meski pun ia sudah dirujuk oleh RSUD Dharmasraya ke RS M. Djamil Padang, ia tidak berani membawa anaknya ke rumah sakit.
“Saya pikir prosedur di rumah sakit itu berbelit-belit. Padahal saya cuma warga miskin,” ujar Hanafi, saat Singgalang menghubunginya, kemarin.
Ia mengaku, pekan lalu sudah membawa anaknya ke poliklinik RS M Djamil. Namun karena tidak sanggup melewati berbagai proses pengobatan, ia pun membawa kembali anaknya pulang.
Setelah Singgalang membujuknya kemarin, Hanafi akhirnya mau membawa Anugerah ke Posko Humas RS M Djamil. Ia diarahkan oleh Humas RS M Djamil, Gustafianov untuk melewati prosedur pengobatan.
Dikatakan Gustafianov, prosedur pengobatan untuk penyakit berat cukup panjang, namun harus dilewati agar bisa ditangani dengan baik.
“Sudah aturan bakunya seperti itu. Pasien harus cek darah, tes THT, dironsen dan beberapa konsul lainnya, agar bisa diputuskan apa penyakitnya. Pasien seharusnya bersabar,” katanya.
Hanafi akhirnya menolak untuk memasukkan anaknya ke RS M Djamil. Meski demikian, keluarga ini tetap membutuhkan bantuan. Hanafi sehari-hari bekerja sebagai petani berpenghasilan rendah.
Penyakit yang tak kalah serius diidap oleh Aska Fikra Maksudhi. Bayi asal Tanah Datar ini mengidap penyakit tulang rapuh. Tulangnya lunak dan tumbuh tak sempurna. Ia tak bisa menggerakkan badannya, dan bahkan tak boleh digendong.
Untuk mengobatinya, semenjak Sabtu (1/10) lalu Aska menjalani terapi pamidronat dalam jangka waktu yang tak bisa diperkirakan. Terapi ini dilakukan sekali dalam dua bulan dengan menyuntikkan cairan bernama Pamisol melalui selang infus. Terapi ini memberi kemajuan cukup berarti. Kemarin, Aska sudah mulai bisa menggerakkan dua tangannya secara perlahan.
Masalahnya, cairan tersebut tidak mudah didapatkan. RS M Djamil tidak memiliki obat itu. Afrida harus memesan obat itu ke Jakarta, yang sebelumnya didatangkan dari Singapura. Penyaluran obat ini ke Sumbar melalui Asosiasi Perlindungan Anak.
Melihat susahnya mendapatkannya, tidak diragukan bahwa obat itu berharga tinggi. Satu botol berukuran kecil, Afrida membeli seharga Rp1,4 juta. Untuk sekali terapi, dibutuhkan tiga botol Pamisol, yang menyedot biaya Rp4,2 juta.
Bayangkan jika proses terapinya bertahun-tahun. Angka tersebut belum termasuk biaya transportasi dan perawatan selama di rumahsakit. “Tak bisa saya bayangkan jika harus membeli obat itu selama bertahun-tahun untuk terapi,” ujar Fadli, yang sehari-hari bekerja sebagai pelayan restoran.

Bisa dibantu
Humas RS M Djamil, Gustafianov mengatakan, pasien-pasien miskin bisa dibantu jika memiliki surat Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun jika surat itu tak dimiliki, RS M Djamil bekerja sama dengan Bazda Kota Padang, yang menyediakan bantuan Rp7,5 juta.
“Prosedur di RS terkesan rumit, namun sebenarnya itu aturan yang mesti dilalui agar pasien bisa ditangani dengan baik. Apapun penyakitnya bisa dibantu,” kata Gustafianov.
Ia mengimbau, warga miskin yang kesulitan biaya tidak perlu khawatir, dan merasa dipersulit. Cukup datang ke RS M Djamil, kesulitan biaya perawatannya dapat dicarikan jalan keluarnya asal mengikuti prosedur yang berlaku.
Selain itu, dia tetap mengimbau dermawan untuk ikut membantu kalangan tidak mampu yang saat ini banyak ditangani oleh rumah sakit. Warga miskin masih perlu banyak perhatian dari berbagai pihak. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar