Featured Video

Rabu, 12 Oktober 2011

Anti Klimaks PKS



MARWAN ZEIN

PKS, Partai Keadilan Sejahtera, sepertinya lari dari jati diri. Atau lupa kepada sumber popularitasnya. Prilaku para kadernya akhir-akhir ini mengindikasikan hal itu. Padahal, ketika sumbat demokrasi terbuka pasca Orde Baru, ia muncul bagai kuda hitam, tampil sebagai partai politik yang perlu diperhitungkan. Klimaksnya, menurut saya, terjadi ketika Pemilu Kada DKI Jakarta beberapa tahun silam, dan semakin meyakinkan di Pemilu 2009.
Menggandeng sebuah parpol lain, ia mengusung Adang Daradjatun sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, menantang Fauzi Bowo yang didukung dua puluh (20) parpol. Adang Daradjatun hanya kalah tipis. Bayangkan, betapa mantapnya popularitas PKS berhadapan dengan dua puluh parpol lain, termasuk parpol besar Golongan Karya. Dan itu terjadi di Ibukota Republik.
Wajar ia mendapat dukungan spontan, karena pimpinan partai ini tidak menonjolkan ambisi politik. Terindikasi dengan tradisi meninggalkan jabatan partai, bila pemuncaknya mendapat amanah/jabatan di areal yang lebih luas. Lebih dari itu, ia tampil dengan wajah yang spesifik sebagai Partai Dakwah. Berani berindikator Islam yang bersih. Istimewa pula, PKS tampil dengan bahasa yang santun, yang sirna sejak Orla dan Orba.
Maka ia beda dengan tampilan parpol lain. Dengan PAN misalnya, yang didirikan Amien Rais, mantan Ketua PP Muhammadiyah. Partai ini terkesan ragu-ragu. Di satu sisi dalam meraup suara di pemilu, ia mengesankan punya hubungan emosional dengan Muhammadiyah. Tetapi di sisi lain, dengan harapan menjadi besar, PAN muncul sebagai partai terbuka.Maka PKS cepat mendapat sambutan, meninggalkan pula PPP yang wadah fusi parpol-parpol Islam di era Orde Baru. Pun PKB, yang penyalur politik terbesar warga Nahdliyin, yang didirikan KH Abdurrahman Wahid, yang akhirnya terperosok pergumulan kepentingan di internal Nahdlatul Ulama, yang tak kunjung tuntas hingga kini.
Tetapi kenyataan akhir-akhir ini menyudutkan PKS kepada situasi anti klimaks. Dengan posisi empat orang kadernya duduk di dalam Kabunet Indonesia Bersatu II, membuat partai ini terlena dan mau terombang-ambing tawar menawar politik.
Santernya Presiden SBY akan merombak kabinet, menimbulkan ketakutan pimpinan PKS, kalau-kalau kadernya yang berjabatan menteri terkena sasaran reshuffle. Ini terlontar dari ancaman petinggi PKS, Anis Matta, yang akan membuat perhitungan sebagai anggota koalisi dalam Sekretariat Bersama Koalisi pendukung pemerintah, bila kadernya di kabinet berkurang.
Indikator, bahwa PKS sudah sangat cenderung kepada jabatan, yang notabene sudah sangat mementingkan kedudukan. Kasus lain, kadernya yang anggota DPR RI, Fachri Hamzah, begitu lantang bersuara, mengusul KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dibubarkan. Ia menantang arus.
Fachri begitu tersinggung dan marah KPK memanggil beberapa anggota Banggar (Badan Anggaran) di DPR RI sebagai saksi, atas kasus penyuapan di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang anggota Banggar dinilai mengetahui kasus itu. Tersangkutkah personil Banggar?
Fachri berdalih, delapan tahun keberadaan KPK, ternyata tidak berhasil memberantas korupsi. Lha, justru dalam upaya pemberantasan korupsi itulah KPK memanggil beberapa orang anggota Banggar, kenapa Fachri bak kebakaran jenggot? Bukankah itu namanya ambivalensi?
Padahal, solusi memerangi korupsi bukanlah dengan membubarkan KPK, melainkan dengan mendukung dan memperkuatnya. Dan itu bisa dilakukan bukan dengan sumpah serapah dan bukan dengan mata melotot merah. Atau, adakah ini sejalan dengan upaya pelemahan KPK oleh orang-orang yang merasa teramcam ketenteramannya dengan keberadaan komisi ini? Maka muncul guyon publik, ketimbang KPK sebaiknya DPR saja yang dibubarkan.
Nah, berbagai indikator di atas merupakan kampanye yang tidak menguntungkan bagi PKS. Tidak mustahil akan berdampak kepada Pemilu 2014. Sadarkah PKS akan kemungkinan itu? Sadarkah para petinggi parpol ini, tindak tanduk para kadernya selalu dipantau para pemilih? Bila tak berkenan di hati, mereka akan lari meninggalkan parpol yang dulu alternatif, kini seolah tak lagi memperjuangkan aspirasi. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar