Featured Video

Sabtu, 29 Oktober 2011

Ketika Buya Hamka Marah Besar di Padang


13105646541028361670
Buya HAMKA (Google)
Membaca postingan Kompasianer Ryanda Adiguna Buya Hamka pemberontak di Indonesia pahlawan bagi Malaysia Saya teringat sebuah kejadian yang cukup memalukan di tengah ceramah Buya Hamka di Masjid Raya Muhammadiyah yang terletak di tengah kota Padang.

Kejadiannya berlangsung sekitar tahun 1975. Saat itu beberapa bulan menjelang Muktamar Muhammadiyah yang ke 39 yang akan berlangsung di kota Padang.
Saya waktu itu boleh dikatakan setengah pengangguran, karena kadang bekerja sebagai kenek angkot yang di Padang waktu itu bernama City Express, dan kalau hari Jumat menjadi penjaga penitipan sendal/sepatu atau tukang parkir di pekarangan Masjid Raya Muhammadiyah itu. Sementara untuk tidur saya bersama-sama beberapa mahasiswa Universitas Muhammadiyah Padang,  tinggal di qubah beton raksasa yang terdapat di puncak Masjid.
Kedatangan Buya Hamka di Sumatera Barat, khususnya di kota Padang waktu itu mendapat sambutan yang luar biasa. Sebagai ulama besar maupun seorang sastrawan beliau saat itu memang sangat dirindukan kehadirannya. Saya pribadi yang telah mengenal Buya Hamka dari membaca karya sastranya sejak akhir era 60an, tentu saja tidak akan melewatkan kesempatan yang langka itu.
Dihari kedatangan beliau, pengurus Masjid menempatkan beliau di kamar musafir yang terletak di bagian depan mihrab sebelah kanan. Sebuah kamar khusus yang memang disediakan untuk para mubaligh yang datang dari luar kota, yang akan mengisi acara wirid atau khutbah Jumat di Masjid Raya Muhammadiyah tersebut.
Saya waktu itu agak terlambat mengetahui kedatangan Buya Hamka, karena sedang berada di terminal Pasar Goan Hoat yang hanya dibatasi deretan toko mas di samping masjid dan jalan Muhammad Yamin.
Selesai shalat zuhur, seorang teman mahasiswa UM yang sama-sama tinggal di qubah masjid memberitahu saya sambil berbisik, bahwa Buya Hamka sudah berada di kamar musafir.
Tanpa berpikir panjang lagi, berdua kami lalu menuju kamar musafir.  Benar saja, disana kami melihat Buya Hamka beserta seorang putra beliau yang saya lupa namanya, tengah di temani oleh ketua Pengurus Masjid Muhammadiyah yang waktu itu dijabat oleh Makmur STM, seorang pedagang arloji yang cukup besar di kota Padang, beserta seorang adiknya.
Setelah mengucapkan salam dan masuk, teman saya yang mahasiswa langsung menuju tempat tidur, dan membantu mengurut kaki Buya Hamka. Saya sendiri hanya berdiri menyaksikan, namun juga ikut dalam obrolan ringan yang kadang juga disertai senyum dan tertawa bersama.
Untunglah belum begitu banyak yang tahu, bahwa Buya Hamka saat itu telah berada di sana. Seandainya banyak yang tahu, saya yakin kamar musafir itu tidak akan muat menampung jamaah yang ingin bertemu maupun yang hanya sekadar melihat atau bersalaman dengan Buya Hamka.
Malamnya selesai shalat Isya, diadakanlah tabligh akbar dengan dengan penceramah Buya Hamka. Masjid penuh sesak, saya  waktu itu menjadi petugas parkir di halaman depan, sebenarnya dibagian belakang masjid yang berhadapan langsung dengan jalan Bundo Kanduang.
Dari halaman dibalik jendela kaca saya melihat masjid sudah penuh, shaf wanita yang memunggungi saya juga sudah penuh sesak, tak lama kemudian tabligh akbarpun di mulai.
Buya Hamka waktu itu duduk di kursi, di depan beliau terdapat meja yang diatasnya terletak microphone, tape recorder dan segelas air minum.
Ceramah Buya Hamka di ikuti dengan takzim oleh para jamaah, saya yang berada di tempat parkirpun mendengar dan menyimak dengan khidmat, sambil sesekali diganggu oleh suara kendaraan yang lewat. Sistem pengeras suara di Masjid Muhammadiyah yang saat itu telah memakai column speaker terdengan cukup bersih.
Kira-kira ceramah berlangsung sekitar 10 menit, saya mulai mendengar suara yang mengganggu di speaker. Awalnya kecil bunyinya seakan mengaung, tapi bukan aungan sound system yang mengalami feedback.
Lama kelamaan suara itu tidak hanya terdengar di loudspeaker, tapi seakan sudah merata di dalam masjid, tumpang tindih dengan ceramah yang di sampaikan oleh Buya Hamka. Saya yang berada dekat pintu masuk masjid yang langsung ke tempat jamaah wanita juga mendengar suara itu semakin keras.
Braaak……
Saya  terkejut, karena suara itu begitu keras terdengar di speaker. Dari pintu saya lalu melihat kedalam masjid, Saya juga melihat kearah meja dan kursi dimana Buya Hamka duduk. Tapi jarak saya yang berada di pintu masjid dengan beliau ada sekitar 20 meter, saya tidak begitu jelas melihat wajah beliau, tapi dari diamnya beliau, saya tahu Buya Hamka saat itu sedang menahan emosi amarah.  Setelah menggebrak meja yang berada di hadapannya beberapa detik yang lalu.
Masjid sunyi, hening…… Saya hanya mendengar hembusan nafas Buya Hamka yang keluar dari speaker. Setelah terdiam beberapa saat, Buya Hamka lalu meneruskan ceramahnya….
” Saya sudah berkeliling Indonesia, tapi saya belum pernah menemukan jamaah yang mengobrol sewaktu saya memberikan ceramah, barulah disini, di kampung saya sendiri. Saya menemukan orang mendengarkan pengajian, mendengarkan ceramah agama sambil mengobrol.  Suasananya seperti di pasar, yang terdengar hanya obrolan, saya tidak tahu dianggap apa saya yang sedang berbicara di depan ini….”
Setelah itu baru tabligh akbar itu berlangsung dalam suasana yang tenang tanpa ada yang mengobrol. Saya juga sempat bergumam dalam hati…. :
“Kao anlah….!”
sumber.kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar