Featured Video

Rabu, 12 Oktober 2011

MULTITAFSIR DAN ANCAMAN BAGI PERS


RUU INTELIJEN NEGARA JADI UNDANG-UNDANG
Rapat Paripurna DPR sepakat mengesahkan RUU tentang Intelijen Negara menjadi undang-undang. Beberapa pihak menilai, UU ini rentan multitafsir dan berbahaya bagi kehidupan pers.

JAKARTA, HALUAN — Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo me­nga­ta­kan, ruang lingkup rahasia intelijen yang diatur dalam UU Intelijen terlalu luas sehingga bersifat karet dan menimbulkan multiinterpretasi.
Hal senada dikatakan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jaleswari Pramo­dhawardani, yang menyatakan bahwa multitafsir itu menjadi sisi yang berbahaya dalam RUU Intelijen. “RUU Intelijen tak jelas sehingga bisa jauh berbeda antara praktik dan yang tertulis,” ujar Jaleswari Pramodhawardani, Selasa (11/10) di Jakarta.
Agus Sudibyo menganggap UU Intelijen Negara berbahaya bagi pers. Hal ini terutama muncul berkaitan dengan pidana bagi pembocor rahasia intelijen. Ia menilai definisi tentang rahasia intelijen bersifat sangat umum dan ditentukan penguasa sehingga berbahaya bagi masya­rakat sipil, terutama insan pers.
UU itu disahkan dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso. Seluruh fraksi yang ada di DPR menyatakan persetu­juannya atas pengesahan RUU Intelijen Negara menjadi Undang-Undang pada, Selasa, (11/10), di Jakarta.
Wakil Ketua Komisi I DPR Agus Gumiwang Kartasasmita yang me­nyam­paikan hasil pembahasan RUU tersebut di Komisi I menyatakan, RUU Intelijen Negara yang juga merupakan usul inisiatif DPR dalam Prolegnas 2010-2014 merupakan upaya memberikan payung hukum bagi pelaksanaan kegiatan intelijen di Indonesia.
“Dinamika perkembangan ling­kungan strategis mengalami peru­bahan sedemikian kompleks, baik di tingkat global maupun regional. Kondisi ini melahirkan adanya gelagat serta fenomena yang berdam­pak positif maupun negatif yang pada gilirannya dapat menimbulkan ancaman atas kepentingan dan keamanan nasional,” ujar Agus Gumiwang Kartasasmita.
Lebih lanjut dikemukakannya bahwa ancaman terhadap kepen­tingan dan keamanan nasional tidak lagi bersifat tradisional, tetapi sudah mengalami pergeseran makna yang meliputi ancaman dari luar yang bersifat simetris (konvensional) dan asimetris (nonkonvensional).
Kedua ancaman itu, apabila tidak diantisipasi secara dini dapat menim­bulkan ancaman yang bersifat multi­dimensional. Karenanya identi­fikasi dan analisis terhadap ancaman itu harus dilakukan secara lebih kom­prehensif, baik dari aspek sumber, sifat, bentuk dan kecen­derungannya.
Dengan disahkannya RUU Inte­lijen Negara menjadi UU, maka ins­titusi intelijen negara harus melakukan berbagai penyesuaian diri, di antaranya perubahan atas visi, misi, paradigma, azas dan doktrin intelijen dalam menghadapi dinamika yang terjadi.
“Untuk itulah diperlukan adanya payung hukum yang memberikan jaminan terhadap keseluruhan aktivitas intelijen negara, menjadikan intelijen negara yang profesional tetapi juga senantiasa mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan penghormatan atas HAM sebagai bentuk pertang­gungjawaban kinerja intelijen negara kepada masyarakat,” ujar Agus Gumiwang Kartasasmita.
Pada bagian lain, Agus Gumi­wang Kartasasmita yang juga politisi Partai Golkar itu menuturkan bahwa proses pembahasan RUU itu telah melibatkan partisipasi publik dari berbagai kalangan seperti mendengar­kan pandangan kalangan LSM/Ormas, akademisi, praktisi hukum serta pakar-pakar yang berkometensi tinggi.
“Masukan serta pandangan publik itu sangat bermanfaat bagi Komisi I dalam merumuskan pasal-pasal yang mempunyai resistensi tinggi di masyarakat, terkait dengan mendu­kung tegaknya hukum, nilai-nilai dan prinsip demokrasi serta peng­hor­matan terhadap HAM,” paparnya.
Kewenangan BIN Dibatasi
Sejumlah isu krusial dalam UU Intelijen Negara itu di antaranya soal penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan penggalian terhadap informasi, kelembagaan, kode etik, pengawasan, masa retensi, rahasia intelijen dan pemidanaan.
Sementara itu, Menkum HAM Patrialis Akbar mengatakan bahwa pengesahan RUU Intelijen Negara menjadi UU itu akan jadi instrumen penting bagi penyelenggaraan inteli­jen negara melalui deteksi dini dan proteksi atas berbagai ancaman kepada negara serta masyarakat.
Ditegaskannya bahwa ancaman saat ini sudah semakin kompleks dan asimetris dengan perkembangan tek­nologi informasi. Untuk itu, di­perlukan institusi intelijen yang pro­fesional serta perlu adanya pe­ngua­tan kewenangan yang dibu­tuhkan.
Namun demikian, ia me­nam­bahkan, kewenangan kepada BIN tetap dibatasi melalui rambu perun­dang-undangan berikut sanksi yang berat atas pelanggaran yang dila­kukan.
“Pemerintah tetap berupaya mengakomodasi berbagai aspirasi masyarakat yang setuju maupun tidak melalui perumusan substansi yang akhirnya bisa disepakati bersama antara DPR dan pemerintah,” ujarnya seraya menambahkan bahwa UU ini akan jadi landasan bagi operasional intelijen yang profesional, independen dan obyektif.
Istana Kepresidenan mendukung keberadaan Undang-Undang Inte­lijen yang telah disahkan. Kegiatan intelijen, kata Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha, memerlukan payung hukum agar aparat dapat bekerja maksimal.
“Dengan ditetapkannya UU Intelijen ini, maka komunitas intelijen dapat bekerja lebih cepat dan maksimal dalam membantu keamanan dalam negeri. Undang-undang ini juga mengatur sanksi hukum kalau ada penyadapan di luar kewenangan yang diamanatkan undang-undang tersebut,” kata Julian kepada para wartawan di Kompleks Istana Presiden, Jakarta.
Julian memaklumi adanya pro dan kontra dari masyarakat akan keberadaan undang-undang ini. Ia mengimbau agar masyarakat tidak mengkhawatirkan undang-undang tersebut. “Ini dapat dimaklumi karena sosialisasi yang belum maksimal,” kata Julian.
Salah satu pasal kontroversial dalam UU tersebut adalah Pasal 44, yang menyebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja mencuri, mem­buka, dan/atau membocorkan rahasia intelijen dipidana paling lama tujuh tahun dan atau denda paling banyak Rp 500 juta”.
Bahaya Bagi Pers
Agus Sudibyo menilai, dalam Pasal 25 UU itu, rahasia intelijen di­definisikan sebagai bagian dari rahasia negara yang dapat mem­bahayakan pertahanan dan keamanan negara, mengungkap kekayaan alam Indonesia, merugikan ketahanan ekonomi nasio­nal, dan merugikan kepentingan politik luar negeri. “Tidak ada jaminan jika UU ini tidak akan dikenakan kepada pers,” kata Agus.
Jaleswari menyatakan, dalam UU Intelijen, masyarakat mungkin saja menjadi sasaran. Hal ini terlihat, misalnya, dari substansi tentang pembocoran rahasia intelijen yang bisa mengenai siapa saja, termasuk peneliti.
“Pihak pembuat regulasi, katanya, selalu menjamin UU ini tak akan dikenakan kepada masyarakat sipil. Padahal, siapa yang bisa menjamin?” ujar Jaleswari.
Suara keras terhadap RUU Intelijen disampaikan Koalisi Ma­syara­kat Sipil Advokasi RUU Inte­lijen. Direktur Program Impar­sial Al Araf mengatakan, UU Intelijen memang dibutuhkan, tetapi pengaturan yang ada saat ini masih sembarangan. UU itu hanya bakal melegitimasi intelijen yang menge­sampingkan HAM dan kebebasan sipil.
“Ada yang memaksakan RUU Intelijen disahkan. Isi dari pasalnya akan menciptakan rezim yang lebih otoriter dari Orde Baru. Batasan rahasia intelijen dan keamanan negara tidak jelas dan multitafsir. Dalih rahasia dan keamanan negara akan digunakan untuk menyerang balik upaya demokratisasi, pem­bongkaran kasus korupsi dan lain-lain upaya memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara demi melindungi penguasa,” kata Al Araf.
Direktur Eksekutif Institute for Defense Security and Peace Studies Mufti Makarim menambahkan, seharusnya yang dilakukan saat ini adalah mendorong reformasi lembaga intelijen. “Kategori rahasia negara seharusnya masuk RUU Rahasia Negara. Banyak tumpang tindih definisi dan benturan dengan UU lain kalau RUU Intelijen disahkan,” katanya. Tahanan polisi juga bisa dipinjam intelijen.
Sementara itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan, masih terdapat banyak hal di dalam Undang Undang Intelijen yang berpotensi membahayakan masyarakat sipil.
AJI berpendapat, pembatasan atau restriksi terhadap kebebasan melalui “penyadapan” perlu dija­barkan secara lebih detil dan tidak bisa diterima dalam kondisi negeri tertib sipil atau dalam kondisi aman damai. (h/sam/ant)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar