Seorang wanita duduk di sepeda motor seperti halnya pria, saat melintas di depan Masjid Agung Islamic Centre Lhokseumawe, Provinsi Aceh, Senin (7/1).
BANDA ACEH – Seruan bersama yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, untuk menjaga tatakrama berkendaraan mendapat respons yang cukup beragam dari berbagai kalangan.
Tidak kurang tokoh-tokoh nasional dan media internasional ikut menyorot. Aturan ini dianggap sangat diskriminatif terhadap perempuan.
Di level Aceh, aturan ini mendapat berbagai respons positif dari perempuan di sana. Untuk kebaikan bersama, perempuan di Lhokseumawe menyambut baik seruan tersebut.
“Atas nama dan untuk kebaikan masyarakat, kami menyambut dan mendukung seruan tersebut,” ujar Rini Eliany, tokoh perempuan yang juga Ketua Pengurus Daerah Persaudaraan Muslimah (Salimah) Lhokseumawe.
Menurut perempuan yang sering mengisi majlis taklim ibu-ibu ini, seruan itu mengandung sisi positif bagi para Muslimah.
“Salah satu sisi positifnya, aturan itu bisa membatasi ruang gerak mereka yang bukan muhrim saat berboncengan,” katanya saat dihubungi kontributor ROL, Teuku Zulkhairi, di Lhokseumawe, Kamis (10/1).
Sementara itu, Asmaul Husna, mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe mengatakan, seharusnya penegakan syariat Islam tidak sedangkal itu.
“Mungkin imbauannya seharusnya lebih kepada yang bukan muhrim untuk tidak pergi berduaan dengan attitude yang tidak terjaga,” ujarnya.
“Jika seorang perempuan tidak duduk mengangkang, tapi pergi dengan nonmuhrim, berpelukan dan sebagainya. Saya rasa itu sama saja lebih tidak bersyariat ketimbang perempuan yang duduk mengangkang dengan pakaian yang sopan dan pergi dengan mahramnya,” tambah Asma.
Di sisi lain, ia berharap agar Walikota Lhokseumawe, Suadi Yahya, yang merupakan politisi Partai Aceh ini, tidak membuat aturan hanya untuk mengalihkan isu atas belum adanya progress berarti setelah beberapa bulan menjabat sebagai walikota.
“Dan jika memang peduli pada masalah perempuan, mungkin hal yang harus lebih diutamakan adalah memberdayakan perempuan, terutama di bidang pendidikan,” usulnya.
Namun demikian, Asma bisa menerima aturan itu. “Pada dasarnya, saya bisa menangkap maksud positif dari seruan tersebut, karena melihat pemandangan duduk mengangkang pasangan yang bukan muhrim memang sangat mengganggu,” ujarnya.
Tidak kurang tokoh-tokoh nasional dan media internasional ikut menyorot. Aturan ini dianggap sangat diskriminatif terhadap perempuan.
Di level Aceh, aturan ini mendapat berbagai respons positif dari perempuan di sana. Untuk kebaikan bersama, perempuan di Lhokseumawe menyambut baik seruan tersebut.
“Atas nama dan untuk kebaikan masyarakat, kami menyambut dan mendukung seruan tersebut,” ujar Rini Eliany, tokoh perempuan yang juga Ketua Pengurus Daerah Persaudaraan Muslimah (Salimah) Lhokseumawe.
Menurut perempuan yang sering mengisi majlis taklim ibu-ibu ini, seruan itu mengandung sisi positif bagi para Muslimah.
“Salah satu sisi positifnya, aturan itu bisa membatasi ruang gerak mereka yang bukan muhrim saat berboncengan,” katanya saat dihubungi kontributor ROL, Teuku Zulkhairi, di Lhokseumawe, Kamis (10/1).
Sementara itu, Asmaul Husna, mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe mengatakan, seharusnya penegakan syariat Islam tidak sedangkal itu.
“Mungkin imbauannya seharusnya lebih kepada yang bukan muhrim untuk tidak pergi berduaan dengan attitude yang tidak terjaga,” ujarnya.
“Jika seorang perempuan tidak duduk mengangkang, tapi pergi dengan nonmuhrim, berpelukan dan sebagainya. Saya rasa itu sama saja lebih tidak bersyariat ketimbang perempuan yang duduk mengangkang dengan pakaian yang sopan dan pergi dengan mahramnya,” tambah Asma.
Di sisi lain, ia berharap agar Walikota Lhokseumawe, Suadi Yahya, yang merupakan politisi Partai Aceh ini, tidak membuat aturan hanya untuk mengalihkan isu atas belum adanya progress berarti setelah beberapa bulan menjabat sebagai walikota.
“Dan jika memang peduli pada masalah perempuan, mungkin hal yang harus lebih diutamakan adalah memberdayakan perempuan, terutama di bidang pendidikan,” usulnya.
Namun demikian, Asma bisa menerima aturan itu. “Pada dasarnya, saya bisa menangkap maksud positif dari seruan tersebut, karena melihat pemandangan duduk mengangkang pasangan yang bukan muhrim memang sangat mengganggu,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar