Featured Video

Rabu, 28 September 2011

Kisah Hidup dari Tandikek-Dua Tahun Gempa 2009


Damanhuri

Bantuan rehab rekon (RR) Rp15 juta untuk rumah rusak berat, bagi warga di Tandikek makin membuat air mata berderai. Dua tahun gempa berlalu, mereka seperti sedang sendirian. Tak ada siapa-siapa. Apalagi pemerintah.
Uang Rp15 juta untuk merehab rumah. Bagi mereka, jangankan rumah, tanah pun tak bisa didekati lagi. Zona merah! Tentu untuk membuat rumah, dibeli dulu tanah. Mana ada tanah Rp15 juta.

Pemerintah lupa, di Tandikek, bukan rumah yang perlu direhab, tapi kampung yang perlu dibuat. Lupa itu sudah dua tahun lamanya.
Begitulah, warga di Korong Lareh Nan Panjang, Lubuak Aro dan Pulau Aie dalam Kenagarian Tandikek, Kecamatan Patamuan, Padang Pariaman. Kampung mereka Cumanak, hanya tinggal nama. Mau direhabkan kemana uang Rp15 juta itu? Lupa lagi pemerintah kita akan hal itu.
Kini sebagian dari mereka tinggal di rumah tak layak huni. Orang punya rumah, awak punya pula. Soal layak tak layak, cerita lain.
Apakah semua masyarakat sisa korban longsor itu yang mampu beli tanah? Tidak. Buktinya, hingga kini telah dua tahun gempa akhir 2009 berlalu, masih ada yang rela mendiami rumah yang tidak layak huni.
Menurut Ardi Bastian, Walikorong Lareh Nan Panjang, sebagian masyarakat sisa korban longsong di kampungnya, di samping ikut beli tanah, juga ada yang pindah tinggal ke daerah lainnya. Bahkan di luar Padang Pariaman, seperti ke Bukittinggi, ikut bersama keluarganya.
“Soal tempat tinggal, walaupun ada sebagian kecil yang masih setia dengan rumahnya yang dinilai tidak layak huni, Alhamdulillah, semua masyarakat telah punya rumah kembali. Namun, persoalan ekonominya sama sekali tidak ada. Bagi yang tua-tua, untunglah punya anak yang tinggal di rantau, yang punya kepedulian pula, sehingga sesekali dikirimin uang. Mereka tinggal di tempat yang baru, tentu tidak bisa mendapatkan uang, seperti di lahan mereka sendiri,” cerita Ardi Bastian.
Sebagai seorang pemimpin di tengah masyarakat, Ardi Bastian sejak kejadian gempa dan longsor dua tahun silam, hingga kini terus dengan kesibukannya mengurusi masyarakat. Belakangan, dia juga ditunjuk menjadi tim dalam soal bantuan rumah sederhana dari Genesis, sebuah NGO dari Kanada.
Ada 890 rumah yang dia kelola, tersebar di Kenagarian Tandikek, dan sebagian di Nagari Batu Kalang, Kecamatan Padang Sago. Rumah demikian sangat dirasakan masyarakat, di tengah sulitnya membangun rumah pascagempa.
Selama ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Padang Pariaman untuk membuat sebuah rumah butuh waktu lama dan dengan julo-julo. Artinya, dibuat kelompok yang diisi sekitar 40-50 anggota. Setiap bulan dipungut iuran, dan bergiliran menerimanya.
Ada yang dinamakan dengan julo-julo semen. Setiap bulan, anggota mengeluarkan uang serharga semen saat anggota lain menerimanya. Itulah tradisi kebersamaan yang sudah lama tertanam di kalangan masyarakat perkampungan daerah itu.
Ardi Bastian melihat perlu pendampingan bagi masyarakat. Sebab, lahan sawah dan ladang yang selama ini mereka garap, kini sudah tidak bisa lagi. Untuk itu, butuh pendampingan dalam membangun kembali perekonomian masyarakat. Apalagi, kondisi irigasi tak lagi mengalir seperti biasanya. Ini tentu sangat memprihatinkan.
Sementara, mantan Walikorong Pulau Aie, Rivai Marlaut justru menginginkan adanya pembangunan industri kecil yang difasilitasi pemerintah.
“Masyarakat yang tidak lagi dibolehkan tinggal di lahannya, telah tinggal berpencar-pencar. Mereka merasa kehilangan arah, untuk mencari sumber kehidupan barunya. Untuk itu, butuh pendampingan, sehingga mereka bisa kembali membangun masa depan yang lebih baik lagi,” kata dia.
Memang, kata Rivai, soal rumah tempat tinggal, walaupun kondisinya saat ini masih dalam suasana mencicil tanah yang belum lunas, sudah bisa dikatakan oke, dan bisa dianggap aman bagi mereka bila di malam hari. Masyarakat memberanikan diri untuk beli tanah dengan cara mencicil, karena tidak ada kepastian yang jelas soal transmigrasi lokal yang didengung-dengungkan pemerintah.
“Sebenarnya, kalau ada sosialisasi transmigrasi lokal itu terhadap masyarakat, kita yakin sebagian masyarakat akan menerima dengan senang hati. Tetapi hal itu belum pernah terjadi. Termasuk juga perlakuan khusus yang akan bagi korban longsor Tandikek, sampai saat ini juga tidak terwujud,” sebut Rivai.
Di samping itu mereka berpendapat, untuk membangkitkan kembali gairah perekonomian masyarakat agaknya butuh irigasi yang sehat. Di kampung itu hanya ada sawah dan ladang sebagai ekonomi andalan masyarakat. Sejak longsor, irigasi tak lagi berfungsi. Seiring dua tahun perjalanan gempa dan longsor, saatnya pemerintah membangun fasilitas yang bisa memajukan sumber kehidupan itu lagi.
Memang, membangkitkan masyarakat yang tidak lagi mendiami kampung asalnya, butuh waktu panjang dan banyak proses yang harus dilakukan, bila dibanding dengan membangkitkan masyarakat Padang Pariaman di kenagarian lainnya.
Masyarakat korban gempa yang tinggal jauh dari lokasi longsor, tidak ada lagi persoalan, selain dari pencairan bantuan gempa bagi yang belum menerimanya sampai saat ini.
Tapi, bagi mereka yang disebut sebagai sisa longsor, harus tinggal di lokasi baru, memulai kehidupan baru, yang tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Apalagi tempat tinggal yang baru itu tidak disediakan pemerintah, atau pihak yang peduli, seperti LSM dan NGO yang sering memberikan berbagai bantuan pada saat gempa dulu. Mereka tinggal di kampung, tapi harus menyewa atau dengan terpaksa mencicil untuk mendapatkan tanah buat bangun rumah.
Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Padang Pariaman, Anwar ketika dihubungi menilai persoalan transmigrasi lokal memang lokasi daerahnya telah ditentukan, yakni Kabupaten Limapuluh Kota dan Kabupaten Dharmasraya.
“Namun, kapan waktunya masyarakat akan dipindahkan, kita masih menunggu keputusan pemerintah pusat. Sebanyak 600 KK lebih dari daerah ini telah kita usulkan untuk tinggal di daerah transmigrasi demikian,” kata Anwar. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar