Featured Video

Sabtu, 29 Oktober 2011

SUMPAH PEMUDA, MARILAH KITA BERBAHASA INDONESIA


Setiap kali kita memperingati Sumpah Pemuda, yang senantiasa kita hafalkan adalah tiga pesan komitmen para pemuda pendahulu bangsa ini. Pesan pertama komitmen tentang nation. Tentang kebangsaan. Di dalam kata ‘bangsa’ itu tidak tertonjol dengan jelas perihal etnik melainkan menunjukkan pertalian dari kemajemukan suku dan etnis yang  disebut Indonesia. Para pemuda di tahun 1928 itu sudah menyepakati bangsa ini bukan bangsa Jawa, bangsa Celebes, bangsa Borneo, bangsa Minangkabau, Aceh, Batak dan seterusnya. Tapi mereka menyepakati bahwa bangsa ini adalah bangsa Indonesia.

Satu komune yang disebut bangsa Indonesia itu kemudian disepekati menggunakan satu bahasa saja yakni bahsa Indonesia. Dengan tegas, sumpah kedua dari ikrar 28 Oktober 1928 itu menyatakan bahwa sebuah bangsa memerlukan identitas. Bahasa adalah identitas yang menunjukkan bangsa mana seseuatu kaum. Pepatah lama menyebutkan bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Itu artinya, bahasa Indonesia menjadi identitas bangsa (nation identity) kita.
Bangsa dan Bahasa kemudian memerlukan entitas untuk pengakuan sebuah kedaulatan. Maka disebutlah wilayah tempat bangsa dan bahasa itu berkembang dan hidup sebagai tanah air, persada, tanah tumpah darah dan sebagainya. Lengkapnya makna Sumpah Pemuda itu adalah bahwa Bangsa Indonesia yang menggunakan Bahasa Indonesia ini memiliki kedaulatatan di satu hamparan tanah, air dan udara yang juga disebut Tanar Air Indonesia.
Memaknai peringatan ke-83 Sumpah Pemuda tahun ini, agaknya yang cukup penting kita berikan garis bawah adalah perihal bahasa. Sepintas lalu bahasa nasional bagai tak ada masalah dan seolah ia tidak akan menjadi lebih penting daripada mempertahankan kedaulatan dan kebangsaan.
Tetapi sesungguhnya, sebagaimana pepatah lama yang kita kutip di atas, bahasa menunjukkan bangsa. Ketahanan bangsa juga ditentukan oleh seberapa besar bangsa itu juga membela bahasa nasionalnya.
Lihatlah Jepang, mereka tetap menomorsatukan bahasa Jepang dan memuliakan huruf kanji. Mereka tak peduli kalau pendatang, turis dan serta tamu-tamu mereka menjadi kesulitan ketika datang ke Jepang. Namun di situ tersimpan makna bahwa mereka menjadikan bahasa dan kanji Jepang naik derajatnya. Orang dipaksa untuk memahamai dan mempelajarinya.
Di Prancis semangat memuliakan bahasa Pranbcis dikenal dengan Francophone. Mereka sama dengan Jepang menjadi tak terlalu peduli dengan penutur bahasa selain Prancis jika datang berkunjung ke Prancis. Mereka juga berusaha mensejajarkan bahasa Prancis dengan bahsa Inggris sebagai bahasa Internasional dan bahasa ilmu pengetahuan.
Tapi penutur bahasa Indonesia yang jumlah lebih dari 300 juta ini justru makin hari makin menunjukkan gejala tidak memuliakan bahasa Indonesia. Ketaatan kita pada bahasa sendiri kian hari makin terasa melemah. Dengar saja para pejabat bahkan Presiden SBY pun kadang lebih terasa smart kalau berpidato sambil di sana-sini diselipkan bahsa asingnya. Nama-nama tempat, bangunan, kegiatan dan sebagainya mulai makin bergelimang bahasa asing. The Jakarta Tower, Indonesia Today, Jakarta Convention Hall, Mall of Indonesia, dan sebagainya adalah nama-nama yang makin menjauhkan nilai keindonesiaan dari sanubari bangsa ini.
Di lingkungan pemerintah yang sebenarnyua mesti menjadi tauladan pemakaian bahsa Indonesia yang baik dan benar kadang juga tidak terpahami benar kaidah-kaidah bahasa.  Sudah mesti ada satu pengawas bahasa dalam persuratan di lingkungan birokrasi pemerintah.
Dalam banyak teks yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah, kadang sangat tidak taat kaidah. Mulai dari ejaan yang tidak terkendali sampai penulisan kata yang rancu bin kacau. Sekali waktu cobalah simak dalam surat-surat pemerintah apakah birokrasi kita sudah sepenuhnya bisa membedakan antara ‘di’ sebagai awalan dengan ‘di’ sebagai kata depan.
Bagaimana birokrasi kita menggunakan kata pasca, super, ekstra, multi, antar, sub secara serampangan. Itu belum termasuk bagaimana birokrasi kita juga banyak yang tidak paham kapan harus menggunakan huruf besar, cara penulisan nama gelar, baris tanggal, satuan (berat, panjang, tinggi dan volume).
Maka wajarlah kalau rakyat badarai ini juga tidak terlalu peduli dengan kaidah bahasa saat harus menulis apotek, atlet, kongkret, sistem, praktik, personel menjadi apotik, atlit, kongkrit, sistim, praktek, pesonil dan sebagainya. Dari waktu ke waktu justru bertambah sembrawut cara kita berbahasa. Maka kalau kita ingin mengingat pepatah tua di atas, bahasa menunjukkan bangsa itu artinya, bahasa ynag kacau menyiratkan bangsa yang kacau. Sumpah Pemuda! Marilah berbahasa seperti yang kita ikrarkan tahun 1928 itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar