Featured Video

Rabu, 28 September 2011

“PINTEHLAH KA BARUAH…!”-Baburu Ciliang


Bagi seorang peburu babi, teriakan dalam hutan saat berburu babi, di mana saja, selagi masih di Ranah Minang, pasti kenal dengan teriakan itu: “Pintehlah ka baruah, sa­nak… batagok di ujung tu…! Babi madok ka nin…!

Semakin banyak hasil buruan, maka makin sukses lah perburuan itu. Namun prinsip tersebut tak berlaku untuk buru babi. Perburuan yang dilakukan oleh anjing-anjing terlatih ini tak mempersoalkan berapa ekor babi yang mereka mamatah. Pada dasarnya buru babi merupakan kebersamaan dalam mengatasi masalah.
Para pemburu dan anjing-anjing mereka berangkat menuju hutan guna membasmi hama babi yang merusak perkebunan warga. Jika hal ini tak dilakukan, maka si babi akan semakin merajalela dan merugikan warga setempat. Seperti buru babi yang dilak­sanakan beberapa waktu yang lalu di Nagari Baso, Kabupaten Agam.
Menurut salah satu muncak buru asal Baso, Malin (35), anjing yang ikut dalam perburuan bukan anjing sembarangan. Mereka adalah jenis terpilih dan terlatih. Anjing yang berwarna putih disebut lupak, sedangkan yang berwarna kuning disebut samuik. Namun ada pula anjing pemburu yang tak mau masuk ke hutan. Jenis ini disebut anjing berkaus yang berarti pemalas. Ada semacam garis di pergelangan kaki anjing tersebut seakan ia memakai kaus kaki. Jenis ini biasanya tak diikutsertakan dalam perburuan.
“Jarang urang mamaliharo e untuk babaru babi,” kata Malin.
Biasanya, buru babi ini dilaksa­nakan sekali seminggu yang biasa disebut buru pakan. Setiap daerah punya hari buru berbeda, tergantung kesepakatan. Seperti di Kabupaten Agam, buru pakan diadakan tiap Selasa dan Minggu. Sedangkan di daerah Dharmasraya tiap hari Rabu.
Ada juga disebut buru salek. Berburu babi yang dilakukan secara terbatas oleh anak nagari.
Kadang, perburuan diadakan secara besar-besaran mengundang seluruh pemburu di Sumatera Barat. Perburuan semacam ini dinamakan buru alek. Tuan rumah disebut  si pangka (pengundang) sedangkan tamu disebut si alek.
Para muncak mempersiapkan beberapa hal untuk perburuan ini. Di antaranya penyambutan bagi sialek. Kaum perempuan menge­nakan baju adat berbaris rapi menyambut para tamu ini. Selanjut­nya sialek akan meminta izin secara resmi pada muncak untuk memasuki daerahnya. Kemudian para si pangka pun membalas dengan petatah petitih Minang sebagai pertanda mengijinkan atau tidak.
Usai prosesi itu, para pemburu segera memasuki hutan. Muncak mencari babi.
“Jajak babi ditapak dek anjiang pancari. Lalu, si alek menunggu anjiang   pancari manyalak rapek,” kata Malin.
Ketika salak anjing pencari tata atau rapat, maka muncak basikuai (bersorak). Biasanya soraknya seperti ini. “Pa arek di ujuang aie sanak. Kandiak maadok ka aie. Ioooooooooooo…agiahlah upiak banun!” Begitu Muncak berteriak di dalam rimba. Tak berapa lama, ratusan anjing pun dilepas dari kalanya. Menyalak di sana-sini. Sorak sorai menyemangati anjing masing-masing.
Rimba seperi mau pecah. Tak lama, terpekik babi. Hiiiiiiiiiiiiiiiit… jeritan panjang menandai babi telah rebah. Anjing-anjing pun berkeliaran. Para pemilik bersorak lagi memang­gil ternaknya kesayangannya.
“Ringo, Ringo, Ringoooo,” teriak seseorang peburu. Anjingnya baragi lupak pun datang, Terlihat muncung belepotan darah. Ini artinya si Ringgo masuk bangkai. “Masuk bangkai itu, ikut merebahkan babi dan sekalian melahapnya,” tambah Malin lagi.
“Papadek di sabalah suok ka­wan,” teriak salah seorang muncak dari dalam hutan. Rimba pun makin buncah lagi.
“Anjing yang masuk bangkai itu jadi kebanggaan bagi pemiliknya. Apalagi ikut dalam merebahkan babi. Anjing akan mahal harganya, naik marwahnya,” jelas Malin lagi.
“Bisa ditawar sampai Rp30 jutaan,” ujar Malin.
Dalam rimba memang tak ada kenal istirahat. Namun dalam tradisi baburu babi, di dalam rimba itu ada tempat istirahat yang biasanya tak jauh dari air atau tapian. Tempat istirahat itu biasanya disebut paunan. Orang-orang berkumpul di paunan ini. Ada yang salat Zuhur, makan, dan rebahan. Dan di sini juga bisa terjadi ota ma ota dan tukar anjing.
“Di sinilah keakraban dan ke­bersa­maan terjalin akrab. Urang pa­buru banyak kawan ma,” terang Sawir, seorang yang duduk di paunan itu.
Memang, memanfaatkan paunan itu telah lama berkurang. Kini, tradisi buru babi sudah jadi hobi. Para pemburu hanya ingin mencoba kemampuan anjingnya. Perlahan rasa kebersamaan antarpemburu mulai luntur. Tak semuanya mau bersusah payah masuk hutan. Sebagian hanya menunggu di tepi jalan lalu melepas­kan anjingnya begitu saja menuju hutan dan sipemburu tinggal me­nung­gu. Tak ada perbincangan hangat antarpemburu seperti dulu. (Laporan Sonya Winanda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar