Featured Video

Sabtu, 29 Oktober 2011

Semua Punya Hak yang Sama


Perdebatan klasik dan nyaris berlarut-larut soal Jawa-non Jawa dalam kursi kepemimpinan nasional selalu muncul, dan terkadang menimbulkan kontroversi. Selama ini terdapat mitos politik, tokoh luar Jawa sulit menjadi RI-1. Namun, disaat lain ada yang mengatakan sudah saatnya mitos presiden harus orang Jawa dihilangkan. 
Kontoversi presiden harus dari suku Jawa sempat meramaikan Pemilu 2009 lalu. Adalah Andi Mallarangeng yang waktu itu menjabat sebagi tim kampanye Nasional SBY-Boediono, mengatakan RI-1 harus dari suku Jawa.
Saat itu, di depan ribuan peserta kampanye cawapres Boediono di Makassar, pria berkumis itu mengatakan, bahwa mengapa dirinya tidak mendukung salah satu calon presiden orang Bugis (Jusuf Kalla), padahal dia juga berasal dari Sulawesi Selatan.
Intinya, Malarangeng menegaskan, memilih orang untuk didukung jangan karena orangnya, atau karena suku yang sama. Karena dia orang yang terbaik, tidak peduli orang itu orang dari suku mana. Karena itu memilih seorang pemimpin harus objektif.
Kontroversi kembali mengapung, Januari tahun 2011 ini, Partai Demokrat kembali melontarkan isu panas. Ruhut Sitompul mengungkapkan soal dikotomi Jawa dan luar Jawa dalam urusan calon presiden.
Dia mengatakan, capres yang bukan berasal dari Jawa jangan mimpi jadi presiden, di era pemilihan langsung oleh rakyat. Capres-capres dari luar Jawa diharap bersabar dulu, belum waktunya untuk maju sekarang. Jangan memaksakan kehendak, karena Belanda masih jauh. Itu kata politisi kontroversial itu.
Ruhut berdalih, apa yang dikatakannya bukan SARA, tapi realitas politik. Faktanya, sudah dua kali lakukan pemilihan presiden langsung, tapi yang masuk tiga besar, tetap saja calon-calon dari Jawa. Bahkan yang lebih ekstrem, jangankan presiden yang dipilih langsung rakyat, di internal partai politik saja, calon dari luar Jawa selalu kalah.
Sekarang, muncul lagi potensi perdebatan soal mitos Jawa-Non Jawa itu. Suryadi Rinakit dari Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), yang menyebutkan sudah saatnya masyarakat Indonesia menghentikan segala mitos, perdebatan, atau pro-kontra Presiden harus dari suku Jawa.
Karena yang dibutuhkan bangsa Indonesia saat ini bukanlah sibuk menghabiskan hari untuk memperdebatkan latar belakang pemimpinnya dari suku apa, dan darimana si pemimpin berasal. Indonesia lebih membutuhkan figur yang berjiwa ksatria untuk memimpin negeri ini.
Sebuah ajakan yang manis tentunya, karena pernyataan-pernyataan yang menyebutkan asal daerah, suku, dan sebagainya, tak lebih dari sebuah tindakan yang menyemai bibit-bibit perpecahan di bangsa ini.
Bahkan, jika tak terkendali merupakan ancaman serius karena dapat memicu terjadinya disintegrasi bangsa. Lebih parah, itu akan bisamenjadikan pembunuhan karakter bagi putra-putra daerah tertentu.
Padahal dalam fasal 6 ayat (1) UUD 45 dengan tegas disebutkan, setiap warga negara Indonesia berhak untuk jadi presiden, bukan cuma orang Jawa, atau daerah lain. Semuanya mempunyai hak yang sama, sepanjang dia tercatatn sebagai warganegara Indonesia.
Kesamaan hak warganegara dalam semua hal, termasuk jadi pemimpin tertinggi bangsa, adalah semangat dasar konstitusi terhadap persamaan hak warganegara dalam mewujudkan integrasi bangsa Indonesia sebagai negara kesatuan.(*) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar