Featured Video

Selasa, 15 November 2011

INSIDEN MALIGI KASUS BESAR


KOMNAS HAM SUMBAR
Komnas HAM Sumbar menilai insiden Miligi adalah kasus besar. Karena itu,  pihaknya baru bisa melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran HAM 8 November lalu itu, setelah ada perintah dari Komnas HAM Pusat.

PADANG,  Puluhan warga Maligi, Kecamatan Sasak Ranah Pasisie, Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar) mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sumbar di Padang, Senin (14/11) kemarin.
Kepada Komnas HAM Sumbar, warga Maligi melaporkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam kerusuhan, Selasa (8/11) yang mengakibatkan 20 orang kaum ibu mengalami patah tulang, memar dan patah gigi.
Mereka meminta Komnas HAM melakukan investigasi terhadap pelanggaran HAM  yang diduga dilakukan beberapa anggota polisi itu.
Warga juga minta Kapolda Sumbar menarik pasukan dan tidak melakukan tembakan-tembakan yang menyebabkan masyarakat merasa ketakutan dan tak nyaman hidup di kampung halaman sendiri.
Pasca kerusuhan antara warga dengan pihak kepolisian di Maligi, membuat daerah tersebut kian mencekam. Banyak warga yang telah melarikan diri karena takut dan memilih untuk pindah sementara ke rumah sanak familinya yang ada di daerah lain. Tidak hanya warga biasa, tapi juga pemuka masyarakat yang seharunya menyelesaikan masalah, juga pada lari entah kemana.
Mendengar berita tersebut, beberapa perantau Maligi yang ada di Jakarta, pulang kampung dengan tujuan ingin menyelesaikan masalah. Warga menginginkan kehidupan di Maligi berjalan seperti dulu lagi. Tidak ada letusan senapan, tidak ada kendaraan-kendaraan aparat yang berkeliaran.
“Warga di Maligi sekarang sangat ketakutan. Maligi seperti daerah yang sedang perang yang diramaikan aparat kepolisian bersenjata, yang selalu berkeliaran dengan kendaraan,” kata, Azwir Zulkaini (59), salah seorang perantau Maligi di Jakarta.
Walau demikian, Azwir ketika ditemui Haluan di kantor Komnas HAM Sumbar kemarin (Senin-red), ternyata belum sampai ke Kampung. Ia juga harus hati-hati untuk pulang ke Maligi. Ia tidak ingin nantinya dikatakan sebagai provokator yang datang ke Maligi.
“Saya juga tidak ingin nantinya menjadi korban,” kata Azwir yang pulang bersama Jasra Putra (31), yang juga perantau Maligi di Jakarta.
Azwir mengakui, juga belum tahu banyak tetang penyebab kasus tersebut. Namun yang membuat Azwir pulang kampung, adanya dugaan pelanggaran HAM atau penganiayaan terhadap kelompok perempuan Maligi yang dilakukan anggota Polsek Pasaman dan Polres Pasaman Barat.
Kasus Besar
Ketua Komnas HAM Sumatera Barat, Ali Ahmad mengatakan, pihaknya baru bisa melakukan investigasi terhadap dugaan pelang­garan HAM 8 November lalu itu, setelah nantinya ada perintah dari Komnas HAM Pusat.
“Ini kasus besar, bukan kasus biasa, jadi kami harus berkoor­dinasi dulu dengan Kom­nas HAM Pusat,” kata Ali Ahmad, ketika menyambut kedatangan puluhan warga Maligi Pasaman Barat di Kantor Komnas HAM Sumbar di Padang, Senin (14/11).
“Namun kami mengharapkan, untuk menangani kasus ini, Komnas HAM Pusat yang harus turun langsung dan nanti kami akan mendampingi,” jelasnya.
Walau sedikit gentar, 10 Novem­ber lalu, Komnas HAM Sumbar telah mencoba melayangkan surat ke Polda Sumbar dan Polres Pasa­man Barat, supaya keduanya men­klarifikasi atas kebenaran kasus Maligi seperti yang diberitakan beberapa media di Sumbar.
Adapun informasi yang didapat dari media tersebut yakni telah terjadinya kerusuhan di Maligi Pasaman Barat 8 November lalu yang berawal dari sangketa lahan 650 ha, antara warga dengan pihak PT Permata Hijau Pasaman II (PT PHP II). Kerusuhan tersebut diduga berujung pada pelanggaran HAM bagi sekelompok warga wanita oleh anggota Polsek Pasaman dan Polres Pasaman. Juga berujung pada pem­bakaran satu unit mobil dan lima unit motor milik PT PHP yang diduga dilakukan warga.
Jika kejadian tersebut memang benar, maka Komnas HAM meminta supaya Polda Sumbar segera mela­kukan penyelidikan terhadap penga­niayaan terhadap warga perem­puan tersebut. Melakukan penyelidikan terhadap kasus pembakaran dua pos jaga Satpam, satu unit mobil serta lima unit sepeda motor milik PT PHP II Pasaman Barat itu.
Masih Dirawat
Belasan korban penganiayaan yang diduga dilakukan anggota Polsek Pasaman dan Polres Pasaman Barat, harus menjalani perawatan di Puskesmas Sasak. 14 korban telah dibolehkan untuk pulang. Empat orang harus menjalani perawatan lebih lanjut, karena kondisinya lebih parah.
Empa orang yang masih dirawat tersebut yakni, Masrida (40), karena keguguran kandungan 2,5 bulan akibat dipukuli pihak kepolisian di bagian perutnya. Kemudian Erna (40) masih dirawat karena rasa sakit di dadanya tidak hilang-hilang, yang diduga diinjak-injak polisi ketika kerusuhan berlangsung.
Seterusnya Yulisma (50), menga­lami luka lebam di sekujur tubuh akibat dipukuli polisi dengan pentungan. Saat kejadian Yulisma sempat tidak sadarkan diri (pingsan). Terakhir Mera (31), juga harus tetap dirawat karena rasa sakit di pelupuk matanya tidak hilang-hilang akibat digampar anggota polisi.
Perlu Inisiasi
Sementara itu, anggota DPRD Sumbar minta Kepolisian Daerah (Polda) Sumbar untuk melakukan inisiasi, terhadap masalah ben­trokan masyarakat Maligi dengan pihak atau petugas Polres Pasaman Barat. Inisiasi dalam bentuk menurunkan tim dari Polda Sum­bar, untuk menyelidiki dan me­nyelesaikan tindakan petugas yang dinilai cukup represif.
“Agar masalah tersebut dapat selesai, Polda Sumbar perlu melaku­kan inisiasi. Jangan diserahkan pada Polres Pasbar, karena jelas yang bersangkutan akan bela diri,” kata anggota DPRD Sumbar Yulman Hadi, dari daerah pemilihan (dapil) V Sumbar, yang meliputi Pasaman, Pasaman Barat, Limapuluh Kota dan Payakumbuh.
Agar masalah antara masyarakat dan pihak  perkebunan atau investor selesai, maka harus ada wakil masyarakat yang betul-betul representatif. Dengan kata lain, memang mewakili masyarakat Maligi. “Solusinya memang begitu, Polda melakukan inisiasi, duduk bersama perwakilan masyarakat, pemda dan pihak perusahaan perkebunan. Jika tidak, masalah itu bak ibarat mancancang dalam aia, tidak akan pernah selesai dan masyarakat tetap berada pada posisi lemah,” sebutnya.
Soal tindakan represif petugas, menurutnya kalau memang benar terjadi, ia mengutuk perbuatan itu. Karena tidak sesuai dengan fungsi aparat kepolisian, yang harus menga­yomi masyarakat. Bagaimana pun kondisinya, tetap dikedepankan tindakan persuasif.
“Jangan sampai membentang sajadah, memberi tempat pada investor, ciptakan iklim investasi yang kondisif, tapi mengorbankan masyarakat. Hak-hak masyarakat juga jangan dihilangkan, harus dilihat secara jernih,” katanya.
Begitu juga dikatakan Agus Susanto, dari Fraksi PDIP Sumbar dari Dapil I Sumbar. “Kami sebagai putra daerah, berencana akan turun besok (15/11) ke lapangan, mengum­pulkan data-data baik dari masyarakat, Pemda Pasbar, termasuk dari Polres Pasbar. Masalah seperti ini tidak seharusnya terjadi, jika semua saling menahan diri,” ujarnya.
Ia berencana turun lapangan bersama anggota dapil V dan ang­gota DPD RI Emma Yohanna. “Kami akan mengumpulkan semua infor­masi dan tidak tertutup ke­mungkinan nanti, Komisi I DPRD Sumbar juga melakukan kajian kasus tersebut,” katanya.
Anggota Komisi I DPRD Sum­bar Rizanto Algamar menu­turkan, yang harus dilihat dari kasus tersebut adalah standar operasional prosedur petugas. Apakah sudah sesuai dengan SOP atau belum. “Komisi I bersama dapil V kemungkinan akan bersama-sama meninjau dan mengkaji masa­lah tersebut,” katanya. (h/dfl/rud)
haluan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar